Part 118
Menit berpindah dari 35 ke 36.
Dalam gelap malam di pukul 2, Kim Mingyu mengerjapkan mata. Kelopaknya berkedut-kedut, mengerut sesaat, lalu membuka. Entah apa tepatnya yang membangunkan sang Alpha, menariknya dari tidur yang damai. Tiada yang tahu. Mungkin perasaan ketika kau ditatap terus tanpa lepas oleh sepasang mata lain.
Atau mungkin juga elusan ibu jari seseorang pada sekujur wajahnya.
“Mingyu...”
Bisikan. Lirih, bagai sesuatu yang tak nyata. Rayuan peri di hutan antah berantah sebelum ia menculikmu selamanya.
Mengerang, Kim Mingyu mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Tangan naik ke sana, mengusrek agar terbangun sepenuhnya. Ia otomatis mengangkat tubuhnya ke posisi duduk.
Tidak perlu waktu lama baginya untuk menyesali keputusan itu.
Pias cahaya temaram bulan menyorot dari celah tirai yang terbuka sedikit. Di sana, di hadapan sang Alpha, ada seorang Omega. Cantik, muda, mengagumkan di bawah sinar bulan,
dan telanjang bulat.
Jantung Mingyu tersentak seketika itu juga.
”...Jo...shua?”
Tapi, terlambat. Telunjuk menemukan bibirnya. Didiamkannya Mingyu dengan telunjuk pada bibir. Napas sang Alpha tercekat. Kebingungan, keraguan. Sang Omega mampu membacanya dengan mudah sekali.
“Gyu...,” satu kakinya naik ke atas ranjang. Derit per kasur pun terdengar bersamaan dengan peluh yang jatuh menuruni rahang Mingyu. “Hari ini, umurku 18...”
Segera, kaki yang satu lagi menyusul naik. Joshua berada di atas pangkuannya. Jakun sang Alpha bergerak naik-turun perlahan. Wajah kekasihnya begitu dekat. Terlalu dekat. Bibir mereka nyaris bersentuhan.
”...Aku minta kado.”
Tuhan...
Mingyu berdeham untuk mampu menjawab, “K-kado...?”
Omeganya tersenyum. Anehnya, senyuman itu nampak...nampak sedih. Bagai ditampar, Mingyu pun tersadar. Ia menarik napas dan mencium feromon Omega yang tidak wajar menguar dari leher Joshua. Bukan feromon seduktif atau dalam estrus. Agak asam dan...sedikit pekat.
Kedua alis sang Alpha bertaut penuh kekhawatiran.
“Aku mau tidur sama kamu...”
“Sayang...?” tanpa sadar, dirangkulnya sisi pinggang Joshua. Tangan menyentuh kulit telanjang yang masih suci. Tangan satunya lagi beranjak membelai pipi kekasihnya. “Anda baik-baik saja...?”
Joshua tidak menjawab.
Mingyu bertanya lagi, hal yang berbeda kini, “Tidur...maksud Anda...bercinta?”
Joshua pun menggeleng.
“Aku cuma mau tidur sama kamu...,” bisiknya. Bukan untuk hal yang lain. Bukan untuk melepas keperawanannya pada kekasihnya. Bukan untuk membuat Mingyu marah atau salah tingkah karena perbuatannya. Ia hanya...
Tangan sang Omega bergerak meraih pinggiran kaus putih itu, memaksa Mingyu untuk melepasnya. Kaus naas itu teronggok di sisi ranjang setelah Joshua melemparnya asal-asalan.
“Aku mau bau kamu, semua...semua...”
Ia hanya...
“Alpha...,” jari-jemari menyapu dada telanjang kekasihnya. Begitu padat. Begitu sempurna. Suhu tubuh alamiah Alpha yang memang lebih tinggi dari kedua gender lainnya membuat kehangatan mengalir dari ujung-ujung jari Joshua yang bersentuhan dengan kulit Mingyu. Ia ingin Mingyu merengkuhnya sampai kehangatan tersebut membungkusnya erat. Semalaman. Seharian.
Membalurinya dengan feromon sang Alpha dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Dan Mingyu bisa mencium itu semua. Omeganya memerlukannya. Bukan secara seksual, namun dalam keintiman yang lebih dari itu.
Batinnya bergejolak.
Di satu sisi, ia tahu ini salah. Di sisi lain, desakan Alpha di dalamnya menyuruhnya mengabulkan kehendak sang Omega. Biasanya ia bisa dengan mudah menolak Joshua. Seharusnya ia bisa dengan mudah menolak Joshua.
Tapi—
“Gyu...,” parau, suara itu. Pecah, bagai cermin yang dibanting dan terbelah. Joshua menangkup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku mau bau kamu di setiap jengkal kulitku...”
Tandai ia.
Tandai ia.
Lumuri ia dengan bukti kepemilikanmu.
”...Alpha...”
Beritahu mereka semua.
Beritahu seluruh dunia bahwa aku hanyalah milikmu...
Jantung Mingyu berdebar tidak karuan. Alphanya menggeram. Saat itulah Mingyu sadar siapa yang ada di hadapannya.
Omega Joshua telah muncul dan ingin bertemu dengan Alphanya.