narrative writings of thesunmetmoon

57.

#gyuhaoparentssequel

Tling!

“Selamat da—”

“Hai, Vern.”

Vernon menarik napas. “BOS BESAR??” wajah anak itu langsung cerah ceria. “Kok pulang nggak ngomong-ngomong? BOS, BOS BESAR BALIK NIH!”

Grudak! Brug! Tlang!

“PAPA?!”

“Heiiii—-oof!!” belum sempat Mingyu menyapa anak lelaki sulungnya, ia sudah diseruduk. Segera, kedua lengannya memeluk darah dagingnya itu.

“Papa...Papa...Kakak-hiks-kangen...”

Erat.

“Papa juga kangen, Sayang. Ya Tuhan, Papa kangen kamu, Nak...,” diusapnya lembut punggung anak itu. Ciuman demi ciuman menghujani kepala anak itu. “Udah, Kak, jangan nangis. Tuh, Mama nonton lho.”

Mendengar itu, Kakak baru sadar akan keberadaan ibunya. Ia segera mengangkat wajahnya dari dada ayahnya dan menoleh ke arah ibunya. Persis di belakang ayahnya, ibunya tersenyum lembut, dengan penuh sayang memerhatikan mereka berdua.

“Mama...”

Mingyu spontan melepaskan pelukannya, membiarkan anaknya pergi mendekati ibunya. Mingyu tahu seberapa dekatnya, seberapa sayangnya, anak lelaki sulungnya itu dengan Minghao. Dia cuma tersenyum melihat anaknya itu langsung merangsek ke ibunya, menangis lagi, membuat Minghao memeluk dan menciuminya tak kalah banyak.

“Gimana?” Mingyu menoleh ke arah Vernon. “Semua oke di sini?”

Anak itu tersenyum sangat lebar sampai memamerkan gusinya. “Oke aja, Bos Besar,” dengan yakin ia menjawab. “Tadinya kita sempet kacau sih, kekurangan orang. Meanwhile the place is packed. Keteteran. Tapi Bos minggu lalu hire orang baru.”

Ibu jari Vernon menunjuk ke sebelah kanan Mingyu. Berdiri di sana, seorang gadis muda berambut pirang panjang dengan senyuman lebar. Tanpa takut, tanpa gugup, gadis itu membungkuk sejenak sebagai salam.

“Hai, Bos Besar! Nama saya Choi Yena! Saya baru kerja di sini, tapi saya bakal kerja keras!”

“Nggak usah keras-keras, ntar gue kebanting,” seloroh Vernon.

“Nggak pa-pa! Nanti kalo Vernie mager-mageran, biar Yena laporin ke Mama!”

“Heh, asem,” ditoyornya anak itu.

Mingyu mengernyit, “Kalian kakak adek?”

“Bukan, Bos,” Vernon menggeleng. “Ini anaknya daddy gue. Jadi...apa ya, bakal jadi anak gue juga?”

“Hidiih, malesss, punya Papa beda cuma berapa tahun!”

“Well, I won't let go of your mom forever, so accept it.”

Kebalikan dari Vernon yang meringis jahil, gadis itu menggembungkan pipinya. Sejujurnya, ia tidak masalah akan hal itu sama sekali. Meskipun jauh lebih muda dan lebih cocok disebut anak daripada kekasih, Vernon memperlakukan ibunya jauh lebih baik dari ayahnya dulu. Selama ibunya bahagia, Yena tidak ada komplain sedikitpun. Tapi, ah, gengsi dong. Apalagi Vernon suka sekali menjahili gadis itu seperti adiknya sendiri.

“Oh gitu. Well, welcome to the club, Yena,” Mingyu tersenyum. Tanpa rasa canggung, tangannya membelai kepala gadis itu seperti seorang ayah pada anak perempuannya. Yena mengerjapkan mata dua kali, cukup kaget. “Saya Kim Mingyu, yang punya resto ini dan juru masak utama. Papanya manajer kamu. Dan ini suami saya, Xu Minghao.”

“Halo,” Minghao menoleh untuk tersenyum menyambut anak itu. Kakak masih meringkuk di dalam pelukannya, tidak mau lepas sama sekali.

Yena jadi terkikik. “Manajer manja ih,” godanya. Namun, kemudian, ia mendongak menatap Mingyu. Sorot mata papanya manajer yang lembut. Senyum mamanya manajer yang hangat. “Tapi Yena paham kenapa Manajer sayang banget sama ortunya.”

Andai, di dunia ideal, ayahnya mengasihi ibunya. Andai, di dunia ideal, keluarganya utuh, bertiga, dengan Yena tertawa dikecup kedua pipinya oleh orangtuanya.

Tapi, dunia seperti ini pun, mungkin tidak apa-apa.

“Permisi.”

“Ah, selamat dat—”

Vernon berhenti, lalu senyumnya melebar lagi. Kali ini lebih cerah dan berbunga-bunga.

“Hei!” melipir, ia meninggalkan mereka untuk menyambut kedatangan orang itu. Mereka berdiri begitu dekat sampai kepala hampir terantuk.

“Sesuai janji, aku dateng nih, padahal jauh dari kantor aku.”

“Iya, aku kasihin servis lebih deh,” meringis, dikecupnya bibir lelaki itu.

“Mana Yena?”

“Di dalem tuh,” Vernon menoleh ke arah kerumunan. “Bos besar baru aja pulang sih.”

Lelaki itu ikut menengok. Detik kemudian, matanya membulat ketika ia bertemu tatap dengan dua orang yang sangat, amat tidak asing baginya.

“Kim Mingyu?” lelaki itu refleks mendekat. “Hao???”

Tarikan napas.

“Kwannie???”