narrative writings of thesunmetmoon

Part 134

#gyushuaabo

Joshua terbangun di tengah malam oleh kecupan-kecupan halus di lehernya. Sang Omega mengerang, mengulet sedikit karena kantuk yang mendadak saja buyar. Begitu kesadarannya kembali, ia menangkup pipi Mingyu, membuat sang Alpha mengusrekkan pipi tersebut ke tangannya. Lalu, mereka bercinta seperti itu. Lembut, pelan—suaminya membawa Joshua ke puncak dengan begitu indahnya, bahkan tidak melepasnya setelah bintang-bintang menghilang dari pandangan dan ia dihempaskan balik ke dunia. Mingyu terus memeluknya hingga keringat yang menempel di kulit mereka pun mendingin.

Saat sang surya akhirnya menyapa, Joshua telah menghilang dari sisi tempat tidurnya. Mingyu menggaruk bagian belakang kepalanya sambil menguap lebar. Ia membutuhkan waktu lima menit tertegun memandangi mentari pagi hari melalui jendela besar mereka sebelum akhirnya turun dari ranjang untuk mulai membasuh diri.

Di kamar mandi yang menyambung dengan kamar tidur mereka, sang Alpha menggosok gigi dan mencuci muka. Di sekitar undakan tempatnya menaruh belanga untuk mencuci muka, terhampar beberapa produk perawatan wajah miliknya dan milik suaminya. Semenjak menikah, Joshua tidak ragu membawa bagian dari kehidupannya di negara asal ke rumah mereka dan mengajak Mingyu turut serta. Beberapa benda yang tidak pernah dilihat oleh mata sang Alpha, tetiba saja sudah tergeletak di berbagai sudut rumah mereka. Handphone, sebagai contoh, bahkan hal sesederhana pasta gigi, karena Joshua menolak menggunakan bubuk gigi.

Mingyu tidak keberatan. Sejak dulu, sang Alpha memiliki ketertarikan tersendiri terhadap kemajuan negara asal Joshua. Namun, tidaklah mungkin mengakomodir semua keajaiban teknologi yang suaminya ingin bawa ke rumah mereka dikarenakan keterbatasan sumber daya yang mumpuni. Apabila rencana Tuan Raja dan Tuan Kwon berhasil dan perjanjian kerja sama mereka berjalan, mungkin, suatu hari nanti, negara ini juga akan—

Tepat di situ, Mingyu menghentikan pemikirannya. Ia menggeleng perlahan, lalu meraih handuk kecil untuk mengeringkan wajahnya. Setelah itu, sang Alpha melewati detik demi detik berikutnya dengan berendam di air panas. Joshua seringkali protes kalau air panas standar Mingyu terlalu panas baginya saat mereka mandi bersama. Namun, Alpha dilahirkan dengan tubuh lebih besar, kulit lebih tebal, dan suhu badan yang lebih tinggi dari gender lainnya. Baginya, level panas seperti ini adalah sempurna.

Air panas membuat otot-ototnya rileks, membuatnya mau tak mau terbuai ke alam mimpi. Mingyu tidak menyadari kalau ia hampir tertidur saat berendam andai saja jari-jemari Joshua tidak membelai wajahnya, berusaha membangunkan suaminya dari bahaya. Kontras terhadap kerutan di antara kening Joshua, Mingyu menyeringai lemah.

“Jangan berendem kalo ngantuk,” pisuhnya. Meskipun begitu, Joshua mengusapkan batang sabun ke telapak tangannya dan mulai memandikan suaminya tanpa diminta.

Ketika pertama Joshua melakukannya, Mingyu menolak mentah-mentah. Ia tidak ingin Joshua berlaku seperti pelayan. Joshua adalah suaminya. Menikah dengannya bukan lantas meninggikan derajat Mingyu lebih dari Joshua. Tetapi, ketika Joshua dengan malu-malu menyatakan bahwa ia menyukainya, suka memandikan Alphanya, maka Kim Mingyu bisa apa?

Lagipula, Joshua juga membiarkan dirinya dimandikan suaminya. Mingyu tidak mungkin menolak kesempatan memanjakan suaminya dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti itu.

“Aku bikinin sarapan,” ujar sang Omega sambil mengusrek kulit kepala suaminya. Busa shampoo memenuhi rambut hitam di sela-sela jarinya (Yap, benar sekali, Joshua membawa shampoo itu dari negaranya karena ia tidak mau repot-repot mengoles minyak kacang badam ke kulit kepala, lalu mencucinya dengan air hangat dan sabun minyak zaitun—superrr merepotkan). “Nggak terlalu enak sih, gosong dikit malah, tapi kalo kamu mau—”

“Saya mau,” Mingyu memotongnya. Kepalanya mendongak agar bisa menatap Joshua tepat di mata. “Saya ingin memakan masakan Anda.”

Mingyu tersenyum, membuat kerutan kentara di ujung-ujung mata. Senang akan reaksi suaminya, Joshua pun spontan mengecup kening Mingyu. Kemudian, mereka tertawa bersama.

Setelah itu, Joshua menyeka tubuh Mingyu dengan handuk sambil terus menciumi perlahan kulit kecoklatan yang terpampang, bagai memuja tiap jengkal sesosok Alpha yang terindah dalam hidupnya. Sebelum situasi sempat berubah menjadi lebih intim, Joshua melumat bibir suaminya untuk yang terakhir kali, lalu bergegas keluar. Mingyu dibiarkannya untuk berpakaian sendiri, setengah ereksi dengan erangan frustrasi. Sengaja.

Semenjak Joshua menerima Alphanya, serigala itu semakin menjadi-jadi, membuat Mingyu kewalahan mengekangnya lagi. Apalagi, Omega Joshua yang jahil malah senang mengobarkan api, membuat Mingyu ingin terus menyentuhnya, ingin terus mencintainya dengan sentuhan dan ciuman mesra.

Sekarang, setelah mereka resmi menikah, Joshua mendorong Mingyu untuk melepaskan semua yang selama ini ditahannya atas dasar norma dan penghormatan pada sang Omega. Joshua menyukai semua yang Mingyu inginkan, dan, bila ia tidak menyukainya, ia akan langsung mengatakannya. Mingyu akan segera berhenti dan takkan pernah berpikir untuk memintanya lagi. Sialnya (atau untungnya?), sampai hari ini, Joshua juga menyukai apa yang Alphanya sukai di tempat tidur. Sebuah fakta yang Mingyu kerap kali cemaskan, karena serigalanya dibuat berada di atas angin oleh sang Omega.

Mingyu meneguk ludah. Ia berusaha menahan Alphanya, mengontrol dirinya sendiri sampai ereksinya melemah dan ia, akhirnya, bisa berpakaian.

Menuruni tangga dalam balutan kemeja santai dan celana khaki pendek, Kim Mingyu menemukan suaminya di ruang makan, sedang menaruh piring di meja. Tirai telah disibak dan jendela tinggi dibuka, memberikan mereka pemandangan langsung ke halaman belakang kediaman Kim yang megah tersebut. Langit pagi itu sangat cerah. Dedaunan hijau mulai nampak lagi. Musim semi akan datang bersamaan dengan kelopak bebungaan yang terkembang.

Piringnya terdiri oleh dua panekuk agak kehitaman di pinggir-pinggirnya, lembaran tipis daging babi yang diasinkan, beberapa jenis sayuran hijau segar hasil petikan ladang mereka yang dikirim pagi buta, bawang bombay, mayones, dan butiran lada hitam. Jenis makanan dari negara asal Joshua. Piring lain yang berisikan dua telur mata sapi dengan sisi-sisinya yang gosong pun menemani piring pertama di sebelahnya. Secangkir teh hangat dan segelas jus jeruk juga tersaji.

“Kamu mau kopi?” tawar Joshua.

Mingyu menggeleng. “Terima kasih, Sayang,” senyumnya, yang memancing senyuman balik dari Joshua.

Kemudian, mereka mulai makan.

“Tadinya aku mau buatin kamu bubur,” aku sang Omega.

“Bubur?” Mingyu terkejut. Bubur dalam bayangannya adalah nasi lembek menyedihkan yang diaduk menggunakan terlalu banyak air hingga hambar, mirip sup nasi. Tentunya, Joshua tidak akan tega memberi makan suaminya masakan seperti itu, bukan?

Joshua tertawa. “Aku diajarin cara buat bubur sama Junnie,” kekehnya. “Di negara dia, buburnya tuh beda sama di sini. Sama di negaraku juga beda. Enak deh. Pas masak berasnya tuh dikasih macem-macem gitu. Tapi bahan-bahannya agak susah nyarinya kalo di sini, mahal pula, jadi aku bikin pancake aja deh yang gampang.”

Mingyu hanya mengangguk-angguk mendengarkan.

“Nanti kekapan aku buatin buburnya.”

“Saya tidak tahu Anda tertarik memasak,” itu adalah sebuah pernyataan. Sang Alpha meraih cangkir teh dan meneguknya. “Saya tidak ingat Anda pernah mengatakannya.”

Joshua meringis sebagai jawaban. “Soalnya aku nggak mau kalo cuma kamu yang bisa masak,” dengusnya, enggan kalah. “Aku belajar dikit sama Mama sebelum kita nikah. Sekarang sih aku tinggal turun ke dapur dan minta mereka ajarin aku.”

“Begitu ya?” ringis suaminya balik. “Mungkin perlu diadu masakan saya dengan Anda?”

“Boleh,” mata sang Omega berkilat.

Mereka saling berpandangan, menantang satu sama lain, sampai mereka mendengus dan tertawa lagi. Tangan-tangan kembali memotong dan menusuk panekuk. Mingyu takut-takut mencicipi telur mata sapinya, tapi ternyata bagian yang tidak gosong cukup enak. Meski mata Joshua memicing kala menyadari keraguan suaminya, sang Omega pun tak ayal menikmati sarapannya. Di tengah-tengah denting peralatan makan, Joshua berdeham pelan sebelum membuka mulut.

“Mingyu...”

“Ya?”

“Biarin aku ngelantur ya Gyu? Aku mikirin ini dari semalem dan aku rasa aku harus sampein ke kamu,” ringisnya meminta maaf. Sang Alpha mendongak agar dapat menatap Omeganya tepat di mata. “Jujur, aku nggak tau apa rasanya nggak tau siapa orangtuaku. Biarpun aku dari kecil nggak kenal papaku, tapi Mama selalu nyeritain soal dia. Gimana orangnya. Wajahnya dari foto yang dikasih Mama. Gimana dia sayangin aku sejak di kandungan. Aku nggak kenal papaku, tapi aku tau dia orang yang kayak gimana, jadi aku nggak dibiarin kopong soal orangtuaku yang satu lagi.”

Mingyu menunduk, sedangkan Joshua menarik napas.

“Aku...nggak tau rasanya jadi kamu. Aku nggak tau perasaan kamu kayak gimana. Aku nggak bisa ngomong gini tanpa berharap kalo kamu nggak tersinggung,” sang Omega kemudian menaruh tangannya di atas tangan Mingyu dan mengusapnya perlahan dengan ibu jari. “Tapi, Gyu, jangan sampe kamu lupa apa yang ada di depan kamu karena sesuatu yang jauh dari kamu.”

Sang Alpha menelan ludah. Jakunnya bergerak naik-turun.

“Jangan kamu lupain. Siapa yang melok kamu pas kamu sedih? Siapa yang ulurin tangannya pas kamu butuh? Siapa yang bahagia buat kamu? Nangis buat kamu?” usapan ibu jari Joshua tidak kunjung berhenti sementara tutur katanya keluar selembut mungkin. “Keluarga itu bukan cuma mereka yang sedarah. Kakak kamu. Ibu kamu. Mendiang ayah kamu. Aku pun—”

Joshua tercekat. Tangisnya mengancam jatuh dari sudut mata. Mingyu menarik napas dalam-dalam, menahan tangisnya sendiri.

“Aku tau kamu kecewa, Gyu, dan kayak kubilang tadi, aku nggak tau seberapa dalamnya kekecewaan kamu karena aku nggak pernah ada di posisi kamu,” bisiknya lirih. “Tapi aku mohon kamu inget kalo banyak yang sayang sama kamu, satu darah atopun enggak...”

Sang Alpha kemudian memejamkan mata.

“Aku nggak tau kenapa mendiang ayah kamu sama ibu kamu nggak ngasih tau kamu siapa orangtua kamu. Aku juga nggak tau kenapa paman kamu nggak ajak kamu nemuin ibu kamu. Tapi, aku rasa, mereka punya alasan sendiri dan, aku rasa, alasan itu karena mereka mikirin kamu juga,” Joshua mulai meracau, meski ia sendiri tidak menyadarinya. “Aku ngerasa kalo mereka pikir itu yang terbaik buat kamu. Not knowing is sometimes better than knowing. Something like that?” Alis sang Omega berkerut. “Granted, menurutku harusnya mereka tetap bilang ke kamu sih, karena nggak ada yang lebih ngeselin dari orang-orang yang berpikir dan berlaku buat kita, seolah kita nggak bisa mikir buat diri kita sendiri—”

Dengus geli dan tawa lalu terlepas dari mulut Mingyu. Ia mengusap sedikit tangis yang terbit dari sisi mata. “Jadi, sejujurnya, Anda di pihak mereka atau saya sih?” selorohnya.

“Aku cuma peduli sama kamu,” dengan lempeng, Joshua menjawab. Sang Omega kemudian bangkit dari kursi dan duduk di pangkuan Mingyu tanpa tedeng aling-aling, membuat Alphanya terkejut dan segera melingkarkan lengan di pinggangnya untuk menahan agar sang Omega tidak jatuh. Tangan-tangan menangkup kedua pipi Mingyu, yang matanya membulat dalam keheranan. “Aku nggak mau kamu nyiksa diri kamu sendiri karena emosi sesaat. Kalo kamu nyimpen dendam kayak gini, pada akhirnya, kamu sendiri yang bakal dimakan sama dendam itu.”

Napas Mingyu tercekat.

“Been there. Done that. Dan rasanya, sumpah, nggak enak,” ringis Joshua. “Enakan maafin orang yang udah nyakitin kamu. Emang berat, tapi ke depannya, kamu bakal lega. I'm talking from real experience here.”

Sang Omega terkekeh. Kekehan yang dengan cepat menjadi sebuah senyuman manis.

“Tapi sebelom kamu maafin mereka—”

Bibir Joshua kemudian menciumi wajahnya. Halus, pelan—bagai kecupan kupu-kupu.

“—kamu harus maafin diri kamu sendiri dulu.”

Alphanya menghela napas pelan setelah Joshua mengecup bibirnya.

“It takes time. Tapi, aku bakal ada di sini sama kamu, so take your time,” kening mereka menempel satu sama lain. “Aku bakal selalu cinta sama kamu dan nemenin kamu, kemana pun kamu mau pergi.”

Diangkatnya wajah Mingyu.

“So, smile, Kim Mingyu.”

Merefleksikan gestur kekasihnya, sang Alpha pun ikut tersenyum.