narrative writings of thesunmetmoon

Part 135

#gyushuaabo

“Terus terang, saya kurang yakin bisa memenuhi harapan Kakak, tapi bila memang ada satu hal yang bisa saya lakukan untuk membantu negara ini...”

“Mingyu...”

Terduduklah Tuan Raja di ruang kerja pribadinya. Omeganya di satu sisi dan Yang Mulia Ibu Suri di sisi satunya. Mereka separuh tidak mengharapkan kedatangan anggota keluarga termuda mereka di hari itu tanpa kabar ke istana, namun di situlah Kim Mingyu berdiri, persis di hadapan mereka. Sang Alpha nampak rileks berada di sisi Omeganya. Sementara itu, Tuan Lee bersandar ke dinding dengan lengan terlipat di dada. Ia buru-buru menyelinap ke ruang kerja Tuan Raja saat mendengar penjaga gerbang menyahutkan kedatangan Mingyu.

“Apakah...apakah kau yakin, Adikku?” tanya sang raja. “Aku pastikan keyakinanku saat memilihmu, tapi apabila...kejadian kemarin membuatmu tidak berkehendak, maka lupakanlah. Tak ada yang lebih kubenci selain membuatmu mengorbankan kebahagiaanmu—”

“Kak Cheol, saya—” Mingyu menggeleng sebelum tersenyum amat lebar, memamerkan deretan sempurna geliginya, membuat Tuan Raja dan Tuan Lee tersentak, sedangkan Tuan Yoon refleks menutup mulutnya dengan tangan. Senyuman khas si Kim Mingyu Kecil yang dahulu sering mengintil mereka bermain petak umpet di halaman istana. Jenis senyuman yang sudah lama tak dilihat Yoon Jeonghan. “—Aku hanyalah anak tidak dikenal yang tiba-tiba datang ke kehidupan Kakak. Seharusnya Kakak bisa dengan mudah membenciku. Namun, Kakak bukan hanya membagi orangtua Kakak denganku, tapi juga memelukku seakan aku benar-benar adik kandung Kakak.

Aku sadar aku telah merepotkan Kakak. Sekarang, biarkan adikmu ini membantu Kakak dengan segala keterbatasanku sebagai rasa terima kasihku atas semua yang telah Kakak berikan padaku.”

Kim Mingyu menundukkan kepala, memberikan rasa hormatnya pada raja dan kakaknya satu-satunya. Pada Alpha utama di hatinya. Tanpa ia sadari, Tuan Raj—ah, Seungcheol sudah bertolak dari kursinya, mendekati dan menepuk bahu Mingyu, membuat sang Alpha terkejut karena Seungcheol tetau saja menariknya ke dalam pelukan erat. Mata sang Alpha yang lebih tua itu pun berkaca-kaca.

”...Bicara apa kau, Bodoh. Aku mencintaimu tanpa mengharapkan balas budimu,” bisiknya. Hidungnya mengusrek bahu Mingyu, menghirup harum samar-samar rumah yang sama dari adiknya itu. “Kakak macam apa yang mengharapkan rasa terima kasih dari adiknya...”

Mingyu tertawa, meski pandangannya pun mulai nanar oleh haru. Ia balas melingkarkan lengan tanpa ragu di sekeliling tubuh Seungcheol, menikmati pelukan hangat saudara sebagaimana mereka kecil dulu. “Aku tahu,” jawabnya. “Tapi biarkan aku membantumu, Kak. Aku akan berusaha sebaiknya menjalankan tugasmu selama kau pergi.”

“Benar kau tidak apa...?”

“Tentu saja,” feromon Kim Mingyu semakin memancar bahagia ketika sebuah tangan mengelus bagian belakang kepalanya. Tangan seorang Omega yang juga ia cintai sepenuh hati. “Bukankah aku memiliki Kak Han, mentor terbaikku dalam pemerintahan, untuk membantuku?”

Mingyu menoleh dan ditemukannya paras sang Omega dengan pipi yang basah oleh air mata. Jeonghan meringis lebar sebelum berjinjit sedikit untuk mengecup pipi adik ipar sekaligus sahabat pertama yang ia miliki itu. Mingyu tertawa lagi, ringan, bahagia di antara kasih sayang kedua orang yang telah bersamanya berpuluh tahun lamanya, dalam suka maupun duka.

Ia memejamkan mata, menikmati pelukan sang Alpha dan Omega, sebelum feromon Alpha lain menyusruk ikut serta. Mingyu tak perlu membuka mata untuk mengetahui Seokmin menimbrung pelukan mereka. Seungcheol mendecak, memaki Seokmin sambil bercanda. Jeonghan hanya tertawa dan ikut meraih kepala Seokmin. Berempat, mereka terdiam sejenak seperti itu, berpelukan dengan satu sama lain.

Sang kakak. Kekasih kakak, juga sahabatnya. Sepupunya.

Begitu banyak orang yang memberikannya cinta selama ini. Begitu banyak kasih tanpa pamrih diberikan padanya. Di saat dunia ini penuh oleh orang-orang yang haus akan cinta, yang rela mengemis demi secuil saja perhatian orang lain terhadapnya, nyatanya, Kim Mingyu tidak sekalipun dibesarkan kekurangan akan cinta.

Saudara-saudaranya. Istana ini. Negaranya.

Saat pelukan mereka terlepas dan Seungcheol menjauh, Yang Mulia Ibu Suri telah berada di situ. Fokus Mingyu segera tercuri oleh ibunya. Oleh wanita yang telah membesarkan anak yang tak ada hubungan darah dengannya sama sekali dengan sepenuh hati.

“Ibunda...”

Sang Alpha, meski tubuhnya lebih besar dan mengintimidasi, langsung jatuh terduduk tak berdaya di hadapan sang Omega. Yang Mulia Ibu Suri terkesiap, segera berjongkok untuk meminta putranya berdiri. Namun, Mingyu tidak mau. Maka, Ibu Suri tak punya pilihan selain memeluk anaknya di lantai ruang kerja Seungcheol.

“Maafkan aku...,” ucapnya penuh getir. “Maafkan aku karena sempat berpikir buruk pada Ibunda. Maafkan aku karena aku sempat merasa marah pada Ibunda dan Mendiang Ayahanda. Maafkan aku...”

“Mingyu...,” Ibu Suri menggeleng. Terduduk di lantai, mereka saling bertatapan kini. Ditangkupnya pipi sang Alpha. Ibu jari setia menghapusi tiap bulir tangis yang keluar dari sudut mata putranya. “Oh, anakku sayang, Mingyu... Apa yang perlu kau mintakan maaf, Nak? Aku dan Mendiang Baginda telah menyembunyikan orangtua kandungmu. Wajar jika kau marah pada kami—”

Kim Mingyu menggeleng. Ia menggeleng kuat-kuat sambil memegangi kedua tangan ibunya di pipi. Ia menggeleng terus hingga perkataan ibunya terhenti.

“Ibunda adalah ibuku.”

Mata Ibu Suri membulat. “Oh...,” tangis diam-diam meleleh dari mata sang Omega.

“Mendiang Ayahanda adalah ayahku. Ibunda dan Mendiang Ayahanda adalah orangtuaku,” ucapnya tegas. Tatapnya jelas. Tidak ada keraguan, kali ini, di mata Kim Mingyu ketika menyatakannya. Berkebalikan darinya, wajah Yang Mulia Ibu Suri mulai basah oleh air mata. “Aku mungkin lahir dari orangtua yang berbeda, namun Ibunda dan Mendiang Ayahanda lah yang telah membesarkanku. Bagaimanapun masa laluku, kalian lah orangtua yang sesungguhnya bagiku.

Karena itu, biarkan aku meminta maaf atas kelancanganku. Dan—”

Mingyu mengelus lembut tangan ibunya.

“—biarkan aku mengatakan bahwa aku mencintaimu, Ibuku.”

Tangis pun pecah. Yang Mulia Ibu Suri menggamit leher anaknya dan menumpahkan ke dalam satu pelukan erat segala haru biru yang meluap dari akumulasi perasaannya sejak mereka menemukan Kim Mingyu kecil di jalanan sana. Sejak mendiang suaminya memintanya untuk tidak kaget melihat kondisi anak itu saat dibawa ke istana. Sejak ia menyaksikan bagaimana tubuh mungil itu dipenuhi lebam dan luka yang tidak pada tempatnya, menghiasi sekujur tubuh berupa tulang berbalut kulit semata.

Kini, anak yang sama telah tumbuh menjadi Alpha yang baik, suami yang penyayang dan anak kebanggaan mereka.

Suamiku, lihatlah.

Keningnya bersandar di kening Mingyu.

Anak kita telah sebegini hebatnya. Anak kita telah tumbuh menjadi orang yang baik. Lihatlah, dan banggalah kau di sana, Sayang.

“Aku bangga padamu, Putraku,” bisiknya. “Mendiang Baginda pun pasti bangga padamu...”

Mingyu tidak bisa berhenti menangis. Ia memeluk ibunya lagi. Mengapa ia menahan diri untuk tidak menghujani cinta pada ibunya sendiri, ia tak tahu. Mengapa ia memilih untuk menjauhi keluarganya, memastikan dirinya sebisa mungkin menghilang dari kehidupan di kerajaan hanya karena omongan orang-orang yang menyebutnya tak pantas berada di sana, sungguh ia tak tahu. Menoleh ke belakang, sekarang, semua nampak konyol.

Konyol. Bodoh. Kim Mingyu Alpha yang bodoh. Ia menyia-nyiakan cinta keluarganya hanya karena rumor tak bertuan. Menganggap dirinya si anak malang yang tak tahu orangtuanya siapa. Berkubang dalam gundah gulana detik demi detik.

Padahal, lihatlah.

Bukalah matamu.

Bukankah sebegini banyaknya orang yang mencintaimu, persis di hadapanmu?

Joshua.

Ketika ibunya melepaskan pelukan mereka dan Seungcheol serta Jeonghan membantu mereka berdiri, Mingyu serta merta membalikkan badan. Di sana, masih berdiri di tempat yang sama, Omeganya tersenyum senang. Hidungnya memerah sedikit dan ada sisa air mata mengering di pipi, namun ia tetap cantik seperti biasanya.

Satu, dua langkah lebar dan, tetiba saja, Joshua Hong telah diangkat ke dalam gendongan. Lengan-lengan kuat suaminya melingkari pinggang dan lututnya. Joshua memekik karena terkejut, tapi Mingyu tidak memedulikan itu. Ia mencari dan menemukan bibir kekasihnya, lalu menciumi Joshua hingga sang Omega hampir kehabisan napas.

“Terima kasih, Sayang…,” gumamnya ke bibir Joshua di sela-sela tarikan napas. “Terima kasih...”

Andai Joshua tidak bersamanya...

Andai Joshua tidak menyadarkannya...

Satu ciuman terakhir, kemudian mereka berakhir dengan kening bersandar pada satu sama lain. Ujung hidung mereka menempel, membuat hembusan napas hangat Mingyu terasa di bibir Joshua. Ia masih digendong suaminya seakan ia tidak memiliki beban.

“Aku mencintaimu...,” Mingyu berbisik.

“Mm,” Joshua meringis. Matanya berkilau oleh kebahagiaan. “Aku juga...”

Tanpa disadari pasangan Alpha dan Omega itu, empat orang lainnya tersenyum menyaksikan kegilaan tersebut. Seungcheol sempat melongo tak percaya saat Mingyu menciumi Joshua di depan mereka, sedangkan Jeonghan dan Seokmin tertawa keras-keras. Yang Mulia Ibu Suri menyentuh pipinya sendiri yang merona, senang melihat betapa bahagianya putra dan pasangannya itu sambil berdoa semoga mereka terus diberikan kebahagiaan hingga akhir hayatnya.

Kim Mingyu, sang Alpha kesayangan kita, kini terlepas dari ketakutan yang telah diseretnya seumur hidup. Ia bisa bebas melimpahkan cintanya pada semua orang yang ia kehendaki—Omeganya, orangtuanya, kakaknya, sahabat dan sepupunya, juga pada semua yang telah menyayanginya. Ia memiliki begitu banyak cinta yang mendorongnya hingga saat ini. Mulai sekarang, ia akan hidup dengan segala vitalitas dan potensi yang ia miliki. Ia akan mulai melangkah sebagaimana dirinya yang sejati: seorang Alpha.

Tidak ada lagi keraguan.