95.
“Wah, bubur!”
Tanpa sengaja, ia berseru. Bagaimana tidak, begitu ia membuka mangkuk kertas pagi ini, bubur ala Cina bertabur suwiran ayam kering, potongan daging ikan, udang dan daun bawang lah yang menyambutnya. Bubur itu masih polos. Kondimen seperti kecap asin, kecap manis, cabai bubuk, cabai rawit, lada, saus sambal, dipak tersendiri dalam tempat-tempat kecil. Post-it yang ia terima berbunyi sebagai berikut:
Selamat pagi, Hao. Can I call you that? Kalo nggak boleh, please tell me how should I address you properly.
Anyway, hari ini saya coba bikin bubur. Ayam, ikan dan udang. Mau saya coba masukin telur pitan tapi nggak tau kamu suka atau enggak. Semoga suka ya :)
Anyway lagi, Hao prefer apakah? Sarapan saja, atau juga mau makan siang? Atau snack sore? Maaf ya saya banyak nanya. Saya takutnya jadi beban di Hao, gitu.
“Apaan sih, Kak?” mendengar Minghao terkekeh pelan, Mingyu menoleh, penasaran, sampai ia melihat semangkuk bubur dan wajah bahagia seniornya itu, lalu ikut tersenyum. “Secret admirer Kakak lagi ya?” ringisnya.
“Bacot,” meski begitu, nada yang digunakan ceria. “Diem ah lo, gue mau konsen nulis.”
Dari sudut matanya, Mingyu melihat Minghao mengambil post-it miliknya, kemudian mulai menulis dengan entusias. Menghela napas dan menggelengkan kepala, Mingyu kembali bekerja.
Of course. You can call me Hao. Sebenernya saya pingin bisa manggil kamu balik, tapi kalau kamu tetap mau stay secret, nggak apa kok :)
Saya suka banget bubur, more than anything. Thank you so much. Belum saya makan sih, but I know it will be perfect as usual.
Dan soal sarapan, makan siang atau snack, saya yang harusnya nggak ngebebanin kamu. Just do what you want to do. Yang penting kamu ikhlas ngasihnya. But I do hope I am not making you spend more in food expenditure, like seriously.
Setelah menempelnya di bawah post-it orang itu, Minghao memasukkan beberapa kondimen yang ia suka ke dalam buburnya, lalu memakannya dengan lahap, tanpa diaduk.