narrative writings of thesunmetmoon

Part 107

#gyushuaabo

Begitu kapal berlabuh, perbedaan antara negaranya dan negara Mingyu terasa mencolok. Kendaraan lalu lalang, sibuk mengeluarkan kargo dari kapal tersebut. Pun bus kecil menjemput mereka agar tidak perlu berjalan jauh ke terminal.

Joshua tidak sekalipun melepaskan tangan Mingyu sampai mereka tiba di terminal dan perlu melaporkan diri ke bagian imigrasi.

“Nama?”

“Joshua Hong.”

“Keperluan?”

“Pulang, liburan.”

Diperhatikan lamat-lamat dirinya untuk disesuaikan dengan foto pada identitas. Kemudian, ia dipersilakan lewat. Joshua tengah memasukkan kembali identitas diri ke saku jaketnya ketika Mingyu akhirnya lolos juga dari imigrasi.

“Gimana?” bisiknya.

Sang Alpha hanya tersenyum menenangkan. Joshua menghela napas lega. Mingyu lalu merangkul pundaknya dan mengajaknya segera ke pintu masuk terminal, dimana limusin kiriman dari hotel mereka telah menunggu.

Tanpa mereka ketahui, petugas bagian imigrasi tersebut merayap keluar tempat jaganya untuk diam-diam menelepon seseorang dan mengabarkan kedatangan kedua orang yang telah ditunggu-tunggu.

“Pak, mereka sudah sampai.”

“Bagus. Segera pergi dari situ.”

“Baik.”

Telepon dimatikan. Agen yang menerima kabar tersebut langsung menelepon atasannya dan melaporkannya, sebelum ia bergegas mempersiapkan diri. Tugas khususnya akhirnya datang jua.


Menyambut mereka adalah gedung-gedung tinggi dan jalanan yang sibuk. Pemandangan kota yang mengiringi pertumbuhannya hingga usia 16. Orang lalu lalang dalam berbagai jenis pakaian dan tak ada satupun yang memedulikan. Bila ini di negara Mingyu, mereka pasti sudah menjadi buah bibir berminggu-minggu.

Kota besar di negara yang teknologinya lebih maju dengan penduduknya yang individualis. Begitulah kira-kira Joshua menjabarkan negaranya pada Mingyu di dalam limusin. Mingyu mengangguk-angguk, paham karena dirinya toh beberapa kali ke sini. Ia sudah tahu seperti apa suasana di sini.

Di suatu lampu merah, mereka tidak sengaja melihat sepasang kekasih bersandar ke tembok dan berciuman mesra. Joshua menghela napas, ingin berciuman dengan Alphanya juga, tapi Mingyu tidak akan mau bila ada orang lain. Ia melirik ke Mingyu yang, di luar dugaan, membuang muka.

“Mingyu?”

“Iya?”

“Eh, kok kamu malu-malu gitu?” iseng, anak itu bergeser mendekat ke arah sang Alpha.

“S-saya tidak—” saat ia menoleh, Joshua telah menempel ke tubuhnya. “Joshua! Ini tidak pantas!” Bisiknya tegas karena ia tidak ingin supir limusin menyadari kemesraan mereka di belakang.

Joshua, melihat wajah Alphanya memerah malu, semakin keluar rasa jahilnya. “Iih, kenapa sih? Di sini kayak gini biasa tau~” rengek si anak. “Pelokan di publik...” Ditangkupnya pipi Mingyu agar ia bisa berbisik ke telinga Alphanya. “...ciuman di publik...”

Mingyu menelan ludah. Hampir saja ia kehilangan kendali akan feromonnya. Namun, sang Alpha menahannya dengan baik dan, dengan sopan, mendorong pundak kekasihnya.

“Joshua, jangan,” pintanya.

Kasihan, Joshua pun meringis. “Iya, iya,” kekehnya. Ia kemudian bergeser balik ke tempat duduknya sendiri. “Rupanya cuma bajunya aja yang beda ya. Dalemnya tetep kamu. Ah, kecewa...”

“Apa maksud Anda?” kernyit sebelah alis. “Anda ingin saya berlaku seperti Alpha di sini?”

“Nggak gitu juga sih...,” bibirnya manyun. “Tapi pengen kamu lebih posesif sama aku aja...”

Mingyu tidak berkata apa-apa. Ia memandangi Omeganya yang kini salah tingkah memainkan jari-jemari. Ketika Mingyu diam seperti ini, rasanya Joshua habis melakukan kesalahan tanpa disadarinya.

“Maaf jika saya tidak sesuai harapan Anda—”

“Bukan gituuu!! Ah, udah deh lupain! Aku yang salah!”

”?? Sebentar, saya tidak paham...?”

“Nggak, nggak usah dibahas. Maaf, aku yang salah, bukan kamu!” si anak pun memandangi kaca jendela, mengalihkan fokusnya agar tidak bertatapan lagi dengan Mingyu.

Sang Alpha, akan itu semua, menghela napas. Ia memandang ke depan. Jendela kecil pemisah bagian kursi penumpang dan supir tertutup rapat. Meski suara-suara akan tetap terdengar sedikit, setidaknya supir mereka tidak bisa melihat apapun yang terjadi di belakang sana. Joshua masih pura-pura sibuk menghitung jumlah pohon yang mereka lewati ketika Mingyu memeluknya dari belakang.

Terkejut, anak itu memutar badan.

“Ming—mmh.”

Dan Mingyu langsung menekan tubuhnya. Jemari menyelusup ke sela-sela jemari Joshua yang ditahan ke jendela. Ciumannya dalam dan mesra. Ia membungkam mulut kekasihnya, mengikis angkara dan gundah gulana dengan ciuman demi ciuman.

Seluruh tubuh Joshua melemas. Ia hanya bisa pasrah dicumbui sampai Alphanya puas. Dalam dirinya, Omeganya mendengkur senang karena mendapatkan perhatian yang diinginkannya sedari tadi. Saat Mingyu akhirnya melepaskan ciuman mereka, Joshua jatuh ke dalam pelukan kekasihnya itu.

“Kenapa Anda uring-uringan seperti ini?” bisik sang Alpha sambil mengelusi lembut punggung kekasihnya. “Tenanglah...”

Tepat pada sasaran. Mungkin karena ia kembali ke tempat dengan banyak kenangan buruk menghantuinya. Mungkin karena ia akan melakukan sesuatu yang bisa saja disesalinya selama sisa hidupnya. Entah apa penyebabnya, yang pasti, Joshua gelisah sepanjang hari. Mingyu mengendus itu semua dan berusaha menenangkan kekasihnya.

“Maafin aku...,” anak itu bergumam rendah. Bukan maksudnya melampiaskan pada Alphanya seperti tadi. “Maafin aku...aku nggak bermaksud...”

“Tidak apa, Sayang,” suaranya begitu lembut, membuat hati Joshua makin tersayat. Mingyu terlalu baik untuk Omega sepertinya. Sang Alpha mengecup bekas gigitan temporer di leher Joshua. “Saya di sini bersama Anda. Tidak apa-apa...”

“Gyu...”

Elusan dan kecupan mendadak terhenti. Sang Alpha mendongak menatap kekasihnya.

“Anda panggil saya apa barusan?”

“G-Gyu?” ragu, Joshua menjawab. “Nggak boleh ya...?”

Oh...

“Silakan,” bisiknya ke bibir Joshua. Matanya berkilat berbahaya. “Saya menyukainya. Panggil saya seperti itu. Panggil saya dengan nama apapun yang Anda sukai.” Jantung Joshua berdebar makin kencang. “Jatuh cintalah. Jatuh cintalah lebih dalam lagi pada saya.”

Alpha...

Batin Joshua bergejolak. Hatinya melambung tinggi. Alpha Mingyu. Ia bertemu dengannya lagi setelah sekian lama. Joshua dan Omeganya tidak sabar menunggu hari-hari rumah tangga mereka.

“Hmm...tapi aku lebih pingin manggil kamu 'Suamiku'...”

Sang Alpha otomatis menggeram. Joshua tertawa dan menepuki pelan pipi kekasihnya, sebelum mereka, sekali lagi, berciuman.