88.
“Gue bakal balik ke Indonesia akhir bulan ini.”
Choi Yena mengerjap. Restoran belum buka di jam 9 lewat sedikit. Dengan Joshua dan ayahnya berdiskusi mengenai penyempurnaan menu baru mereka, ia ditinggalkan berdua saja dengan gadis itu. Mereka duduk berhadapan di konter bar. Mendengar itu, Yena tetap diam, namun ditelengkannya kepala seolah menunggu ada lanjutan dari kata-kata manajernya.
“Gue mau kelarin sekolah gue,” ucapnya kemudian. “Terus gue mau kuliah. Mungkin di Indonesia. Mungkin di tempat lain.”
“Hmm...,” Yena mengangguk-angguk. “Jadi Manajer udah tau ya mau ke mana?”
“Iya, haha.”
Jeda.
”......Manajer,” Choi Yena mengambil tangannya untuk digenggam lemah. “Yena seneng denger Manajer udah tau jalan hidup Manajer. Jarang lho yang bisa tau gitu. Kayak Yena. Yena aja nggak tau mau jadi apa.” Gadis itu tertawa ringan. “Manajer hebat. Manajer pasti bisa dapet apa yang Manajer mau.”
”....Beneran?” Kakak menelusuri jari-jemari gadis itu dengan jarinya sendiri.
“Mm,” ia mengangguk.
”........Jadi, kalo gue mau kamu, bisa dapet nggak?”
.
.
.
Keheningan yang merentang itu membuat Kakak menunduk malu. Ia mengalihkan pandang dari gadis itu. Rasanya sungguh memalukan. Ini gara-gara ibunya bicara aneh-aneh sebelum lepas landas. Iya, pasti karena itu. Belum terlambat untuk merubah semua, bilang kalau dia hanya bercanda dan—
“Mm, mungkin sekarang masih belum bisa yah?”
Krak.
Aduh, kok dadanya sakit?
“Ah, tapi jangan salah paham. Manajer orang baik. Yena suka sama Manajer, tapi bukan suka yang kayak gitu,” gadis itu meremas kedua tangannya. “Tapi nanti kalo Manajer udah kelar kuliah, terus somehow balik lagi ke sini, kasitau Yena ya. Kalo kita sama-sama belum nemu pasangan, coba tembak Yena lagi, siapa tau Yena udah suka Manajer yang suka kayak gitu “
Paras gadis itu bersungguh-sungguh, membuat Kakak tertegun, lalu, perlahan, tertawa lepas. Dia bahkan tidak diberi waktu untuk sedih ataupun marah pada diri sendiri. Choi Yena baru saja menolaknya. Patah hati yang pertama ternyata begini rasanya. Sakit, tapi...ah, gadis itu hebat, bukan? Sakit, iya, tapi juga lega. Sangat lega.
“Terima kasih penolakannya, Choi Yena,” masih terkekeh, Kakak mengangkat tangan untuk memijit hidung gadis itu, yang tentu saja langsung diprotes. “Jadi fix satu hal lagi yang emang gue lagi bingung pertimbangin.”
”?”
Kakak meringis jahil. “Gue bakal kuliah di Tokyo sini aja. So, see you in one year, Choi Yena. And when that time comes,” diketuknya ujung hidung gadis itu dengan lembut, selembut senyumannya kemudian. “Prepare yourself to fall for me.”
Bohong kalau Yena bilang jantungnya tidak melompat sekejap di dalam dada, tapi, ah, Manajer kan tidak perlu tahu soal itu. Maka, ia hanya tertawa bersamanya. Ringan dan nyaman.