narrative writings of thesunmetmoon

Part 116

#gyushuaabo

Hampir bersamaan dengan Joshua dan Mingyu yang beranjak keluar kedai kopi, dua sosok berjas, seorang wanita dan seorang pria, ikut beranjak. Wanita tersebut mengenakan kacamata hitam, sedangkan yang pria memakai masker. Sengaja, mereka menciptakan jeda dari kedua target mereka. Saat pintu kedai ditutup, mereka tengah membayar di kasir.

Sang wanita berbicara dengan seseorang melalui handphone.

“Baik, Tuan. Sepertinya mereka sudah akan kembali ke hotel. Mereka barusan keluar cafe. Baik. Kami akan tetap—”

“Bentar ya, Gyu, aku ke situ dulu!”

“—!! Oi, cepat kejar dia!”

“Siap!”

“Berhenti.”

Kaki mereka kemudian terhenti. Pintu kedai masih membuka ketika mereka menengok ke samping pintu dan menemukan Alpha yang mereka ikuti kemana-mana berdiri di sana. Sang Alpha melipat lengannya di dada sambil bersandar ke tembok cafe, sementara sang Omega berlari sendirian ke stand yang menjajakan kastanye panggang tidak jauh dari sana.

”...! Cepat kejar Omeganya—”

“Sudah saya bilang berhenti—”

Si wanita pun menghardik balik, “Itu Omega Anda! Dia sendirian! Anda tidak ingin mengejarnya?!”

Kening Mingyu mengernyit. “Saya mengawasinya,” ucapnya tenang. “Seperti yang Anda berdua lakukan semenjak kedatangan kami di negara ini.” Tatapan sang Alpha memicing tajam, membuat kedua asing tersebut tersentak. “Anda berdua siapa dan apa maksudnya mengikuti kami selama ini?”

Sang pria menoleh ke yang wanita, namun yang wanita menggelengkan kepala. Suara-suara terdengar dari handphone di tangan si wanita. Rupanya, mereka masih tersambung.

“Tuan? Iya, kami—”

Jeda. Si wanita mendengarkan sejenak.

“Baik,” kemudian, ia mengulurkan handphone tersebut ke Mingyu. “Silakan, Tuan. Atasan saya ingin berbicara.”

Mingyu melihat benda tersebut sering sekali ketika bertandang ke negara ini. Kekasihnya juga punya. Ia tahu benda itu adalah telepon. Tetapi, terus terang, sulit baginya menyesuaikan diri untuk menggunakan teknologi seperti ini. Meski ia paham harus menempelkan benda itu ke telinganya, tetap saja gerakan sang Alpha cukup canggung.

[“Halo? Tuan Kim?”]

“Ya...?”

[“Maafkan anak buah saya yang sudah mengganggu kenyamanan Anda. Padahal saya sudah instruksikan agar Anda tidak bisa menyadari keberadaan mereka sama sekali, tapi sepertinya insting Anda lebih kuat dari dugaan saya.”]

“Anda siapa?”

[”...Benar. Saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Lee Jihoon.”]

Bola mata Mingyu membulat. Ia teringat akan surat yang diterima dari kakaknya persis sebelum kepergiannya ke sini.

[“Saya tebak, Anda pasti sudah paham sekarang.”]

“Kakak tunangan Anda...?”

[“Benar. Dia meminta kami melindungi Anda dan Omega Anda selama berada di sini. Kami berada di sisi Anda, jangan takut.”]

”...Apakah Joshua terancam?”

[“Tidak secara spesifik. Secara general...yah, Anda tentu tahu alasan kami menjaganya.”]

Mingyu menggertakkan gigi. Ia tidak menjawab apapun.

[“Saya harap Anda mengerti. Kami membantu Anda. Keluarga Anda telah berbaik hati menolong keluarga kami. Biarkan kami membalas budi walau sedikit saja.”]

Membutuhkan beberapa waktu sampai Mingyu akhirnya bertanya, “Rencana Anda sekalian...apakah akan terlaksana?”

[”...Ya.”]

“Apakah...apakah, sedikit saja, Anda melihat peluang kemenangan?”

Lee Jihoon terdiam. Mingyu ikut terdiam. Ada harapan yang tersirat di sana. Ada keraguan yang tersimpan. Ketidak relaan melepas kakaknya pergi ke medan perang, meninggalkan Omega dan keluarganya di negaranya sendiri. Keinginan untuk membuat negara asal Joshua menjadi negara yang aman dan tentram bagi semua pihak, termasuk Omega.

Orang-orang yang menjadi penggerak yang senantiasa diawasi oleh mara bahaya dan ancaman kematian.

[“Tuan Kim.”]

Suara Lee Jihoon membuyarkan lamunan Mingyu.

[“Kami tidak melihat 'sedikit saja' seperti yang Anda bilang. Kami yakin kami akan menang.”]

....

.....Ah.

(“Perang itu yang menentukan pertama adalah mental. Bila mentalmu sudah kalah dan hanya mengandalkan teknologi, maka kau akan kalah. Paham?”)

Kakaknya mengatakan hal yang serupa. Lee Jihoon. Tuan Kwon. Kakaknya. Mereka orang-orang yang serupa.

Jiwa mereka berkobar jauh melebihi batas nyawa.

“Tuan Lee.”

[“Ya?”]

“Tolong kembalikan senyum ke semua Omega di negara ini.”

Di seberang sana, Lee Jihoon tersenyum simpul. Tunangannya, Chan, terpana. Ia pun mengelus pipi sang Alpha dengan takjub. Jarang-jarang Jihoonie tersenyum saat berbicara dengan orang selain dirinya.

[“Baik, Tuan Kim, percayakan pada kami.”]

Sambungan diputuskan. Mingyu mengembalikan handphone milik si wanita. Ketika ia mengangkat wajah, Joshua sudah selesai membeli kastanyenya. Ia tengah membayar dan bersiap untuk kembali ke tempat Alphanya.

Namun, Mingyu dan kedua asing itu menyadari sesuatu yang Joshua luput tanggap. Dua orang Alpha memandanginya dari belakang dengan pandangan melecehkan dan sesuatu yang lebih...vulgar. Alpha di dalam diri Mingyu pun menggeram.

“Tuan, Omega Anda—”

“Terima kasih atas kerja keras Anda berdua,” sang Alpha menengok, menatap mereka tepat di mata. Lalu, ia tersenyum. “Tapi untuk malam ini, saya yang akan menjaga Omega saya. Anda berdua tidak perlu cemas.

Sampaikan terima kasih saya juga pada atasan Anda.”

Lalu, tanpa banyak bicara lagi, Mingyu segera berlari ke arah Joshua.