Part 11
Helaan napas.
Sang raja akhirnya mendelik dari berkas yang tengah ia pelajari setelah helaan napas ke-sebelas terlepas. Ia bertukar pandang dengan tunangannya untuk sesaat sampai Omega itu menggeleng sambil memejamkan mata, mendorong sang raja untuk bertanya langsung pada Alpha yang tengah gundah gulana. Di bawah pancaran matahari lembut yang menyorot melewati rumah kaca tempat favorit Omeganya untuk bersantai, sang raja pun angkat bicara.
“Sungguh aku ingin bertanya apa gerangan yang terjadi kali ini,” ucapnya berwibawa.
Tuan Kim menoleh, menelengkan kepala sedikit.
“Apa maksud Anda?”
“Sebelas kali kau menghela napas, Sobat,” sang raja meringis. Tatapnya lembut pada Tuan Kim. “Selama kami mengenalmu, belum pernah kau menghela napas panjang begini. Bukankah begitu, Sayang?”
Tuan Yoon mengangkat bahu sambil lalu, “Kurasa aku tahu penyebabnya.”
Alis sang raja terangkat tinggi sebelah.
“Oh?”
“Tuan Yoon, apa yang Anda—”
“Joshua Hong.”
Nama pun terucap. Jantung Tuan Kim mencelos. Spontan kepalanya menunduk, memandangi jari-jemari di atas pangkuan. Buku yang terbuka berakhir tanpa dibaca karena ia hanya menerawang jauh ke wajah dalam khayalannya. Senyum yang sudah lama tidak disorotkan padanya. Harum mentega, jahe, kayu manis dan gula. Lantunan tawa, juga halusnya sentuhan ujung jari mereka...
...sudah. Hentikan.
Tidak ada yang lebih pedih daripada mendamba seorang Omega belia.
“Sepertinya nama itu tidak asing...,” sang raja bergumam.
“Omega yang datang ke sini enam bulan lalu itu lho, Cheol.”
Setelah berpikir sejenak, sebuah lampu pun bersinar di atas kepala sang raja. “Ah. Ya, ya, aku ingat. Kau menceritakannya padaku sepulang dari malam perjamuan Tuan Lee,” tunangannya mengangguk membenarkan. “Lalu, apa hubungan Tuan Hong dengan kau yang terpuruk begini, Mingyu?”
Tuan Yoon memutar bola matanya. Padahal sudah jelas sekali kenapa. Dasar Alpha kurang peka!
”...”
Tuan Kim tidak kunjung membuka mulut. Apabila ini di aula kerajaan, di depan berpuluh pasang mata penghuni istana, Kim Mingyu mungkin sudah dijatuhi hukuman kurungan di bawah tanah karena lancang tidak segera menjawab pertanyaan paduka. Namun, di sini, di rumah kaca tempat mereka dahulu kala sering kabur bertiga dari kelas Etika yang memuakkan, kedudukan mereka kurang lebih sama.
Bukan Alpha. Bukan Omega. Bukan raja dan tunangannya.
“Kak...menurutmu, pantaskah aku meminta ijin untuk mendekatinya...?”
Di sini, mereka hanyalah kakak-adik, serta teman sejak kecil semata.
Sang raja berkedip.
“Mendekati...oh, oh, Mingyu, apakah ini artinya kau—”
Alpha itu buru-buru menunduk lagi. Bau Sandalwood yang pekat merebak seketika itu juga, menusuk hidungnya ketika ia menarik napas. Sang raja begitu senang hingga ia sesaat kehilangan kendali akan feromonnya, membuat Tuan Yoon mengerang sebagai tanda protes.
“Cheol~ Jangan begini~ Estrusku sebentar lagi, jangan mempercepatnya~” keluh sang Omega sambil menekan hidungnya. Alisnya menukik dalam ketidak setujuan.
“Oh. Maaf, maaf, tidak sengaja, Sayang,” sang raja hanya terkekeh, sedangkan Tuan Kim memerah hingga daun telinga. Percakapan pribadi yang dibagi dengan bebas bukanlah hal baru bila kau berteman dengan mereka, tapi tetap saja Tuan Kim tidak bisa terbiasa, bahkan setelah melewati berpuluh tahun bersama.
“Kembali ke topik semula,” sang raja meringis pada adiknya. “Aku senang kau menemukan Omegamu. Akhirnya ya.”
Andai Tuan Kim bisa tersenyum semudah itu. Melihat paras Alpha tersebut kuyu bak bunga layu, sang raja mengerjapkan bulu matanya yang tebal beberapa kali.
“Masalahnya, Joshua Hong masih anak-anak,” penjelasan malah datang dari Tuan Yoon. Omega itu menjulurkan kaki jenjangnya di sepanjang sofa. Ditimpa sinar mentari, ia nampak mengagumkan. Napas sang raja tercuri, lagi dan lagi, entah kapan berlalunya perasaan ini.
Ia harap tidak akan pernah.
“Anak-anak?”
“Enam belas,” Tuan Yoon membalik halaman buku yang dibacanya. “Oh. Sudah enam bulan. Benar juga. Seharusnya dia akan tujuh belas sebentar lagi.”
Lebih cepat dari sang raja, Tuan Kim mendongak. “A-apa maksud Anda, Tuan Yoon? Sebentar lagi?” tanyanya buru-buru. Hampir tubuh beranjak dari duduknya.
“Umm. Dia pernah bilang padaku mengenai ulang tahunnya. Aku lupa persisnya kapan, tapi harusnya di bulan ini,” ia menoleh melihat batang-batang kering yang, tidak lama lagi, akan berselimutkan salju.
Dedaunan terakhir telah putus dan mati. Sebentar lagi, para rubah akan melewati tidur panjang dalam gua-gua kecil nan hangat mereka, sementara terwelu dengan bijih mata hitamnya akan melompat-lompat dengan bebas, memamah rerumputan yang muncul di antara padang salju putih. Napas yang mereka hembuskan akan membentuk uap putih, mengepul ke udara kering di musim dingin, dan ujung hidung mereka akan memerah. Musim yang tepat untuk meringkuk bersama Alphanya yang hangat dan tegap di ruang pribadi mereka.
Tuan Kim mulai gelisah. Alpha di dalam dirinya mengerang, menyuruhnya melakukan sesuatu, apapun itu, daripada hanya sekedar berdiam diri terus-terusan seperti ini. Meski di negara ini Tuan Hong aman dari pemaksaan Alpha lain, tidak menutup kemungkinan muncul Alpha lain di dalam hidup Tuan Hong yang membuatnya tertarik. Tidak menutup kemungkinan Tuan Kim terlambat dalam meminta tangan Tuan Hong untuk dikecupnya. Ia menahan diri selama ini, namun ia tidak ingin munafik dan berkata dirinya tidak apa-apa bila Tuan Hong memilih Alpha lain.
...Tidak. Bila ia melihat Tuan Hong berada dalam rengkuhan Alpha lain, mungkin Tuan Kim akan merebutnya paksa secara instingtif.
Oh, betapa ia ingin menandai sang Omega dengan feromonnya, memberitahu seluruh Alpha dan Beta di luar sana bahwa Tuan Hong hanyalah miliknya.
Sang raja yang menyaksikan perubahan mimik sang Alpha pun mencoba membantu. “Mungkin kita bisa adakan pesta dansa musim dingin?” tawarnya. “Sudah tiga tahun Ayahanda berpulang. Mungkin aku bisa menanyakan pada Ibunda dan para tetua apakah sudah tidak apa-apa mulai merayakan pesta akhir tahun di bulan ini.”
“Kak...,” Tuan Kim menggeleng. “...tidakkah terlalu cepat? Makam Ayahanda masih basah.”
“Akan kutanyakan dahulu,” sang raja menjawab dengan tenang. “Bila keputusannya tidak, mungkin kita bisa mengundang Tuan Hong secara pribadi ke istana.”
“Jangan,” sela Tuan Kim. “Aku...aku tidak mau dia tahu kalau kita—”
“Ah, tapi Hong sudah tahu kau berteman denganku, Kim,” Tuan Yoon meringis. Menjadi perantara cinta terdengar seperti kesempatan bagus mengusir waktu luangnya. Sampai musim panas nanti ketika sang raja menikahinya secara resmi dan ia sibuk dengan agenda pendamping raja, ia tidak punya banyak hal untuk dilakukan. Prosesi dan adat pernikahan sudah diatur semua oleh kerajaan. Tuan Yoon hanya perlu datang, tersenyum cantik, dan bahagia di dalam pelukan Alphanya. “Aku bisa mengundangnya ke istana dengan dalih bosan karena tunanganku sibuk bekerja—”
“Ah, Sayang—”
”—dan kau, voila, tiba-tiba muncul di sini atas panggilanku.”
Sang raja dan Tuan Kim berbagi pandangan.
”...Jadi kau mau berperan sebagai mak comblang, rupanya,” tuduh sang raja.
“Tidur-tiduran di istana lama kelamaan jadi membosankan, Cheol.”
Menjebak. Menjebak Omega. Tidak. Ini bertentangan dari semua prinsip yang ia pegang. Bagaimana ia bisa tenang tidur tiap malam, mengetahui ia, Kim Mingyu, menjebak Omega satu-satunya yang ia damba setelah selama ini mencari?
Tidak.
“Tidak. Aku menolak ide itu,” sang Alpha berkata. Tegas dan solid. “Aku tidak mau serendah itu, menjebak Omega dengan dalih cinta...itu-itu tidak benar! Aku tidak akan memaaafkan diriku bila Tuan Hong merasa terkhianati!”
Hening. Tuan Kim merenggutkan kepalan tangan di atas kedua lututnya. Ia menggigit bibir bawah. Pemandangan yang mengingatkan sepasang Alpha dan Omega di hadapannya akan suatu masa dimana mereka masih kecil dan dihukum karena kabur bermain. Kim Mingyu kecil juga memberengut persis seperti ini. Keras kepala. Tidak berubah.
Sang raja dan tunangannya berbagi senyuman.
“Aku senang mendengar ucapan barusan keluar dari mulutmu. Kurasa Tuan Hong akan sangat senang jika mendengarnya juga,” sang raja menopang dagunya dengan kedua lengan di atas meja. “Usia muda bukanlah penghalang, Mingyu. Aku percaya kau Alpha yang baik. Kau tidak akan menyakiti maupun memaksanya melakukan hal yang tidak ia inginkan.”
Tuan Kim kini menatap balik kakaknya itu.
“Bicaralah padanya,” sang raja lalu bersandar pada duduknya. “Hanya itulah jalan keluarmu.”