narrative writings of thesunmetmoon

Part 112

#gyushuaabo

Mingyu tidak mengetahui kemanakah Joshua akan membawanya, namun ia mengikuti seperti domba pada gembala.

Setelah sang Omega meminta mobil mereka untuk berhenti tak jauh dari sebuah taman, Joshua dan Mingyu bergandengan tangan menyusuri jalanan panjang berlantaikan putih salju. Berbekal sweater, jaket, mantel dan topi rajut tebal, mereka melewati berderet-deret pertokoan yang, jujur saja, membuat Mingyu terkagum-kagum. Ini memang bukan pertama kali ia bertandang, tetapi kemajuan teknologi dan penemuan di negara ini tak pernah berhenti membuatnya terkagum-kagum. Sebuah negara yang begitu mutakhir dalam riset dan pengembangan.

Andai kemajuan dalam teknologi tersebut dibagi separuhnya ke hati nurani mereka juga...

“Anda ingin berbelanja?” tanyanya, saat mereka melewati sebuah toko pakaian. “Tasnya bagus.” Terpampang tas kulit bermutu tinggi di etalase. Jaket yang dikenakan manekin di sana nampaknya cocok untuk Joshua. Namun, Omeganya menggeleng, terus saja berjalan.

Kening Mingyu berkerut.

“Atau...membeli camilan?” harum manis sesuatu yang tengah dipanggang terendus saat kedai wafel mereka lewati beberapa saat setelahnya. “Wanginya enak.”

“Kamu mau?”

“Saya?” mata sang Alpha agak membulat, menatap balik kekasihnya. “Tidak, saya masih kenyang. Maksud saya untuk Anda.”

“Mm. Aku juga masih kenyang.”

Joshua kembali memandang ke depan, menghiraukan kening sang Alpha yang berkerut semakin dalam.

Tidak lama, deretan toko berganti rupa menjadi deretan rumah. Perumahan yang terbilang cukup asri. Setiap rumah dipisahkan oleh pagar dan cikal bakal tanaman hijau di musim semi nanti. Meski bukan perumahan yang megah, suasananya benar-benar nyaman untuk ditinggali. Jika dibandingkan dengan rumah di ibukota negara asal Mingyu, tentu tinggal di lingkungan seperti ini terasa lebih baik. Anak-anak bisa bermain di taman terdekat. Tetangga yang saling mengenal namun masih memiliki privasi masing-masing.

Sebuah wilayah yang begitu sederhana. Begitu biasa.

Saat Joshua membuka mulut, ada uap putih mengepul keluar dari celahnya. “Mingyu,” panggil sang Omega. Jari-jemari mengeratkan pegangan pada tangan kekasihnya yang hangat. “Kamu inget?”

Mereka berbelok di salah satu pertigaan. Jalan buntu. Di sana, di paling pojok, sebuah rumah berada di sudut. Dibangun dalam model yang tidak jauh berbeda dari rumah lain di sekitarnya. Terbuat dari kayu yang dicat abu-abu dan dinding putih gading, rumah itu berdiri dengan damai, seolah tak pernah terjadi peristiwa naas di dalamnya dahulu kala. Sulur tanaman rambat memenuhi halaman hingga ke pagar depan yang terbuat dari jeruji besi.

“Ingat...?”

Saat Joshua berhenti, Mingyu otomatis berhenti. Dipandanginya sang kekasih dengan heran. Tidak begitu paham arah pembicaraan mereka kali ini.

Tepat saat itulah, terdengar suara. Pagar besi dibuka dan seorang lelaki berjalan keluar rumah tersebut. Kini, mereka berdua memerhatikan lelaki itu. Jika dikira-kira, ia nampak agak lebih tua dari Mingyu. Masih tegap tanpa lemak perut berlebih, meski kerut-kerut letih telah menemukan jalan ke sisi kedua matanya. Beberapa uban nampak di rambutnya yang dicukur pendek. Ia tidak menyadari kedatangan kedua insan, pada awalnya.

“Kamu inget...?”

Mata Mingyu mengerjap. Sekali pandang, jelaslah sudah. Insting serigalanya membentuk sebuah kesimpulan:

Pria itu adalah Alpha.

“Cerita soal masa laluku...?”

Bisikan, terbang bersama semilir angin bulan Desember dan bunyi terkesiap dari mulut pria di hadapan mereka kala menyadari wajah yang tak asing kembali muncul bagai hantu di siang hari bolong.

“Halo,” Joshua menggamit tangan Mingyu lebih kuat dari sebelumnya. “Papa.”