58.
Lari.
Lari.
Ia harus lari.
Lari, sejauh yang kakinya bisa bawa.
Lari, secepat batas kemampuannya.
Larilah.
Larilah, Kwon Soonyoung.
Sebab,
hanya itu yang bisa kamu lakukan, bukan?
BRAK!
Terengah, ia membanting pintu bilik toilet, mengunci dirinya di dalam sana. Aman. Sendirian. Tidak ada yang bisa mengejarnya di sini, bahkan mimpi buruk sekalipun.
Soonyoung menurunkan tutup toilet dan ia pun duduk di atasnya. Kedua kaki diangkat naik, sementara lengan memeluk lutut. Dibenamkannya wajah pada jins yang ia kenakan. Perlahan, ia menghirup napas dalam-dalam, lalu dihembuskan, berharap agar jantungnya kembali rileks. Kelasnya sudah mulai saat ini. Ia terlambat. Rasanya lebih baik tidak masuk sekalian, apalagi dengan perasaan awut-awutan begini.
Joshua...
Dalam pejaman mata, ia melihat kembali, bagai film bisu yang diputar terus menerus, adegan dimana Joshua tertawa, bahkan tersipu, bersama Bang Cheol. Ia tahu. Ia kenal. Kakak kepanitiaannya dulu. Pelindungnya Jeon Wonwoo. Dan, bukan hanya itu, ia kenal Bang Cheol. Tampan. Pandai. Baik hati. Supel. Disukai semua orang. Bisa diandalkan dan rasa tanggung jawabnya besar. Keluarganya pun berada.
Digigitnya bibir bawah.
Sedangkan ia, apa yang ia punya?
Rumah, yang diberikan ayahnya secara cuma-cuma. Mobil, yang disupiri setiap hari oleh orang yang bahkan tak sudi mengobrol dengannya. Seluruh wilayah kekuasaan keluarga Kwon dan uang yang tak ada batasannya.
Sure.
It's better to be lonely with a glass of champagne and caviar, rather than to be lonely with nothing.
Tapi, setelah itu, apa?
Apakah setelah ia membantu mereka, membelikan barang yang mereka inginkan, mengisi perut mereka, membuat mereka bahagia, mereka memedulikannya? Apa sekarang mereka ada di sini bersamanya, di dalam bilik kecil yang agak kotor dalam toilet lelaki? Apa sekarang mereka tahu dirinya membutuhkan siapapun, apapun, sebagai pegangan?
Joshua...Joshua...
Soonyoung hanya punya Joshua, karena hanya Joshua yang peduli padanya. Yang peduli apakah dia sudah makan, yang menanyakan status Soonyoung setiap hari, yang marah dan menghajar Jeon Wonwoo ketika tahu Soonyoung terluka. Hanya Joshua yang mau memeluknya setiap malam sampai tertidur. Hanya Joshua yang mau mencium bibirnya dan membisikkan kata-kata pujian, janji perlindungan dan kesetiaan sampai mereka tua dan tinggal kerangka. Ia jangkar bagi Soonyoung. Sebuah pegangan akan kepastian.
Ia lebih membutuhkan Joshua daripada siapapun.
Bahkan lebih daripada Joshua membutuhkannya.
(“Katanya bunuh diri sekeluarga.”)
Terngiang, lagi dan lagi.
“Ah...,” tangannya, gemetar, merenggut bagian depan rambutnya. Kedua mata Sooonyoung membelalak saat ia meninggalkan raganya, terseret arus memori.
Bukan salahku.
(“Padahal anak itu masih kecil.”)
Bukan aku. Bukan salahku. Itu bukan salahku.
(“Katanya istrinya ditembak di kepala.”)
“Aah...ahh...”
(“Anaknya juga mau ditembak katanya, tapi pelurunya kebetulan habis.”)
(“Ya ampun, jadi dia ngeliat sendiri ibunya ditembak bapaknya?? Anak sekecil itu??”)
Air mata, tanpa sadar, mengalir di kedua pipi Soonyoung.
(“Iya. Karena gagal, dia potong selang gas. Katanya, biar mereka berdua mati pelan-pelan.”)
(“Ya ampun...”)
(“Tapi kenapa ya...padahal yang kutau orangnya baik-baik aja tuh. Sopan. Ramah. Keluarganya juga harmonis kok.”)
(“Ya namanya juga masalah uang, nggak pandang bulu. Ngeri ya.”)
“Aaaaahhhhhhhhhh...”
Napasnya tercekat. Dadanya sesak. Ia tak bisa bernapas. Kwon Soonyoung tidak bisa bernapas.
Salahnya.
Bukan salahnya!
Salahnya. Salahnya. Salahnya.
Salahku.
(“Padahal kayak keluarga idaman gitu ya, pun baik banget Tuan itu, Tuan—”)
“AAAAAAHHHHHHH!!”
Untuk apa semua kekayaan yang ia punya?
Kalau ia tidak bisa menukarnya dengan nyawa.
...Joshua.
Maafkan aku...