narrative writings of thesunmetmoon

Part 132

#gyushuaabo

“Nah, nah. Bagaimana kalau aku yang menambahkan dari sini, Bibi?”

Sebuah suara membuat seluruh pihak sontak menoleh ke arah pintu. Seseorang telah masuk seenaknya, melenggang santai seolah tidak baru saja membuat pernyataan mencengangkan. Seseorang yang bergender Alpha dan berkedudukan tak kalah pentingnya dalam silsilah keluarga kerajaan.

“Kau terlambat,” tukas Tuan Raja.

Tuan Lee meringis.

“Maaf, Kak. Aku baru sempat ke ruangan Dewan Tetua. Betapa kagetnya aku menemukan ruangan itu kosong! Mereka meninggalkanku tanpa informasi apapun!”

“Tidakkah undanganku mencapaimu?” alis Tuan Raja mengernyit.

“Mencapai Kwannie, tepatnya,” ralat Tuan Lee. “Dan sayangku itu sedang merajuk karena dikiranya aku tidak menyadari potongan rambut barunya, padahal dia sama cantiknya di mataku seperti biasa. Aku baru mengetahui pertemuan ini lima belas menit sebelum tiba di sini. Dan hal pertama yang kudengar malah soal orangtua Kim.”

Lee Seokmin berputar menghadap sepupunya. Melihat kondisi sang Alpha, Tuan Lee menyunggingkan senyuman sedih. Dari balik kekacauan benak, Kim Mingyu bisa melihat bahwa Alpha itu mengetahui lebih banyak dari yang ia tonjolkan di permukaan.

“Kim. Ayahku pernah bertemu ibumu.”

Kalimat yang membuat Mingyu kembali syok. Tubuh dan rahangnya menegang.

“Ayahku...ah, terberkatilah arwahnya...ayahku menemukannya setahun sebelum ia sendiri berpulang,” dalam satu helaan napas, pengakuan pun tumpah bagai dam yang pintunya dibuka. “Ayahku menekan Bibi perihal dirimu. Dia yakin bahwa dirimu adalah anak haram Mendiang Paman. Bagaimanapun juga, Bibi adalah adik sepupunya. Dia ingin Bibi membuangmu dan tidak diam saja menahan derita.

Kemudian, Bibi menunjukkan jurnal di tangan Anda, Tetua Baek.”

Sang Beta memandangi jurnal tersebut untuk ke sekian kali.

“Jurnal yang tidak diketahui keberadaannya oleh siapapun selain Mendiang Paman dan Bibi. Ayahku membacanya dan, yah, singkat kata, rasa bersalah menelannya bulat-bulat. Dia menua dalam hitungan malam saja. Segala yang telah dia perbuat pada Kim kembali lagi padanya, bagai karma yang kejam.”

“K-kenapa...?” ujar Tetua Baek. Ayahanda dari Tuan Lee adalah sahabat baiknya. Sebelum Tetua Baek menjabat posisi sebagai kepala Dewan Tetua, ayahanda Tuan Lee lah yang menjabat posisi tersebut. “Kenapa Mendiang Tetua Lee tidak pernah menceritakannya pada saya...? Saya tidak...”

—tahu.

“Tentu saja ayahku tidak menceritakannya pada Anda,” decak Tuan Lee. “Mau ditaruh di mana muka dan harga dirinya bila seluruh kerajaan tahu bahwa dia sendiri lah yang menyebarkan rumor bahwa Kim adalah anak haram mendiang Paman?”

Mendengar itu, Tetua Baek segera bereaksi defensif. “Tidak mungkin!” serunya. “Saya dan Mendiang Tetua Lee berusaha keras melenyapkan rumor tak bertuan itu—”

“Sungguh, aku ingin sekali membacakan isi surat wasiat rangkap pengakuan dosanya pada Anda,” potong Tuan Lee. “Tapi aku tidak hobi membawa-bawa surat wasiat almarhum ayah. Datanglah ke kediamanku setelah ini, Tetua Baek, dan aku akan memperlihatkannya pada Anda.”

Tuan Lee meringis santai. Tetua Baek, terlalu tua dan letih menyerap semua informasi ini, perlahan jatuh pada kedua lututnya. Anggota Dewan Tetua lain terkejut dan berlutut bersamanya, memastikan ketua mereka baik-baik saja.

“Jadi...selama ini...saya meyakini sebuah dusta...?”

Terkhianati oleh sahabat sendiri yang ia percayai hingga sumsum tulang belakang.

Iba, Tuan Lee berdeham untuk melancarkan tenggorokannya.

“Ayahku, setelah menyadari kesalahannya, pun akhirnya mengerahkan informannya sendiri, melalui kelamnya kehidupan malam dan gorong-gorong berbau apak. Tempat-tempat yang, sekiranya, terlewat dari pandangan Mendiang Paman. Dan dia menemukan orangtuamu, Kim.”

Bagai tersihir, Kim Mingyu tidak bisa melepas pandangannya dari tatapan Lee Seokmin. Semua orang ini mengetahui masa lalunya...dan membiarkan dirinya terjebak dalam kegelapan sepanjang hidupnya...?

“Tepatnya, ibumu. Ayahmu telah lama berpulang. Ayahku menemuinya, mengonfirmasi keabsahan statusmu sebagai keturunan langsung Raja Terdahulu. Ibumu memberikannya banyak sekali dokumen, seperti surat-surat dan akta lahir.”

Apakah...apakah orang-orang ini akan terus memendam rahasia tersebut andaikata ia tidak ditunjuk menjadi pengganti sementara Tuan Raja...?

“Mengapa...,” dengan suara serak, Mingyu melontarkan pertanyaan. “...mengapa Beliau membuang saya di jalan...?”

“Ketakutan,” Tuan Lee bergumam. “Ayahku menulis dalam suratnya bahwa, ketika dia menemui ibumu, kondisinya sungguh mengenaskan. Ibumu sakit berkepanjangan. Pun, setelah ayahmu tiada, tidak ada yang melindunginya apabila kerajaan mengetahui siapa sebenarnya dirimu. Dia hanya sendirian, mengasuh anak kecil yang membawa darah Raja Terdahulu dalam nadinya, dan dia ketakutan.

Ibumu menaruhmu di panti asuhan, berharap kau akan dirawat penuh kasih oleh keluarga adopsimu. Ayahku tidak mengatakan bahwa kau dibuang dari panti asuhan itu karena kekurangan kapasitas menampung. Dia hanya mengatakan bahwa Mendiang Paman menemukanmu dan merawatmu seperti putranya sendiri. Ibumu tersenyum lebar mendengarnya.

Ketika ayahku kembali lagi ke sana seminggu kemudian, ibumu sudah tiada.”

Hening. Menyesakkan. Kepala Kim Mingyu begitu pening akan semua fakta hidup yang dirinya sendiri tidak ketahui. Ada rasa mual yang mendadak naik, mendesak kerongkongannya. Joshua, menyadari keadaan Mingyu tidak baik-baik saja, segera mengambil alih situasi.

“Stop!” serunya. Ia memeluk sisi tubuh suaminya, melindungi Mingyu dengan caranya sendiri. “Udah! Stop! Mingyu—Mingyu udah—” Sang Omega menggigit bibir bagian bawahnya. Ia sendiri masih syok mendengar semua itu. “Stop. Please...”

Tuan Lee mendesah sambil menggaruk bagian belakang lehernya. Tuan Raja dan Tuan Yoon berbagi pandangan. Sejujurnya, ini juga pertama kalinya mereka mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Para hadirin terlalu terpaku untuk mulai berbisik-bisik, sebagaimana Tetua Baek dan anggota Dewan Tetua ikut terdiam. Tuan Kwon menerawang, memeluk Tuan Wen yang memerhatikan semua dalam ketenangan. Yang Mulia Ibu Suri mengusap wajahnya, terlalu letih dengan segala yang terjadi.

Tuan Raja lah yang memecahkan keheningan yang panjang tersebut.

“Baiklah. Kurasa semua pihak perlu waktu untuk mencerna semua itu,” dehamnya dalam ketegasan. Namun, saat memanggil Mingyu, nadanya serta merta melembut.

“Adikku. Pulanglah bersama Omegamu. Pikirkanlah baik-baik permintaanku tadi.”

Tuan Raja lalu meremas tangan Tuan Yoon.

“Jika kau membutuhkanku dan Hani, kami selalu ada di sini untukmu...”

Bukan Mingyu tetapi Joshua lah yang mengangguk. Sang Omega pun memboyong perlahan suaminya untuk pergi dari situ, membawanya kembali ke sarang mereka yang nyaman, hangat dan aman, tanpa dusta dan intrik bak benang kusut yang telah menghancurkan hidup suaminya.