narrative writings of thesunmetmoon

81.

#gyuhaoparentssequel

”...Aku pulang sekarang.”

“Hao...”

“Mah...”

Mingyu merangkul bahu suaminya, mencoba menenangkannya, sementara Kakak meremas tangan ibunya. Paras Minghao pucat pasi. Kakak baru saja memberitahunya mengenai kejadian semalam yang menimpa ketiga anaknya di rumah.

“Aku harus pulang, Pah. Anak-anak...anak-anak nunggu kita. Aku nggak bisa...mereka nyariin kita, Pah...,” gelengan kepala. Kakak menelan ludah, dadanya sesak melihat ibunya cemas seperti itu.

“Iya, Sayang, tenang dulu ya? Jangan panik dulu. Gini aja, kamu telpon Adek sama si kembar. Biar mereka tau kalo kamu bakal pulang. Aku pesenin kamu flight besok pagi ya, biar kamu tidur dulu yang enak, jadi nggak gelisah di pesawat,” Mingyu menarik kepala Minghao hingga bersandar di bahunya. Suaminya itu menghela napas, membiarkan Mingyu terus saja mengelus sisi kepalanya.

“Papa nggak balik juga?” tanya Kakak.

Ayahnya menggeleng. “Nggak, Nak, Papa di sini dulu sama kamu. Papa mesti kelarin rancang menu sama ngajarin Joshua. Papa juga mikir apa perlu hire satu lagi juru masak, soalnya pas Papa pegang sendirian, lumayan hectic juga,” Mingyu menunduk, mengecup puncak kepala Minghao. “Nggak apa-apa kan, Mah, kamu balik sendirian?”

Minghao mengangguk pelan.

Kakak diam mendengarkan. Tadinya ia ingin menunggu sampai urusan orangtuanya di Jepang selesai, namun kejadian semalam merubah semuanya. Kakak memantapkan diri sebelum menyampaikan apa yang sudah ia pikirkan masak-masak pada orangtuanya.

“Pa, Ma, Kakak udah tau jalan Kakak.”

Mendengar itu, kedua orangtuanya refleks mendongak. Mereka menatap wajah serius anak lelaki sulung mereka.

“Akhir bulan ini, Kakak mau pulang ke Indonesia. Kakak mau lanjutin dan lulus dari SMA. Terus, Kakak mau dalemin Hospitality Management. Kakak...suka kerja kayak gini, Pah. Bukan manajemen di kantor atau yang formal, tapi di lingkup kayak gini, yang Kakak tau setiap orang di atas dan di bawah Kakak. Mau ketemu langsung tamu Kakak. Mungkin nggak spesifik di restoran, either di hotel atau bidang jasa sejenis,” anak itu tersenyum. “Yah, mungkin, suatu hari nanti, Kakak bisa balik ke sini sebagai tamu atau partner usaha Papa.”

Mendengar itu, orangtuanya bertukar pandang, saling tersenyum.

“Kalo itu yang Kakak mau, Papa Mama selalu dukung kamu, Nak,” ayahnya membenahi rambut bagian depan Kakak. “Yang penting kamu selalu semangat ya. Kalo ada masalah apapun, ato sekedar mau cerita, inget kalo Papa sama Mama selalu ada buat kamu.”

“Iya, Pa,” Kakak mengangguk satu kali.

Ibunya meremas tangannya balik. “Mama percaya kamu pasti bisa, Kak. Papa Mama bangga sama Kakak,” mata Minghao berkaca-kaca, membuat pandangan anaknya ikut mengabur oleh tangis yang tertahan. “Selalu bangga sama Kakak. Jangan pernah lupa itu.”

Kakak meneguk ludah berkali-kali, lalu ia beranjak dari duduk. Dipeluknya leher kedua orangtuanya, yang langsung memeluknya erat. Minghao menyusrukkan wajah ke leher anak itu, sementara Mingyu mengusap konstan punggungnya.

“Makasih, Pah, Mah...”

“Sayang...,” gumam Minghao.

“Makasih....”

Kemudian, tidak ada lagi kalimat yang perlu diungkapkan selain mendesah puas dalam kenyamanan pelukan itu. Mereka sudah tahu tanpa kata-kata, sudah tertanam jauh dalam sanubari. Bila ada cinta yang paling murni di dunia, maka inilah bentuknya. Sebuah cinta sepanjang masa.

Jikalau memang tak ada keluarga yang sempurna di dunia, maka tak masalah. Keluarganya sudah cukup. Sudah sangat cukup.