narrative writings of thesunmetmoon

68.

#soonwoo

Joshua mendengus, lalu melempar hapenya begitu saja ke nakas. Ia memang tidak punya uang dan hape itu pemberian Hoshi agar ia bisa mudah berkomunikasi dengannya, namun ia tidak peduli walau Hoshi sedang bersamanya saat ini. Ia cukup kesal akan chatnya dengan Seungcheol tadi.

Melihat Joshua mengerutkan alis, Hoshi menelengkan kepala. Dilingkarkannya lengan ke sekeliling pinggang Joshua dari belakang. Ia mengecup sisi leher lelaki itu sebelum mengusrek hidungnya di sana.

Kemudian, berdiam.

Bunyi jam dinding. Suara hutan yang mengelilingi kediaman Kwon Soonyoung di malam hari. Bunyi napas mereka berdua dalam kegelapan yang hanya diterangi lampu baca.

Tarik. Hembuskan. Tarik. Hembuskan.

“Hosh.”

“Hmm?”

“Do you think I'm pretty?”

“Yeah,” ia tidak perlu berpikir untuk itu.

“Don't lie.”

“I'd rather die.”

Joshua mendengus geli, lalu tertawa. Ia membalikkan badan sehingga wajah mereka bertemu. Sambil tersenyum, dielusnya lembut kepala dan sisi wajah Hoshi. Senyumnya semakin lebar ketika lelaki itu mendengkur puas mirip harimau yang jinak. Ia memperhatikan baik-baik lelaki itu. Matanya yang indah selalu menatapnya lurus tanpa gentar, seakan tahu bahwa Joshua memilikinya dan ia memiliki Joshua selamanya.

Lelaki yang selalu bersamanya semenjak mereka kecil dulu, berbagi suka maupun duka berdua saja di tengah dunia yang kejam ini.

“Would I be pretty enough for him, though...”

Itu adalah gumaman. Pelan, bagai bisikan.

”...For Seungcheol?”

Tarikan napas. Mereka saling memandang. Hoshi tenang, kontras terhadap Joshua yang bertanya bagaimana Hoshi bisa tahu melalui sorot matanya.

“How...?”

“I saw you two. On a bench. Flirting.”

Pelukan Hoshi di pinggang Joshua mengerat. Matanya berkilat oleh sesuatu, entah apa. Komplikasi perasaan dari hubungan mereka berdua yang rumit.

“Hosh...”

You like him?

...like?

Terus terang, Joshua tidak tahu. Dibilang musuh pun, sekarang keadaan sudah seperti biasa lagi. Tak ada Jeon Wonwoo yang menendang perut Hoshi. Tak ada Hoshi yang merintih kesakitan malam-malam. Dan, harus ia akui, Choi Seungcheol sangat pandai berbicara. Mengobrol dengannya menyenangkan. Humoris, ringan, ia bisa santai menyeretnya ke topik-topik yang kurang mainstream dan Seungcheol akan melangkah bersamanya. Bila lelaki itu tidak paham, ia akan bertanya, bahkan meminta Joshua mengajarinya.

Ia...senang, to say the least. Sudah lama sekali seseorang selain Hoshi menunjukkan ketertarikan padanya. Baru kali ini ada seseorang yang mengulurkan tangan padanya dan mengajaknya keluar dari kepompong tebal yang ia buat bersama Hoshi. Kepompong tebal untuk melindungi mereka berdua, namun, bagai pedang bermata dua, juga menseklusi mereka dari seluruh dunia.

Dalam hidupnya, hanya ada dirinya dan Hoshi dan sisanya adalah musuh.

Us against the world.

Over and over again. Bak kaset rusak.

Pertama kali ia menemukan seseorang yang seperti Seungcheol, yang mengambil langkah maju duluan untuk mengenalnya lebih dekat, seolah...seolah Joshua worth the time and energy baginya. Potensi teman baru...mungkin juga lebih dari itu untuk Joshua...

“Yeah,” ditatapnya Hoshi. “I think I like him.”

Tidak ada perubahan di air muka Hoshi untuk sejenak. Joshua menggunakan kesempatan itu untuk benar-benar memperhatikannya. Wajah orang yang telah menolongnya, dahulu kala, bahkan sampai detik ini. Hoshi adalah orang yang mungkin cuma pernah kamu temui di cerita fiksi atau opera sabun siang hari bolong. Peran seseorang yang terlalu baik, terlalu berempati dengan semua orang, sehingga selalu menyalahkan dirinya sendiri untuk suatu kemalangan yang bukan salahnya. Hoshi orang yang seperti itu. Tak peduli berapa banyak ciuman dan pelukan yang Joshua berikan pada lelaki itu, ia akan terus dibayangi mimpi buruknya, mengejarnya dengan setia, seperti kematian. Membayang. Selalu ada di sisimu tanpa pernah pergi.

Joshua sudah tidak tahu lagi bagaimana ia bisa memperbaiki Hoshi. Yang ia bisa lakukan hanyalah bersamanya sampai salah satu dari mereka memutuskan 'inilah akhirnya'.

Kemudian, selembut sinar mentari pagi, Hoshi tersenyum padanya. Ujung hidung mereka hampir menyentuh ketika Hoshi membekap dan mengelus pipinya perlahan.

“Then I shall let you go on your next adventure in this life.”

Mata Joshua membulat.