narrative writings of thesunmetmoon

Part 10

#gyushuaabo

Mungkin ia memang sudah gila.

Satu hal yang paling meresahkan Tuan Kim adalah fakta bahwa satu-satunya Omega yang ingin ia genggam tangannya selepas berdansa masihlah teramat muda. Nah, nah, Tuan Kim bukanlah naif. Sang Alpha mengelilingi dunia dalam waktu senggangnya dan, dengan begitu, mengenal berbagai tabiat manusia di masing-masing negara.

Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang anak kecil—demi Tuhan, anak kecil!—terseok-seok berjalan di belakang seorang Alpha paruh baya. Lehernya yang mekar oleh tanda gigitan permanen ditarik oleh tali kekang. Perutnya membuncit diisi jabang bayi. Sementara sang Alpha memeluk wanita Beta di salah satu lengannya, seakan tengah mengajak jalan seekor anjing.

Saat melihatnya, Tuan Kim bagai tersambar petir di siang hari bolong. Alpha dalam dirinya terbangun, ingin mengamuk karena murka melihat kebejatan semacam itu terjadi di depan ujung hidungnya.

Ia, yang dibesarkan dengan adat istiadat dan tata krama sempurna.

Ia, yang ditanami pemahaman sepanjang hidupnya bahwa Omega adalah anugerah tertinggi, fundamental suatu pemerintahan, ibu dari seluruh kerajaan di dunia.

Masuk akal, baginya, karena Alpha hanya terlahir dari rahim seorang Omega. Bahwasanya wajar apabila Omega ditinggikan kedudukannya, disucikan jasmaninya, dihormati kehendaknya, karena tiada Omega, tiada pula lah Alpha.

Namun, apa, demi segala yang diper-Tuan-kan, yang tengah ia lihat saat itu?

Seorang Omega diseret bak binatang di tengah jalan.

Tuan Kim di masa muda segera melintasi hiruk pikuk dan mengangkat tinjunya. Ceceran darah melayang, mengotori tembok bangunan di balik punggung si bajingan. Mata Tuan Kim merah sesaat. Ia ingin menolong Omega tersebut. Ingin melepaskannya dari jeratan paksa Alpha keparat. Akan tetapi, ketika Tuan Kim kembali sadar, Omega itu malah ketakutan terhadapnya. Gemetaran, Omega kecil tak berdaya tersebut malah meringkuk menangisi Alphanya, memanggili nama makhluk rendahan itu dan memohon agar jangan mati meninggalkannya dan bayi mereka sendirian.

Kepala Tuan Kim pening. Kedua lengannya ditahan oleh dua orang penegak hukum. Ia ingat menerima telepon dari negaranya di dalam kantor polisi, dimaki dari jauh oleh suara yang tinggi dan tegas. Suara yang sama yang menukar satu permintaan dengan permintaan lainnya: harta dengan kebebasan Tuan Kim.

Di penghujung hari, Tuan Kim berstatus orang bebas dan kepala polisi lebih kaya beberapa milyar. Satu-satunya hal yang ia sesali adalah ia tidak membunuh Alpha sampah itu.

Seiring berjalannya waktu, Tuan Kim bermain lebih halus, berpikir lebih cerdik. Alih-alih menyelesaikan masalah menggunakan tinjunya, ia menjebak Alpha yang berbuat kejam pada Omega secara diam-diam. Memasukkan barang di toko ke dalam saku sang Alpha, misalnya. Atau mengadu domba berandalan jalanan dengan Alpha tersebut.

Hanya saja, hampir semua Omega yang ia bebaskan tidak mau dibebaskan. Mereka meraung, meminta Alpha mereka kembali. Mengemis, mengais. Memohon di ujung sepatu para Beta dan Alpha lain.

Kenapa? tanya Tuan Kim dalam hati. Kenapa? Tidak inginkah kalian hidup bersama Alpha yang menghormati kalian sebagai manusia biasa?

Tuan Kim tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa ia tarik dari pengalamannya itu adalah kenyataan bahwa, sekali Omega terikat dengan seorang Alpha, ia selamanya akan terikat pada Alpha tersebut. Jika Alpha itu tiada, maka Omega yang ditinggal akan sama, jika tidak lebih buruk, seperti mati.

Maka, Tuan Kim memilih Omeganya sendiri dengan hati-hati. Ia ingin Omega yang menjadi belahan jiwanya kelak berbahagia karena telah memilihnya sebagai Alphanya. Ia ingin Omega yang akan ia berikan seluruh sisa hidupnya tidak pernah menyesali pilihannya. Ia ingin mempersembahkan bintang di langit malam dan sejuta kelopak bunga yang mekar sempurna. Ia ingin memejamkan mata di sisa-sisa nyawanya dengan tangan yang hangat dalam genggamannya, memandangi wajah anak-anak beserta cucu-cucunya, dan tersenyum saat menghembuskan napas terakhir, berpikir bahwa, ah, ia puas, karena ia telah membuat satu-satunya orang yang ia cintai bahagia sampai akhir hayatnya.

Tuan Kim menginginkan itu semua.

Tetapi Joshua Hong masihlah teramat muda.

Rasanya salah. Rasanya tidak benar.

Tuan Yoon, meski bersahabat baik dengan sang raja sejak kecil, pun diminta tangannya baru setahun yang lalu. Meski begitu, kondisi mereka berbeda. Tuan Yoon mencintai sang raja, dan begitupun sebaliknya. Mereka hanya perlu saling berpandangan dan tertawa tersipu, tangan Tuan Yoon dalam genggaman sang raja. Mereka saling menanti karena mereka sama-sama sudah tahu bahwa mereka kelak akan bersama selamanya.

Tuan Kim tidak memiliki kepercayaan diri maupun kepastian seperti itu. Tuan Hong adalah Omega yang dibesarkan dengan cara yang berbeda dari Tuan Yoon. Ia belum mengenal Tuan Hong dengan baik. Ia tidak tahu apakah dirinya diperbolehkan mengenal Tuan Hong lebih baik lagi. Dan juga, tatapan Tuan Hong ketika mereka pertama berjumpa di balkon...

...seakan takut akan Alpha.

Tuan Kim mengira itu karena keadaan Omega di negara Tuan Hong. Kini, ia tidak begitu yakin. Mungkin, mungkin saja, ada sesuatu yang lebih dalam daripada itu.

Mungkin, memang Tuan Kim sudah gila. Karena, meskipun ia mengingatkan dirinya sendiri, terus menerus, bahwa Tuan Hong masih anak di bawah umur. Masih muda. Perlu menikmati hidupnya, mengembangkan sayapnya, tertawa ceria dalam kebebasan. Pun masih memendam begitu banyak rahasia.

Meskipun begitu—

--ia tetap mencari Tuan Hong di antara seratus ribu kepala yang ia lewati di jalan raya setiap harinya. Ia tetap kecewa jika ia tidak menemukan sosoknya seharian itu. Jantungnya akan seketika melompat ketika, ya, Omega itu berada jauh di depannya, tersenyum sambil mengobrol bersama ibunya. Bahkan sekilas pandang, Tuan Hong begitu indah. Begitu, begitu

Tuan Kim tidak berbohong kala itu, ketika ia mengaku tidak pernah bertemu Omega seindah Tuan Hong dalan bisikan rendah.

Mungkin ia memang sudah gila.

Toko kelontong langganan keluarga Hong adalah toko Nyonya Oh. Tukang daging pilihan mereka berdiri di bagian depan High Street, milik Tuan Han. Roti yang mereka beli adalah roti keras murah terbuat dari ragi dan lemak babi dari toko Tuan dan Nyonya Ahn. Keluarga Hong juga kerap beristirahat di kedai teh Nyonya Jeon. Tuan Kim tahu berapa sendok kecil gula batu dituang ke teh Tuan Hong. Tahu berapa adukan sebelum ia meminumnya. Tahu, Tuan Hong memilih dua potong crumpet kecil diolesi mentega sebagai teman teh jam tiganya.

Tuan Kim tahu wangi kue natal yang menyambutnya setiap ia memasuki toko-toko tersebut setelah keluarga Hong bertolak pulang.

Tuhan, ia benar-benar sudah gila...

“Tuan Kim,” Nyonya Oh meringis. “Suatu kehormatan saya! Tapi, ah, Anda datang lebih cepat dari biasanya.” Wanita Beta itu mengedipkan sebelah mata.

Tuan Kim menunduk. Pipinya tersipu. Hampir semua pemilik toko memahami apa yang ia lakukan. Bagaimana tidak? Ia telah melakukannya hampir dua bulan kini. Membeli barang asal-asalan yang membuat mereka mengernyitkan alis hanya agar bisa menghirup sisa-sisa keberadaan Omega yang perlahan merasuki hati kecilnya.

Para penjaga toko bereaksi berbeda akan tingkahnya. Ada yang menggeleng, tidak paham ulah Alpha kasmaran, namun memutuskan bahwa bukan urusan Beta sepertinya. Ada yang memperingatinya, bahwa perbuatannya ini bukan tindakan terpuji dan Tuan Hong bisa merasa tidak nyaman jika ia menyadarinya suatu saat nanti.

(Diam-diam, Alpha di dalam Tuan Kim mendengking menyedihkan mendengar itu.)

Lainnya mendukung dirinya dan malah memberikan satu-dua informasi tambahan. Salah satu dari mereka adalah Nyonya Oh.

“Tidak, saya—” Tuan Kim berdeham. Kelabakan. “Saya, eh, tidak berniat merepotkan Anda. Tapi, mm, apakah saya boleh meminta tolong pada Anda...”

Wanita itu mendadak nampak terlalu ceria.

“Ooh, tentu, tentu. Jangan khawatir, Anda takkan merepotkan saya! Apa yang bisa saya bantu untuk Anda, Tuan Kim?”

Makin tersipu, lelaki itu perlahan menarik keluar buket cantik dari balik punggungnya. Berwarna biru lembut dihiasi bunga putih kecil-kecil. Tuan Kim memilih bunganya dengan hati-hati, bahkan memotongnya sendiri dari halaman kediamannya di bawah arahan tukang kebunnya yang was-was.

“Apakah...saya boleh menitipkan buket bunga ini pada Anda?”