Part 108
Benar-benar fasilitas hotel bintang lima. Segera setelah mereka menginjakkan kaki di depan lobi, pelayanan berjalan cepat, profesional, serta efisien. Manajer hotel sendiri, Tuan Cha, yang menyambut mereka. Ia adalah warga asli negara Mingyu yang ditugaskan mengelola cabang di sini, maka dari itu ia paham sepenuhnya kekhawatiran para Omega dan Alpha yang berkunjung ke negara tersebut. Tuan Cha sendiri sehari-harinya harus tetap waspada karena tidak sedikit yang kontra terhadap hubungan politik dan ekonomi negara mereka.
Meski hubungan kedua negara kurang baik, namun masih ada seutas benang yang menyatukan mereka, yakni kenangan buruk akan perang di masa lalu. Selama tidak ada alasan bagi mereka untuk mengangkat senjata, maka mereka tidak akan memulai perang.
Alasan yang semakin menipis, detik demi detik.
Mingyu dan Joshua ditempatkan di lantai tertinggi hotel tersebut dengan pemandangan yang luar biasa indah. Sang Omega menganga begitu melihat jendela yang tingginya dari lantai hingga ke langit-langit. Ruangannya luas dengan sofa dan meja tengah, kamar mandi, toilet, dan kamar tidur. Kasurnya besar dan empuk. Joshua refleks terjun ke kasur untuk memeluk bantal, menghirup harum sarung bantal dan seprai baru.
“Saya akan berada di kamar sebelah,” kekasihnya melongok dari luar pintu kamar tidur. “Ada pintu penghubung antara kamar Anda dan saya. Kunci berada di kamar Anda, bukan di kamar saya. Jangan lupa mengunci pintu depan, pintu penghubung dan menutup jendela setiap Anda pergi tidur.”
Joshua melompat lagi dari kasur dan bergegas menyusul Alphanya yang sudah berjalan membawa tas ke kamar sebelah. Anak itu lalu menangkap pergelangan tangan sang Alpha.
“Kamar sebelah? Kamu pesen dua kamar?”
Mingyu nampak kebingungan. “Iya?” jawabnya. “Saya pernah bilang, bukan? Tuan Cha menyiapkan dua kamar terbaiknya.”
Mulut sang Omega membentuk huruf 'O'. Mingyu menghela napas, seakan ia sudah tahu apa yang menjadi masalah utama kali ini.
“Tidak, saya tidak akan tidur di kamar yang sama dengan Anda. Kita belum menikah dan Anda masih di bawah umur. Saya kira kita sudah sepaham soal ini.”
Wajah sang Omega lantas memerah. “S-siapa yang mau ngajak kamu ngamar, yee! Ge-er!” selorohnya. “Aku cuma nanya kok! Yaudah sana!” Dilepasnya tangan Mingyu, separuh dilempar, kemudian Joshua membalik badan dan berderap kembali ke kamar tidurnya, meninggalkan Mingyu yang, sekali lagi, menghela napas.
“Makan malam mulai jam tujuh,” panggil Mingyu, meski kekasihnya terus saja berjalan. “Nanti saya telepon ke kamar Anda.”
BLAM!
Pintu kamar dibanting.
Ah-ah~ Omeganya benar-benar keras kepala... 😔
Kekesalan dan uring-uringan sehariannya perlahan sirna oleh berbagai keistimewaan yang ditawarkan pada penghuni lantai penthouse. Butir cokelat, bebuahan segar dan buket es berisikan sampanye selamat datang yang pertama menenangkan panasnya hati sang Omega. Sepatu ia tanggalkan untuk bersandar santai ke bantal dan menonton siaran Netflix. Sudah lama sekali dirinya tidak menonton televisi dengan benar. Joshua mengisi baterai handphone di nakas samping. Setelah memesan seloyang kecil pizza dari layanan kamar dan mengambil dua kaleng Diet Coke dari bar mini, anak itu dengan cepat hilang ke dunia serial televisi.
Ia baru tersadar kalau malam telah turun saat telepon di meja kerja ruang tengah berbunyi. Matanya berkedip beberapa kali, mabuk oleh kalori dari soda dan lelehan keju, sebelum beranjak untuk mengangkatnya.
“Makan malam sudah akan dimulai,” sahut Alphanya pada sambungan. “Apakah Anda sudah siap?”
“Eh...,” Joshua menggaruk perutnya yang nampak dari kaus yang terangkat. “Aku belom mandi...”
“Baik. Saya akan tunggu. Setengah jam lagi saya akan telepon Anda. Apakah setengah jam cukup?”
Setengah jam sangat tidak cukup, namun Joshua tidak punya pilihan. Ia yang terkenal mandi paling lama, mau tak mau harus buru-buru mencuci rambut dan tubuhnya di bawah pancuran air hangat. Untungnya pancuran tersebut berbentuk kotak dan sangat besar, sehingga si anak bisa menyelesaikan mandinya lima menit sebelum telepon berdering kembali.
Mingyu mengetuk pintunya beberapa saat kemudian. Joshua membukanya dan, tanpa sadar, menghela napas lega. Ia pikir Mingyu akan mengenakan jas dan dasi, ternyata Alphanya memilih sekadar kaus polo dan jins. Dan—
“Sendal?”
Mingyu tersipu. “Saya membelinya pas terakhir kali ke sini,” aku sang Alpha. “Rasanya enak. Di sini, makan malam tidak mengharuskan berpakaian formal dan boleh pakai sandal, jadi...”
Joshua baru tahu. Anak itu pun meminta Mingyu menunggu lagi. Ia mengganti sneakersnya dengan sandal juga. Jinsnya dengan celana pendek berbahan kargo selutut. Kaus putih bermotif sederhana di bagian depan yang dipakainya malam itu gombrong dan mencapai separuh celana pendeknya.
“Yok,” begitu ia muncul lagi dari kamar, Mingyu tersenyum.
“Saya belum pernah melihat Anda berpakaian sesantai ini. Seperti melihat Anda sebelum datang ke negara saya saja rasanya.”
“Apalagi aku, ngeliat kamu pake sendal, Tuan Kim,” kekeh sang Omega, tidak mau kalah. Mereka berjalan bergandengan tangan menyusuri lorong hotel menuju lift. “Kamu mirip banget Alpha di sini, tau nggak? Kaos, jins. Hmm...tapi ada yang kurang...”
”?” Mingyu menelengkan kepala.
“Bentar,” sambil menunggu lift, Joshua berjinjit sedikit. Kedua tangan sang Omega kemudian mengacak rambut kekasihnya, meniadakan sisiran rambut rapi yang menjadi ciri khasnya itu. Meski terkejut, sang Alpha membiarkan kekasihnya melakukan apa yang dikehendaki. Ketika lift berdenting mengumumkan kehadirannya, Joshua mendengus puas. “Dah! Kalo rambut kamu kayak gini, jadinya keliatan lebih muda lho!”
Mingyu mengernyit sedikit. Poninya teracak ke depan. Meski tidak bisa dibilang berantakan seperti habis bangun tidur, rambutnya tidak bisa dibilang rapi juga.
”...Saya jadi merasa kembali ke masa kanak-kanak,” dengan jari-jemari, disisirnya satu kali rambutnya ke belakang, lalu kepala menggeleng agar rambutnya jatuh dengan lebih baik. “Sudah lama sekali rambut saya tidak rapi seperti ini di depan publik.”
“Ganteng kok,” ringis sang Omega, mengalungi lengan Alphanya saat memasuki lift yang kosong.
Dan, ketika pintu lift menutup, Joshua menarik kerahnya dan mengundangnya bercumbu.
Makanannya enak. Musik yang dibawakan pianis restoran melantun syahdu dan menghanyutkan. Anggur yang dipilihkan untuk mereka pun lezat tak terhingga. Belum pernah Joshua mencicipi anggur selezat itu. Di seberangnya, Mingyu terlihat tampan, tertawa terus dan memamerkan geligi putihnya.
“Jadi,” sang Alpha menaruh gelas tingginya ke meja. “Bagaimana rencana Anda?”
Joshua lalu mengangguk. “Besok kamu ikut aku ya?” tanyanya.
“Tentu saja. Kemana pun Anda pergi, saya akan ikut,” ia menatap kekasihnya dengan serius. Tak ada niat baginya untuk melepaskan pandangan dari Joshua sedetik saja. “Tapi ke mana?”
Omeganya meringis.
“Downtown,” jawabnya. “Ketemu alien.”