narrative writings of thesunmetmoon

Part 119

#gyushuaabo

Tahukah kau bahwa serigala adalah salah satu hewan terloyal di dunia?

Serigala adalah makhluk monogami. Sekali mereka menemukan pasangannya, maka mereka akan bersama sampai akhir hayat. Mereka hidup dengan sistem hierarki yang jelas. Serigala lain menghormati Alpha pemimpin mereka dan sang Alpha melindungi serta mengayomi mereka, berjalan di belakang dalam formasi untuk memastikan keselamatan semua anggota kawanannya.

Tegas. Jujur. Tulus.

Setia.

Serigala yang seperti itu hidup dalam tubuh manusia yang seperti ini.

Betapa kontradiktif.

Di bawah pandangan Omeganya yang berkilau terkena cahaya bulan, Mingyu mulai merasakan kekang demi kekang yang ia pasang pada Alphanya pun terlepas. Namun, bukan perasaan yang sama dengan perasaan ketika Alphanya memberontak kala mengendus estrus Joshua.

Bukan. Berbeda jauh. Tidak ada ancaman di sini. Tidak ada perasaan mendesak yang mengharuskan Mingyu menggunakan segala cara untuk melindungi Joshua dari serigalanya.

Berbeda.

Mingyu memejamkan mata sejenak, dan, saat ia membukanya lagi, Alphanya berdiri di sana, di tengah kegelapan abadi. Bulunya yang berwarna abu-abu nampak selembut salju.

(“Omegaku memanggilku.”)

Ia masihlah bungkam.

(“Biarkan aku bertemu Omegaku, Manusia.”)

”...Berjanjilah padaku kalau kau tidak akan menyakitinya.”

Sang serigala mendengkur tenang sembari menatap manusianya.

“Berjanjilah,” tegas Mingyu, sekali lagi.

Sang serigala malah terkekeh.

(“Ha. Manusia. Kau pikir kau berbicara dengan siapa?”)

Mereka saling bertatapan.

(“Aku adalah dirimu.”)

Mata Mingyu serta merta melebar.

(“Tidakkah kau mempercayai dirimu sendiri?”)

Lalu, dalam sedetik, serigalanya sudah berjalan menjauh. Mingyu tidak bisa maju lebih dari ini, seolah ada tembok tak kasat mata yang menghalanginya. Ia hanya bisa menonton dengan penuh kecemasan dari tempatnya berdiri.

Dalam kegelapan itu, serigalanya menemukan serigala lain. Bagai muncul begitu saja dari ketiadaan, sosok itu anggun dan ramping. Bulunya berwarna kecoklatan seperti helai emas yang disepuh. Berdiri berhadapan dengan serigala Mingyu, yang besar dan mengancam, mereka terlihat begitu kontras.

Mingyu tanpa henti memandangi mereka sambil menahan napas.

Serigalanya maju begitu dekat. Moncongnya mengendus-endus, begitu pun moncong serigala yang satunya. Mereka membaui leher satu sama lain, lalu saling mengaitkan leher tersebut.

Ah..., batin Mingyu. Sangat lega melihat kedua serigala di hadapannya.

Serigala satunya mendengkur. Terdengar jelas oleh Mingyu. Dengkuran tanda bahagia. Serigalanya sendiri juga mendengkur, menduseli sisi leher serigala itu.

Ia mengenal serigala itu. Mengenal Omeganya.

Kekasihnya.

Moncong yang saling bertemu. Mata yang saling terpejam. Dari mereka, menguar lepas feromon sang Alpha dan Omeganya. Feromon dua serigala yang bahagia karena mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama.

Di luar, melalui tubuh manusia mereka, Mingyu merengkuh Joshua ke dalam pelukan. Bibir mereka bertautan liat tak mau lepas. Kedua tangan Joshua terus menerus mengelusi wajah tampan kekasihnya, sementara tangan besar Mingyu meraba kulit halus tanpa cela sang Omega.

Lidah yang saling menjilat. Bibir yang saling melumat. Feromon yang memenuhi kamar mewah di tingkat teratas hotel ternama.

Alpha dan Omega yang berciuman bagai hari esok takkan pernah datang.

Namun, mereka masihlah manusia. Napas, ketika diperlukan, akan menyeruak memaksa. Mingyu yang melepas ciuman mereka, meski Joshua mengecupinya lagi dan lagi dan lagi sampai sang Alpha terkekeh, bergerak maju mendorong Omeganya hingga punggungnya bertemu empuknya kasur. Sang Alpha membayangi sang Omega. Kedua tangannya memenjara pergelangan tangan di sisi wajah sang Omega, walau tak ada tekanan paksa di sana.

“Kalau kau tidak berhenti, aku tidak yakin kita akan berakhir dengan tidur saja, Omega,” selorohnya. Kecupan di pipi dan rahang Joshua menyusul setelahnya.

Jantung Joshua terpicu semakin cepat. Betapa absurd, mendengar kekasihnya berbicara informal padanya. Mendorong dan menahannya seperti ini. Menyesapi kulit lehernya begini...

Alpha...

Ini Alpha Mingyu...

Joshua mencoba mengangkat tangan kanannya dan Mingyu seketika itu juga melepasnya. Ia biarkan Joshua menyapu ibu jarinya pada pipi sebelum ditangkupnya pipi itu. Mingyu refleks mengusrek pipinya ke telapak tangan sang kekasih.

Alpha yang sejinak manusianya...

“Alpha...,” Joshua memanggil lirih. Tatapan Mingyu tidak jua teralih dari matanya. Melihatnya hingga jauh, jauh ke dalam sanubari di mana Joshua yakin tidak akan ada yang pernah menemukannya di sana. Entah bagaimana, Alphanya menemukannya. “Mingyu...”

Sang Alpha mengambil tangan Joshua pada pipinya untuk kemudian dikecupnya punggung tangan itu.

“Ya, Sayang?”

Oh...

Mingyunya. Ia tidak pergi atau hilang. Tidak melesap, kalah dengan kesadaran serigalanya. Ia berada di sana bersama Alphanya, menatap Joshua dan Omeganya.

“Aku cinta sama kamu.”

Kalimat. Terlontar spontan dari sang Omega.

Ada tarikan napas dan ada ringisan lebar. Betapa mudah. Betapa benar rasanya. Hatinya menjadi ringan bagai melayang ke atas awan.

Cintanya pada Mingyu sesegar bebungaan yang mekar di musim semi. Sekuat matahari di siang hari bolong pada pertengahan musim panas. Setenang daun kering yang melayang di musim gugur. Sehangat bergumul di depan perapian dalam selimut ketika rinai salju turun dengan syahdu di luar jendela.

Betapa mudahnya mencintai Kim Mingyu.

“Aku cinta kamu, Gyu...”

Kening mereka bertemu. Berdua, tersenyum dan tertawa. Kebahagiaan nampak indah di paras kedua insan. Mereka lalu berpelukan di atas ranjang. Mingyu di atas Joshua. Kulit ketemu kulit. Dada ketemu dada.

“Saya bisa merasakan detak jantung Anda...”

Oh, gaya ngomongnya balik, pikir Joshua.

”...detak jantung Anda menenangkan saya...”

Ia juga. Hangat tubuh yang besar nan kokoh ini. Jantung yang berdebar kuat ini. Wangi feromon berupa seduhan teh Darjeeling ini...

“Mingyu.”

Joshua menghela napas. Ia meminta Mingyu menatapnya dengan gestur. Ketika Mingyu mengangkat kepala dan mata mereka bertemu, sang Omega pun mendusel hidung Mingyu dengan hidungnya.

“Sepulang dari sini, menikahlah denganku.”

Mingyu tak ayal terperangah.

“Aku nggak mau nunggu lagi. Minggu depan.”

Joshua meringis.

“Ayo kita nikah.”