Part 106
Jarak kedua negara yang saling perang dingin tersebut sebenarnya tidak terlalu jauh. Dengan kapal laut yang kecepatannya bagus, mereka hanya membutuhkan waktu tempuh 3 hari 2 malam. Joshua melewati hari-harinya di atas lautan dengan setengah cemas, setengah menikmati kebebasannya di kapal pesiar megah tersebut, mulai dari kabin super nyaman, hidangan kelas atas yang disajikan, ruang bersantai diiringi orkestra hidup, servis pijat dan sauna, ruang berendam yang indah, lapangan tenis, kolam renang air hangat, dan segala kemewahan lainnya yang datang dengan harga yang mereka bayar.
Tentu saja, selama berada di publik, Mingyu ada di sana bersamanya, tidak sekalipun melepas genggamannya.
(Demi sang Alpha, Joshua menangguhkan menikmati segala akomodasi yang mengharuskan dirinya bertelanjang dada di depan publik, karena ia tidak ingin Mingyu cemas lebih dari ini.)
Di malam terakhir sebelum mereka mendarat keesokan paginya, Joshua mengajak Mingyu berdansa. Selepas 21 jenis set hidangan lengkap mereka nikmati, dengan sedikit alkohol dalam kopi setelah makan malam tersebut, mereka berdua berdansa ditemani kekehan ceria. Joshua tersenyum lebar sepanjang berdansa, ekspresi serupa nampak pada paras tampan Alphanya. Di suatu momen, Joshua memajukan wajahnya, hendak mencium Mingyu, namun sang Alpha menahannya karena mereka masih di tengah kerumunan orang. Terlalu mabuk oleh rasa bahagia, tidak terpikir oleh sang Omega untuk merasa tersinggung.
Dan memang tidak perlu, sebab, begitu Mingyu mengantar Joshua hingga ke depan pintu kabinnya, ia menciuminya seperti pria kelaparan. Joshua hampir melayang, bergelantungan di leher sang Alpha dengan punggung tertekan ke pintu. Lengan Mingyu menekuk di permukaan pintu, yang satu lagi menggamit pinggang sang Omega. Lidah mereka bertautan, rasa alkohol dan kopi merebak indra pencecapnya. Pun, Joshua merasakan gairah tunangannya terhadapnya di selangkangan mereka yang saling bergesekan. Geraman, juga erangan tertahan, memenuhi sudut kabin tersebut.
Joshua akhirnya dilepas untuk masuk ke dalam kabinnya sendiri dengan bibir bengkak dan miliknya yang setengah terbangun. Ia bisa saja menyentuh dirinya sendiri dengan suara-suara tak senonoh terlontar, mengetahui pasti bahwa Mingyu bisa mendengarnya di kamar sebelah, atau pergi ke kamar mandi dalam kamarnya dan mengurusnya di sana, namun anak itu terlalu mengantuk dan, akhirnya, tumbang tertidur begitu saja.
Ketika bangun, matahari sudah agak tinggi dan kapal mereka akan mendarat. Joshua mandi dan berbenah koper dengan terburu-buru. Begitu keluar, Mingyu sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Sang Alpha bersandar ke dinding di seberang pintu. Kedua tangannya masuk ke saku celana kulit sintetis warna hitamnya. Kemeja hitam bermotif, jas hitam semi-formal, juga sepatu boots hitam. Rambutnya tersisir rapi seperti biasa. Di hidung sang Alpha, bertengger kacamata bingkai hitam tipis dengan lensa palsu.
Jantung Joshua melonjak sesaat. Refleks, koper terlepas dan terjatuh dengan bunyi nyaring. Mingyu terlihat seperti Alpha di negaranya, bukan Tuan Kim dengan topi tinggi dan mantel panjang yang biasa ia lihat.
“Sayang?? Kenapa??” kaget, Mingyu lekas membungkuk untuk mengangkat koper tunangannya.
Yang ditanya malah bengong. Mingyu mengerutkan alis. Ia mengambil alih koper Joshua di tangan satunya yang masih kosong.
“Sayang?”
“B-baju kamu...”
“Baju saya?” Mingyu menunduk, melihat dirinya sejenak sebelum meringis pada kekasihnya. “Ah. Saya cenderung berpakaian mengikuti negara tujuan. Supaya tidak menarik perhatian, cara terbaik adalah mengikuti gaya berpakaian warga lokal.”
Karena Joshua tidak kunjung menutup mulutnya yang menganga, ringisan Mingyu berubah agak sedih.
“Begitu anehnyakah...?”
Cepat, Joshua menggeleng kuat-kuat. “...Jujur, kalo kita ketemu di kapal ini dan kamu ternyata udah nikah, aku nggak bakal peduli,” hembus sang Omega, membuat Alphanya terkekeh senang.
“Maafkan saya, jikalau begitu, saya harus menolak Anda,” ia mengambil tangan Joshua dan mengecup lembut punggung tangannya. Di mata Mingyu, kekasihnya dalam balutan jaket biru navy, kaus putih dan jins, jauh lebih menakjubkan. “Saya tidak akan pernah mengkhianati tunangan saya. Dia terlalu indah dan berharga bagi saya dibandingkan dengan siapapun.”
“Tuan Kim,” canda sang Omega. “Anda pandai berkata-kata.”
“Hmm,” Mingyu mengecup sisi leher Joshua, membuat sang Omega sedikit menggigil. “Jika Anda perkenankan, bolehkah saya meninggalkan bekas gigitan saya di sini?”
“Eh?”
“Ah, b-bukan di kelenjar feromon Anda,” langsung disanggahnya. “Di sini, agak di bawah.” Mingyu menciumnya di tempat yang dimaksud. “Setidaknya untuk menghalau Alpha di sana...”
Sebenarnya Joshua juga memikirkan hal itu. Bila ada sesuatu, apapun, yang bisa melindunginya dengan menguarkan kepemilikan Mingyu padanya...
“Umm,” ia pun mengangguk setuju. “Tapi aku mau kamu tempelin feromon kamu di aku juga! Pokoknya aku mau berbau kamu selama di sana!”
Hati Kim Mingyu pun luluh. “Saya pun,” bisiknya. “Saya ingin berbau Anda selama di sana. Bolehkah?”
Senang, Joshua berkali-kali mengangguk. Ia mengalungkan lengan ke leher Alphanya sambil menelengkan kepala, memberi akses pada Mingyu untuk menggigitnya di tempat yang mereka sepakati. Tanda kepemilikan temporer yang biasa dibagi antara pasangan bila mereka membutuhkannya, namun belum siap untuk saling menggigit kelenjar feromon. Mingyu menunduk, menjilat kulit putih Joshua sebelum taringnya membelesak.
“Ngh...,” alis Joshua berkedut.
Mencium ketidaknyaman di feromon Omeganya, Mingyu kemudian memeluknya dan mengeluarkan feromonnya sendiri banyak-banyak. Menghirup wangi teh tersebut, serta merta Joshua kembali rileks. Gigitan itu pun diselesaikan dengan jilatan untuk menutup luka.
Puas akan tandanya di leher Joshua, Mingyu secara alamiah menduselinya, yang dibalas oleh Omeganya. Mereka menggunakan sisa waktu sampai kapal merapat ke pelabuhan untuk bertukar feromon sebanyak mungkin, memastikan ketika mereka turun dan menginjak negara asal Joshua, tidak akan ada Alpha yang berani menyentuh seujung pun rambut sang Omega.