narrative writings of thesunmetmoon

Part 109

#gyushuaabo

”...Get out.”

“Yo, braderrr~“

Get outttt.”

Vernon ngedipin mata berkali-kali. Jelas nggak nyangka bakal ngebuka pintu di hari biasa itu buat nemuin sahabat lamanya menyengir lebar di ambang. Senyuman Joshua hampir tenggelam oleh sweater turtle necknya karena salju mulai turun ketika mereka sarapan di hotel. Salju pun masih turun hingga sekarang, ketika dirinya dan Vernon bertatap muka lagi setelah satu tahun yang panjang.

Buru-buru, Vernon mengajak Joshua masuk ke kehangatan yang nyaman, yang diterima anak itu dengan senang hati. Rumah keluarga Chwe yang Joshua kenal betul. Bau khasnya. Interiornya. Keluarga Joshua yang kedua.

“Lo mau minum apa? Udah makan belom? Dan, emm...,” Vernon dengan ragu melirik ke sosok yang senantiasa berdiri di belakang Joshua. Seorang Alpha, menjaga sahabatnya bagai bodyguard yang terlatih. “...ini Alpha lo?”

Nyengir makin lebar, anak itu lantas mengalungkan lengannya ke lengan Mingyu, menarik sang Alpha hingga mereka setengah berpelukan.

“Hehe,” alih-alih menjawab, Joshua mengusrek pipinya ke lengan bagian atas Mingyu. “Iya dong. Ganteng kan?”

Pipi Alphanya merona manis. Joshua gatal ingin mengecup bibir kekasihnya itu andaikata Vernon nggak lagi memandangi mereka lekat-lekat. Jujur, dia yakin Vernon nggak akan memusingkan hal sepele begitu. Bagaimanapun, orang berciuman di ranah publik adalah hal yang wajar di negara ini, namun Joshua enggan membagi reaksi Alphanya (yang pasti akan superrrr menggemaskan) ketika dicium mendadak begitu kepada khalayak ramai, termasuk sahabatnya sendiri.

Sepasang mata itu hanya boleh melihat dan dilihat dirinya...

“Ganteng, ganteng,” dengan entengnya, Vernon mengakui. Anak itu mengangguk-angguk. Joshua dan Omega di dalamnya pun semakin senang, dipuji karena mereka nggak salah pilih. “Ayo duduk, Josh, terus, emm—”

Oh,” baru tersadar, sang Alpha segera mengulurkan tangan. Vernon menyambutnya, menjabat pasti tangan tersebut. “Maaf. Saya telat memperkenalkan diri. Nama saya Kim Mingyu.”

“Kim Mingyu,” Vernon mengulangnya. Rasanya agak aneh mendengar cara bicara sesuai EYD yang asing di kuping. “Enaknya gue panggil apa nih? Om? Tuan? Eh, gue pake lo-gue nggak pa-pa nih, Josh? Gue harus pake bahasa lebih sopan nggak?”

Joshua mendengus geli, sementara Alphanya meringis, memamerkan geligi putihnya yang sempurna.

“Santai aja, braderr~ Mingyu nggak permasalahin itu kok. Yang penting lo senormal mungkin aja lah,” selorohnya 😬

“Panggil saya senyaman Anda saja,” Mingyu pun menimpali tunangannya. “Kalau terlalu formal, saya jadi merasa tua.” ☺️

“Tapi kan kamu emang tua~” 😗

“Sayang...” 😔

Kekehan geli dari kekasih hatinya membuat Mingyu, mau nggak mau, tersenyum lembut. Vernon memandangi bolak-balik dari Joshua ke Mingyu, dan sebaliknya, kemudian mendengus puas. Sahabatnya itu nampak luwes dalam pelukan sang Alpha. Joshua bukanlah Omega yang bodoh. Bila dia merasa nyaman dengan Alpha itu, berarti Alpha itu adalah Alpha yang baik. Sahabatnya nggak akan salah dalam memilih teman hidupnya kelak.

“Oke. Aku panggil hyung aja boleh ya? Mingyu-hyung?”

Jelas sekali di mata Vernon bahwa Alpha itu menyukai panggilan barunya.


Papa dan Mama Chwe seketika menarik Joshua dalam pelukan ketika mereka pulang. Teriakan Mama Chwe hampir histeris, terlalu terkejut melihat kedatangan anak lelaki keduanya. Berkebalikan dengan adik perempuan Vernon, Sofia, yang hanya mengerjap, lalu mengajak Joshua bertukar salam rahasia mereka. Terkekeh, Joshua menurut. Salam yang mereka bagi adalah rantai yang panjang dan membingungkan—membuat sang Alpha menatap takjub—dan diakhiri oleh tawa dan pelukan erat.

“Itu...apa?” tanyanya pada Joshua.

Omeganya tertawa lagi dan menjelaskan sesimpel mungkin. Mingyu mengangguk-angguk, menganggap budaya di negara ini sungguh menarik.

Langit perlahan tapi pasti menjadi redup. Mama Chwe menghidangkan pasta bola-bola daging andalannya sebagai teman makan malam. Papa Chwe membuka bir dingin dan menawarkannya pada Mingyu. Sang Alpha menerima dengan senang hati. Bir adalah salah satu minuman favoritnya ketika melanglang ke sini, karena, meskipun di negaranya ada, rasanya jauh berbeda. Pun, varian bir di negara ini begitu banyak macamnya.

Vernon dan Joshua, serta Sofia, saling mengisi kekosongan informasi yang hilang selama mereka terpisah setahun lamanya. Lagu-lagu baru dari musisi yang Joshua sukai. Kemajuan teknologi setelah setahun. Animasi dan film keren yang baru tayang. Spot hangout dan tempat makan baru yang oke buat foto-foto. Bagaimana kondisi teman-teman mereka di sekolah yang Joshua tinggalkan. Musuh mereka, terutama para Alpha di sekolah.

Di satu momen, Vernon membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu, namun ditahannya mendadak, hampir-hampir menggigit bibirnya sendiri, dan hanya menatap Joshua seakan ada hal yang hanya mereka berdua yang tau. Mingyu menyadari hal itu, namun nggak lantas bertanya. Sang Alpha paham dia harus bisa menempatkan diri. Joshua mengangguk pada Vernon. Raut muka anak itu seakan meminta maaf, lalu mereka lanjut mengobrol topik lain.

Makan malam selesai. Meja makan digantikan oleh hangatnya perapian. Mingyu tengah membantu Mama Chwe mencuci piring, sedangkan Papa Chwe, Vernon dan Joshua menurunkan isi perut di ruang keluarga mereka. Sofia sudah naik ke kamarnya beberapa menit yang lalu. Perut kenyang dan hati senang, Joshua pun menguap.

“Lo mau nginep ato gimana?” tawar Vernon.

Joshua menggeleng. “Nggak, gue balik ke hotel,” jawabnya.

Mendengar hal tersebut, Vernon membuka mulut membentuk huruf 'o' kecil, lalu bergeser mendekat ke Joshua untuk berbisik di telinganya. Mereka berbisik-bisik untuk sejenak, sementara Papa Chwe terkantuk-kantuk di kursi malasnya.

”...Gitu ya?”

”...Lo beneran mau ke sana?”

Joshua tersenyum miris ke arah sahabatnya. “Buat apa gue jauh-jauh ke sini kalo bukan karena itu?” dengan lidah sepat, dia menjawab. “Gue harus ke sana. Gue nggak akan bisa nerusin hidup gue dengan tenang kalo gue enggak ke sana. Gue harus kasitau Mingyu—”

“Saya kenapa?”

Kaget, kedua anak spontan menoleh. Jantung Joshua berdetak terlalu cepat. Dilihatnya Mingyu berdiri di ambang ruangan tanpa pintu, menelengkan kepala dengan senyuman merekah, bertanya-tanya.

“Eng—” ada jeda yang disebabkan oleh degukan ludah Joshua. Jakunnya yang indah bergerak turun-naik. “—gak apa-apa kok. Kamu udah kelar?” Anak itu pun bangkit dari duduk dan berjalan mendekati sang Alpha.

“Sudah. Nyonya Chwe menyuruh saya kembali duluan. Katanya, Beliau akan menyusul.”

“Hmm...,” Joshua menangkup sebelah pipi Mingyu dengan telapaknya yang lebar. Telapak yang Mingyu cintai sepenuh hati. Dikecupnya telapak tangan itu dengan lembut bagai sebuah kewajaran, seperti siang yang berganti malam maupun Alpha yang jatuh cinta pada Omega yang ditakdirkan baginya.

“Pulang...?”

“Anda sudah ingin pulang?” bisik Mingyu.

Joshua mengangguk.

“Baiklah kalau begitu.”

Lalu setelahnya adalah salam perpisahan. Joshua memeluk Papa Chwe, lagi-lagi dipeluk erat oleh Mama Chwe dan, terakhir, si anak hampir nggak mau melepas pelukannya pada Vernon. Dihirupnya dalam-dalam wangi khas sang Beta: wangi bumi ketika dibasuh oleh air hujan. Wangi yang selalu membuat Joshua ingin bergumul di balik selimut sambil menyesap teh hangat. Wangi yang sama menentramkannya dengan aura sang Beta.

”...I miss you,” berbisik, alis Joshua berkerut. Hampir menangis, dia, andai nggak ditahannya.

Vernon mempererat pelukan mereka. “Miss you too, brother...,” dia pun merindukan Joshua. Bagaimana rasanya kehilangan sosok yang selama ini selalu ada di sisinya dalam sekejap mata, dengan alasan yang buruk pula, hanya Vernon dan Joshua yang tau.

Meski begitu, mereka bersyukur karena masih bisa berpelukan seperti ini, di hari ini, tanpa kurang suatu apapun.

Mingyu membiarkan sang Beta menempelkan feromonnya pada Joshua, begitu pun sebaliknya. Lelaki itu bisa mencium nihilnya niat lain dari sang Beta selain rasa rindu teramat sangat. Mingyu paham bahwa Vernon juga menyayangi Joshua dengan caranya sendiri. Rasa sayang yang berbeda dari rasa sayang Mingyu.

Joshua masih melamun, kebanyakan diam menatap pemandangan dari jendela, saat kendaraan mereka melaju. Lampu-lampu jalan menyelingi orang lalu-lalang. Mingyu membiarkan kekasihnya tenggelam dalam masa lalu, enggan memecahkan keheningan. Dan, ketika sampai di depan pintu kamar hotel, sang Alpha mengecup keningnya sebelum melepas Joshua masuk ke kamarnya sendiri.