narrative writings of thesunmetmoon

Ch 1.1: The Messenger

#haremhaohybrid

Langit begitu benderang karena mentari tersenyum amat lebar hari ini. Bagaimana tidak? Bila seekor kelinci cantik tengah berjemur di bawah naungannya, kedua telinga panjangnya kuyu oleh kedamaian. Helai rambut diacak angin semilir yang juga membawa harum bebungaan musim panas. Merah darah, jingga terang, kuning menyengat—bergerombol membentuk sebuah bingkai indah untuk makhluk yang sama indahnya. Dengan bibir mekar merona dan bulu mata hitam yang lentik, Xu Minghao bagaikan setangkai bunga cantik...

...yang malang.

Menyepi, ia. Di pondok jauh di dalam hutan sepi, ia hidup seorang diri setelah kedua saudaranya ditangkap para karnivora.

Ya. Ditangkap. Sebab memang begitulah faktanya. Jeonghan dan Jisoo ditangkap dan tidak pernah kembali lagi, meninggalkan adik sepupu mereka merana tak berkesudahan.

Meski ia kini berada di usia yang sama seperti mereka kala itu, namun Xu Minghao berbeda. Ia bertekad untuk berbeda. Kaum kelinci termasuk kaum pelari tercepat dan Minghao adalah yang tercepat di antara mereka bertiga. Bila para karnivora datang, maka ia sudah siap. Ia tidak akan kalah dari mereka. Ia tidak akan ditangkap oleh mereka seperti nasib Jeonghan dan Jisoo. Ia seorang, kelinci terakhir lah yang akan menghentikan renceng kemalangan ini.

Takkan ada lagi kelinci-kelinci yang seenaknya ditangkap oleh para karnivora biadab itu.

Takkan ada Jeonghan dan Jisoo yang lain.

Maka dari itulah, ketika telinganya yang awas menangkap secuil bunyi—kertakan ranting di bawah sol sepatu—Xu Minghao melompat dari hamparan bebungaan tempatnya berjemur dan langsung berlari. Oh, ia mengenal hutannya; mengenal semua penghuninya dari burung hingga lebah, dari tupai hingga menjangan. Setiap pohon yang lekang oleh waktu. Setiap lumut di bebatuan. Setiap tanah dan kerikil yang ia lewati setiap hari, setiap jam, menit dan detik, selama lima belas tahun ini.

Bila ada yang akan tersasar, maka itu bukanlah Xu Minghao, melainkan—

“Tunggu! Aku Kwon Soonyoung! Klan Macan!” suara, menggelegar dan memantul pada batang-batang pohon berusia delapan ratus tahun, tinggi menjulang mengukung siapapun yang masuk ke dalam perangkap mereka (tentu, selain sang kelinci kesayangan). Panik bersalut, lebih kentara daripada ancaman. “Kakak iparmu!”

(Kakak ipar).


(“Kak Shuji...”)

(“...Baik-baik, Haohao. Klan macan, Kwon...aku akan pergi ke sana...”)

(“Kak Shuji, apa—kita nggak kabur aja?”)

(“Dia berjanji padaku.”)

(“Kak...!”)

(“Haohao, dia janji padaku. Dia janji padaku soal Kwannie. Maaf, aku...aku juga punya Kwannie...aku nggak bisa egois...”)


“Aku kakak iparmu. Jangan—huft—lari—”

Lancang. Kakak ipar apa?!

“Aku datang sendirian. Tidak bawa senjata!” sang tetua klan mengangkat kedua lengannya. Kwon Soonyoung berdiri di bukaan kecil, setitik area yang terbuka, di antara pepohonan. Ia tidak bisa melihat di mana tepatnya si kelinci, namun ia yakin Xu Minghao ada di sana, mengawasinya dari balik perlindungan batang-batang yang tebal itu. Angin berhembus, terasa dingin oleh keheningan hutan. Ekornya yang bermotif belang menyapu tanah dan dedaunan dengan tenang. Ia tampak jinak dan lemah, sama sekali tidak memberikan alasan untuk Minghao agar tetap waspada.

Tapi, karena tak kunjung menerima balasan, ia pun melanjutkan, “Xu Minghao, aku datang membawa dua pesan untukmu. Satu, mengenai keputusan perwakilan klan karnivora. Dan, dua, pesan dari kakakmu, suamiku, Jisoo.”

Mendengar nama tersebut, Minghao menarik napas diam-diam. Ia tahu pria itu, mengenal wajahnya, wataknya, juga alasan kenapa ia datang ke sini. Ia telah melihatnya duduk di antara Jisoo dan Boo Seungkwan sebagai pengantin. Telah melihatnya bertukar minum teh dengan kakaknya. Telah melihatnya mengangkat cadar Jisoo dan Seungkwan, menarik napas mendadak ketika kedua pengantinnya membuka kelopak mata dan menatapnya.

Minghao telah melihatnya jatuh cinta pada kedua pengantinnya di hari itu.

Hari laknat itu.

Ia tidak beranjak dari persembunyiannya. Adalah bodoh bila mempercayai ucapan karnivora, meski karnivora itu adalah kakak iparmu sendiri. Minghao diam saja sambil berharap sang macan menyerah dan pergi (meski mustahil, karena karnivora bisa sangat keras kepala). Kwon Soonyoung mendesah, lalu duduk di situ, persis di atas tanah yang ia pijak. Minghao menutup mulut agar suara sentakan napasnya karena terkejut tidak terdengar.

“Kakakmu, ah...pertama, dia bilang dia mau minta maaf. Perutnya terlalu besar untuknya nyaman bepergian jauh. Sebenarnya aku akan senang sekali kalau kedua kekasihku bisa ikut datang, tapi keselamatan mereka dan anak-anak kami adalah prioritas. Aku harap kau maklum,” nadanya begitu lembut—terlalu lembut di telinga Minghao. Kelinci itu tidak terbiasa mendengar ada karnivora yang menyebut kakaknya selembut itu. “Tapi, ketahuilah, apa yang kubilang padamu ini adalah hasil jerih payah kakakmu. Dia telah memutar otak mati-matian agar kau tidak memikul beban yang sama sepertinya.”

...Oh?

“Xu Minghao dari klan kelinci, di usiamu yang ke-15 ini, alih-alih dinikahkan, maka kau akan memilih karnivoramu sendiri.”

.
...
......
.........
............

SRAKK!

“Oho, kau di situ rupanya, Adik Ipar—”

“Apa maksudmu, Macan?!”

Minghao memotongnya. Kwon Soonyoung tidak terlihat marah ataupun tersinggung. Alih-alih, ia menyunggingkan senyuman santai. Ekornya menyapu tanah, sedikit gembira karena, akhirnya, Minghao menampakkan batang hidungnya lagi setelah sekian lama (terakhir Soonyoung melihat kelinci itu adalah di hari pernikahannya).

“Persis seperti yang barusan kau dengar, Adik Ipar,” ucapnya tanpa merubah intonasi. “Kakakmu Jisoo meminta para perwakilan karnivora untuk membiarkanmu memilih. Bukan menerima, bukan menoleransi, bukan terpaksa, tapi memilih suamimu sendiri.”

Minghao diam sejenak, meresapi kalimat barusan.

”...Kata siapa aku butuh suami?” nadanya sepat. Tatap matanya tajam. Soonyoung berpikir, mungkin kelinci di hadapannya itu jauh lebih keras kepala daripada suaminya (dan ia bahkan dituntut ekstra sabar atas kekeras kepalaan Jisoo). “Aku. Nggak. Butuh. Kalian. Aku bisa hidup sendirian. Ladang, ada. Sarang, ada. Hutan ini? Rumahku. Kamu?” Telunjuknya menuding Soonyoung. “Pergi. Aku nggak butuh suami. Nggak sudi dimakan karnivora biadab macam kalian yang—”

“Kau pernah mencicipi daging kelinci, Adik Iparku?”

Minghao berdeguk, hampir tersedak ludahnya sendiri. Seketika, kedua telinganya berdiri, menegang. Ekornya yang kecil mungil bergerak gelisah.

”...Aku tidak akan mendeskripsikannya padamu. Aku tidak segila itu. Tapi, di bawah naungan klan karnivora kami, tidak akan ada predator liar yang akan mengetahui betapa lembutnya daging kaummu...”

Matanya. Mata itu. Mata kaum pemangsa. Mengilat sejenak, sebelum lenyap seketika. Minghao menemukan dirinya agak kesulitan bernapas. Karnivora tetaplah karnivora.

“Menurutmu, kenapa kau bisa hidup sendirian dalam hutan seperti ini tanpa ada satu pun pemangsa menandaimu, Minghao?”

Daging dan darah herbivora sepertinya adalah makanan utama mereka...

“Garis keturunan kalian telah dilindungi oleh klan karnivora. Dengan kami menghormati tradisi: kaum kelinci menyediakan pengantin bagi kami dan kami melindungi kaum kelinci sejak mereka lahir hingga menjadi bagian klan kami. Selalu seperti itu.”

Kwon Soonyoung menghela napas. Ia beranjak dari duduknya di tanah. Gestur sang macan menandakan bahwa ia bersiap untuk pergi.

“Dengar. Aku tidak mau memaksa. Terserah keputusanmu saja. Namun, ketahuilah, kalau kau menolak tradisi, maka klan karnivora juga akan melepas perlindungan kami. Tidak semua klan berada di bawah naungan kami. Jadi, kalau ada karnivora lain yang tetau datang, maka itu bukan klan kami dan aku harap kau tidak lantas menyalahkan kami.”

Badan berbalik. Minghao menatap punggung karnivora itu, lama.

”...Ah, setidaknya, hubungilah kakakmu. Dia begitu merindukanmu.”

Kwon Soonyoung mulai berjalan. Dedaunan dan ranting, bergemerisik dan berderak, menemani langkah tegap sang macan. Pikirannya penuh dengan potensi reaksi suaminya. Bagaimana sedihnya kekasihnya itu. Bagaimana kecewanya Jisoo, mengetahui suaminya tidak bisa lagi melindungi adiknya karena Minghao menolak—

“KALO—”

Telinga Kwon Soonyoung berkedut.

”...Kalo nggak ada yang kupilih sebagai...sebagai suami...di akhir,” jakun Minghao naik-turun. “Gimana?“

Perlahan, Kwon Soonyoung berbalik. Ia menemukan adik iparnya itu mengernyit dan menunduk, memandangi ujung sepatunya.

”...,” sang macan memasukkan tangan ke saku celana. “Jika pada akhirnya tidak ada satu pun dari kami yang kau pilih sebagai suamimu, tidak ada yang memikat hatimu, maka kami akan menjagamu dan hutan ini sampai kau menemukan suami yang akan melindungimu setelahnya. Dan berakhirlah tradisi klan kami dengan kaum kelinci.

Selamanya.“

Bulu kuduk Minghao meremang. Tawaran yang begitu menggiurkan hingga sulit untuk ditolak. Dengan begini, dirinya bisa bebas, bisa terlepas dari putaran takdir. Bisa...bisa hidup sebagai seekor kelinci yang tidak terikat salah satu klan karnivora...

“Jadi, emm...,” ia, berlagak acuh, mengedikkan bahu sambil lalu. “Aku musti ngapain...?”

Ah.

Sepertinya kekasihnya tidak perlu kecewa hari ini.

“Baik. Kalau begitu, pertama, kemasi barang-barangmu.”

Senyumannya disambut oleh kebingungan nyata di paras sang kelinci.

“Xu Minghao, kelinci terakhir, kau diundang untuk tinggal sementara di kediaman klan macan olehku dan oleh suamiku, kakakmu, Jisoo.”