narrative writings of thesunmetmoon

Part 117

#gyushuaabo

Malam terakhir yang mereka habiskan di hotel berlangsung tenang.

Mereka berpisah ke kamar masing-masing untuk mandi dan beristirahat. Mingyu merendam keletihannya di bak penuh air panas, berpikir mengenai banyak hal. Tentang kakaknya. Tentang Lee Jihoon dan Tuan Kwon. Tentang keluarganya, sahabat-sahabatnya. Negaranya.

Tentang Joshua.

Terlalu banyak, terlalu mumet, sehingga sang Alpha kemudian membenamkan kepalanya sekalian. Ia tidak bisa tidak memikirkan berbagai macam hal, namun sekaligus tidak ingin memikirkan apapun.

Paradoks.

Ketika ia sudah mengeringkan rambut dan memakai baju santai—kaus oblong putih dan celana piyama motif kotak-kotak biru—sang Alpha mengetuk pintu penyambung antara kamar mereka. Pintu tersebut memiliki kunci di sisi Joshua, tanpa kunci di sisi Mingyu. Mengenal Joshua, Mingyu yakin pintu itu tidak terkunci. Meskipun begitu, sang Alpha tidak pernah sekali pun berusaha mencari tahu. Pintu penyambung itu adalah untuk keamanan Omeganya, bukan untuknya.

“Sayang...?”

Ketukan tiga kali, lagi.

“Anda tidak ingin turun makan malam? Sayang?”

Ketukan tiga kali, untuk yang terakhir. Karena tidak ada respon, Mingyu mencoba menelepon ke sebelah menggunakan telepon kabel yang tersedia di kamarnya. Dering kelima, Joshua mengangkat.

Dengan helaan napas lega, Mingyu mendengarkan saksama penjelasan Omeganya, bahwa ia tertidur dan terlalu letih untuk turun ke jamuan makan malam dikelilingi tamu-tamu asing. Mingyu maklum. Ia menawarkan agar mereka memesan layanan kamar dan makan bersama. Joshua menolak, menyatakan keinginan untuk melanjutkan tidur. Maka, Mingyu pun membiarkan Omeganya kembali tidur.

Ia kemudian memesan sepiring daging steak setengah matang yang teramat lezat, lengkap dengan kentang tumbuk serta sayuran, sebotol anggur merah yang begitu cocok dengan dagingnya dan sebuah serial di televisi yang ia tonton secara random. Masih takjub dirinya, masih belum terbiasa, dengan segala teknologi yang mengerubunginya bagai semut pada gula. Dunia yang terlalu maju bagi sang Alpha paruh baya dari negara kuno.

Bagaimanapun, Mingyu lebih memilih kesederhanaan hidup di negaranya. Tidak lebih praktis, ia akui, namun udara yang ia hirup lebih segar, langitnya lebih biru dan pepohonan merimbun di sini dan di sana. Gedung-gedung pencakar langit serta kebisingan malam—bukan pilihan hatinya.

Tapi, jika itu yang dipilih Omeganya...

Menjelang tengah malam, kenyang dan lelah berpikir, sang Alpha mematikan televisi untuk bersiap tidur. Ia sudah menggosok gigi sekali lagi. Sebotol kecil air minum dan gelas telah siap di nakas samping ranjangnya.

Kim Mingyu memejamkan mata. Ia menarik napas panjang, ditahan sebentar, kemudian dihembuskannya keluar dengan berisik. Jauh di bawah mereka, sangat samar terdengar klakson mobil dan decitan ban. Tanda bahwa kota tersebut tidak pernah tertidur.

Sambil memikirkan apa yang sebaiknya ia lakukan untuk ulang tahun Joshua esok hari, sang Alpha perlahan tapi pasti terhanyut ke kegelapan malam.