93.
Sebuah mobil berhenti di depan sekolah di kota lain. Darinya, turun seorang wanita dan seorang pria. Lalu, seorang anak lelaki. Remaja, menuju dewasa muda. Anak itu menatap dua orang lainnya, yang adalah orangtuanya, tepat di mata, lalu pandangannya turun ke sepasang sepatunya. Wajah anak lelaki itu penuh lebam biru bekas pukulan, juga tamparan. Miris melihat anaknya dalam keadaan seperti itu, sang ibu mengelus bahu si anak, air matanya mengancam untuk meleleh menuruni pipi.
“Kamu baek-baek ya, Nak.”
“Mm.”
“Jangan minum ato makan yang aneh-aneh. Belajar yang rajin.”
“Mm.”
“Jangan mikirin apa-apa lagi. Fokus aja ke hidup kamu.”
Nggak ada jawaban.
“Kamu bakal cerita ke Mingyu?”
Anak itu menggeleng.
“Oh...”
Sang ayah maju, melingkarkan lengan ke sekeliling pinggang istrinya, lalu menepuk satu kali bahu anak itu.
“Papa sama Mama bakal pindah, Nak.”
Terkesiap, anak itu langsung mendongak dengan mata membelalak. Ayahnya sudah menduga reaksi si anak, hanya bisa mendengus.
“Papa nggak mau tinggal di sebelah orang yang mukulin anak Papa.”
“Pah...”
“Maaf ya,” raut wajah ayahnya berubah seketika itu juga. “Maaf, Papa udah bentak kamu dulu. Papa udah usir Mingyu juga. Papa udah pernah nyakitin kamu.”
Anak itu menggeleng.
“Pas Papa liat gimana Wonwoo dipukul papanya, Papa kaget. Papa malu, karena Papa bisa liat muka Papa sendiri di muka papanya Wonwoo. Papa nggak mau jadi begitu di ingatan kamu. Maafin Papa.”
Anak itu terus menggeleng. Ayahnya menaruh telapak tangan pada pipinya. Hangat. Sentuhannya lembut. Anak itu menggamit tangan tersebut, erat, seakan sebuah jaring penyelamat terakhir dalam hidupnya.
“Papa sama Mama sayang sama kamu, Nak. Kamu bebas mencintai siapa aja, asal kamu bertanggung jawab. Papa sama Mama akan tetap sayang sama kamu.”
Anak itu nggak mau menangis. Nggak ingin kembali ke kamar asramanya dengan wajah penuh luka dan memerah oleh air mata. Namun, mendengar itu keluar dari mulut ayahnya sendiri, ayah yang menolaknya dahulu kala dan mengusir pacarnya, kini menerimanya, nggak mungkin nggak membuat tangis anak itu pecah.
(“Kamu bebas mencintai siapa aja.”)
Wonwoo...
(“Papa sama Mama akan tetap sayang sama kamu.”)
Wonwoo...Wonwoo...
Seharusnya...seharusnya kalimat ini kamu yang denger dari orangtua kamu...
Kamu yang lebih butuh daripada aku...
Wonwoo...
“Hnng....”
Merintih. Mata anak itu memejam. Wajahnya memerah. Air mata terus bercucuran. Pun serodotan ingus terdengar. Sang ibu, ikut meneteskan air mata, langsung memeluk dan mengelusi punggung anaknya. Lalu, sang ayah memeluk keluarganya dan mengecup sisi kepala anak itu.
Penerimaan.
Sesuatu yang Joshua miliki yang nggak ternilai harganya.
“Ma...Wonu, Mah...,” cicitnya dalam pelukan sang ibu. Mengiba, meminta bantuan walau sekecil apapun.
“Iya, Sayang. Mama sama Papa bakal pindah pas kalian mulai kuliah,” ujar sang ibu. “Mama sama Papa bakal jagain Wonwoo dari orangtuanya sampe dia mulai kuliah.”
“Moga-moga dia kuliah yang jauh dari tuh rumah,” dengus ayahnya lagi.
“Pah...”
Joshua pun meneguk liurnya. Dia terus menangis. Menangisi ketidak mampuannya menolong sahabatnya. Menangisi keputusan yang dia buat sendiri. Menangisi kelemahannya sebagai seorang anak belasan tahun yang nggak bisa berbuat apa-apa.
Andai ini dunia di dalam novel, dia akan bisa dengan mudah mengajak Wonwoo lari dari semua hal yang menyakiti mereka dan hidup berdua saja dalam kebahagiaan.
Andai dunia semudah itu...
Dia yakin kalau Wonwoo pasti membencinya kini, karena dia kabur seorang diri. Terakhir dia melihat sahabatnya itu, dia bagai kepompong kosong. Miskin ekspresi. Hampa tanpa jiwa. Terakhir dia melihat sahabatnya itu, dia berlutut di lantai rumah keluarga Jeon, meminta maaf dan berjanji nggak akan dekat-dekat Wonwoo lagi agar orientasi seksualnya nggak 'menular'. Dia diam di sana, menerima semua cacian dan makian dan kata-kata degradasi akan 'kaum'-nya. Dia terus meminta maaf, bahkan ketika ibu Wonwoo menamparnya dan ayah Wonwoo menghajar dan mengusirnya keluar, nggak sudi rumahnya kotor oleh Joshua.
Terakhir dia melihat sahabatnya itu, Wonwoo diam saja diboyong masuk keluarganya, diwanti-wanti agar nggak lagi berhubungan sama 'anak setan itu'. Ibu Wonwoo menangis tapi nggak meminta maaf pada Wonwoo. Mereka melihat Wonwoo sebagai suatu kesalahan yang harus mereka koreksi secepatnya, sebelum terlambat.
Dan Joshua meninggalkan sahabatnya dalam tangan orang-orang seperti itu. Terperangkap di sana, entah sampai kapan.
Wonwoo pasti membencinya. Wonwoo pasti—pasti—
“Aku—aku cinta—,” isaknya. Napas memburu, hampir sesak. “Aku cinta Wonu. Aku cinta dia. Cuma dia. Ya Tuhan, Wonu...Wonu...Aku udah ninggalin dia. Aku—”
Di sana, dalam pelukan ibu dan ayahnya yang menyaksikan bagaimana putra semata wayang mereka, harta berharga pemberian Tuhan, pelengkap sempurnanya cinta mereka, runtuh menjadi kepingan kecil, Joshua Hong meraung melepas semua tangisan dan isi hati terdalamnya. Bagaimana putra mereka itu hancur karena cinta dan mereka nggak bisa melakukan apa-apa.