Part 115
Setelahnya, Joshua dan Mingyu duduk berdua di sebuah kedai kopi. Suasana kedai tersebut bergaya vintage, sedikit banyak melempar Mingyu kembali ke suasana familier kedai di negaranya, dengan kertas dinding hijau bermotif bunga, karpet tebal, interior kayu berpernis dan riuh-rendah orang mengobrol di sekitar mereka. Musik klasik pun melantun sebagai musik latar dari gramofon bergaya tua tapi tetap mengilap di tengah ruangan.
Jendela di sisi mereka menampilkan pemandangan kota di akhir tahun yang ramai dengan orang berbelanja. Kehangatan isi dua cangkir porselen di atas meja mereka mengalir ke perut, membuat syaraf-syaraf yang menegang menjadi rileks lagi. Untuk waktu yang agak lama, tiada dari mereka berbicara. Joshua mengisi baterai sambil memainkan handphonenya, sedangkan Mingyu hanya melamun menatap jendela setelah meneguk kopinya hingga tandas tak bersisa.
Mereka membiarkan waktu berjalan seperti itu.
Di tengah keramaian yang sunyi.
Sampai pada akhirnya, sang Omega memutuskan untuk berbicara. Diraihnya perlahan tangan Mingyu di atas meja, meminta perhatian sang Alpha tanpa kata-kata. Tentunya, Mingyu segera memberikan apa yang Omeganya pinta. Ditangkupnya tangan Joshua dengan tangannya yang satu lagi, memberikan belaian lembut tanpa henti.
“Mingyu...maaf ya,” mulainya. Serupa bisikan yang mudah pecah bagai buih sabun di udara. “Maaf aku nggak bilang apapun soal ini...soal kita ke sini buat ketemu Papa...”
Joshua menunduk. Poninya menjuntai menutupi mata.
”...Maaf kamu harus liat kejadian kayak gitu...”
Belaian Alphanya di tangan Joshua tidak berhenti sekali pun. Tangkupannya besar nan hangat, berusaha sebisa mungkin menenangkan kegundahan Omeganya. Mereka berada di ranah publik yang padat penduduk, sehingga Mingyu mau tak mau harus menahan feromonnya agar tidak terlepas kemana-mana. Di sisi lain, samar-samar feromon Joshua memberat, bagai kue jahe yang sudah apak. Ingin Mingyu melepas feromonnya untuk membungkus feromon Joshua seperti yang biasa mereka lakukan kala berdua saja, namun hotel mereka masih jauh jaraknya.
Sementara itu, langit kini memancarkan cahaya jingga. Senja akan turun dalam satu jam saja.
“Sayang...,” panggilnya.
Ketika tidak ada reaksi, Mingyu mencoba lagi, namun dengan tambahan sentuhan kali ini. Satu tangannya berpindah dari tangan Joshua ke kepalanya. Mingyu membelai rambut, perlahan turun ke sisi wajah, lalu dengan lembut diangkatnya dagu sang Omega agar mata mereka bisa bertemu.
Tidak ada tangis di sana.
Diam-diam, Mingyu menghela napas lega.
“Apa yang Anda khawatirkan?” senyumnya penuh sayang. “Anda hebat sekali tadi. Saya bangga menyebut diri saya sebagai Alpha Anda.” Ibu jarinya mengelus pipi Joshua. Bibir bawah anak itu bergetar. “Jika ada yang perlu disesali, justru itu dari sisi saya. Saya hanya bisa memeluk Anda seperti itu—”
Sekerjap, Joshua menekan tangan Mingyu ke pipinya. Alisnya menukik.
“Jangan bilang gitu!” bentaknya.
Bola mata Mingyu melebar. Beberapa pengunjung di dekat meja mereka pun menengok.
“Kalo—kalo nggak ada kamu—” meluap, emosinya. Isi hatinya. Kata batinnya. “—aku ke sini karena kamu. Karena—karena kamu buat aku sadar kalo Alpha nggak semua sejelek itu. Kamu buat aku berani ke sini buat ketemu Papa. Karena kamu, aku jadi sadar kalo Papa waktu itu—leherku—”
Joshua menarik napas dengan cepat.
“—pelukan kamu. Aku butuh itu. Tadi. Besok. Selamanya.”
Mingyu masih tertegun memandangi Joshua. Wajah Omeganya merah sekali. Peluh menitik. Jantungnya tak karuan.
“Kamu—kamu bilang kamu mau jadi tempatku pulang dan k-kamu ngelakuin itu tadi. Kamu meluk aku pas aku butuhin itu. Kamu jadi tempatku pulang. J-jadi jangan bilang kalo pelukan kamu nggak ada gunanya. Aku—
—aku butuh itu. Butuh kamu!”
Hening.
Joshua terengah-engah, baru sadar kalau dirinya bangkit berdiri. Kini semua pengunjung kedai memerhatikan mereka. Terbakar rasa malu, Joshua kembali duduk. Kepalanya otomatis menunduk untuk menyembunyikan wajah yang memerah bagai tomat. Ketika ia mencuri-curi intip, dilihatnya Mingyu menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangan. Jelas sekali sang Alpha pun merona malu.
”...Tolong jangan membuat saya ingin mencium Anda di keramaian seperti ini,” bisik Mingyu, membuat Joshua semakin ranum. Sang Alpha kemudian mengambil tangan Joshua dan mengecupnya, alih-alih di bibir sang Omega. “Mengapa mudah sekali bagi Anda membuat saya jatuh cinta berkali-kali...? Oh, Tuhan...”
“Mingyu...”
“Saya kini paham seutuhnya apa yang terjadi pada Anda. Meski Anda telah memaafkan ayah Anda, tapi mohon maafkan saya. Alpha dalam diri saya tidak bisa sepenuhnya memaafkannya,” Mingyu menggertakkan gigi. Joshua agak terhenyak dibuatnya. Sangat asing melihat Mingyu begini. “Jujur saja, saya ingin sekali memukulnya tadi. Kalau mengingat bahwa Anda telah terluka selama ini karenanya...”
Joshua hanya membalas dengan senyuman sedih.
“Nggak apa-apa, Gyu. Pada akhirnya, aku ketemu kamu kan?”
Mingyu menggelengkan kepala. Itu adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Joshua bisa saja hidup bahagia dan mereka tetap akan bertemu, bila benang merah mereka memang mengait ke satu sama lain. Ia tidak mau Joshua bersyukur akan peristiwa buruk tersebut.
”...Nyonya Hong,” tanya Mingyu. “Anda akan memberitahunya?”
Kali ini, Joshua yang menggeleng.
“Nggak, aku nggak ada niat ngasih tau ke Mama,” akunya dengan lempeng. “Mama pikir dia udah mati, soalnya aku nusuk dia kan, terus kabur. Aku juga kira dia udah mati, makanya minimal mau ke kuburannya. Tetau Vernon bilang dia masih idup dan tinggal di rumahku dulu. Yaudah deh aku ajak kamu ke sana.”
Kemudian, Joshua menghela napas.
“Aku tau Mama cinta sama Papa. Papa juga sepertinya sama. Tapi, aku nggak melihat itu masalahnya kalo mereka balikan. Mereka bakal terus keinget dosa mereka,”
Joshua menunjuk dirinya sendiri.
“Aku.”
“Joshua...”
“Makanya, aku nggak ada niat bilang apapun ke Mama.”
Mingyu paham. Masalah ini tidak bisa selesai semudah membalikkan telapak tangan. Joshua mungkin sudah berhasil menutup lembaran berdarah tersebut dan kini bersiap membuka lembaran baru, namun tidak begitu halnya dengan orangtuanya. Mereka perlu waktu untuk memaafkan diri mereka sendiri dulu. Pun, setelah itu, mereka perlu waktu untuk menerima sisa-sisa dari diri mereka yang masih ada dan berdamai dengannya, sebelum mereka saling berdamai dengan satu sama lain.
Miris.
Mengapa dua orang dibuat mencinta hanya untuk berakhir menderita seperti itu...?
Andai dirinya dan Joshua yang—
Mingyu berhenti berpikir. Membayangkan hal negatif tidak ada gunanya. Daripada itu, ia akan belajar dari pengalaman orang lain untuk tidak memicunya di kehidupan pernikahan mereka nanti.
Lagi, mereka jatuh ke keheningan. Hanya tangan yang kembali bertautan di atas meja yang sedikit membedakan. Joshua lalu menghabiskan minumannya.
“Besok,” Mingyu bertanya. “Apa ada yang Anda inginkan?”
Joshua hanya tersenyum padanya.
“Pulang?”
Mingyu pun menurut. Mereka bangkit, membayar di kasir, kemudian pergi.