narrative writings of thesunmetmoon

Part 136

#gyushuaabo

Satu minggu kemudian, seluruh penghuni terpenting di istana dikumpulkan untuk diambil sumpahnya: bahwa mereka akan menjaga kerahasiaan misi ini hingga utas nyawa terakhir mereka. Mereka lah pihak-pihak yang dipanggil dahulu saat keabsahan Kim Mingyu dalam silsilah keluarga kerajaan pertama kali terkuak ke permukaan. Tuan Wen dan Tuan Kwon, Tetua Baek, para Dewan Tetua, Jenderal Min, Tuan Lee dan semua orang yang berkedudukan tinggi lainnya hadir di sana. Meski beberapa orang masih saja berbisik-bisik kala keputusan Tuan Raja mulai dibacakan, namun mereka semua tak ayal mematuhi perintah absolut pemimpin tertinggi kerajaan mereka.

Dalam pembacaan dekrit tersebut, pada penghuni istana lainnya, termasuk para pelayan dan pengawal, akan diberikan pemahaman bahwa Tuan Raja sedang kurang sehat dan untuk sementara, pemerintahan akan dijalankan oleh suaminya, Tuan Yoon, dan adiknya, Tuan Kim. Mereka semua mengenal Tuan Kim sebagai saudara angkat Tuan Raja dan, sampai sekarang, fakta tersebut tidak pernah melampaui dinding istana (atau, setidaknya, Kim Mingyu bisa bebas berjalan-jalan di kota tanpa ada satu warga pun yang mengetahui siapa dirinya hingga saat ini), sehingga mereka dipercaya untuk mengemban tanggung jawab yang sama akan kabar mengenai kondisi pemimpin negeri ini. Bagaimanapun, tidak ada yang menginginkan kedatangan tentara negara lain tanpa diundang dan mengambil alih pemerintahan selama raja mereka disinyalir melemah.

Kemudian, prosesi berlangsung dengan urutan sebagai berikut:

Tetua Baek mengundurkan diri dari jabatannya. Setelah melalui pembicaraan yang panjang nan mendalam, para Dewan Tetua sepakat menerima surat pengunduran diri Tetua Baek. Sebagai penggantinya, mereka menunjuk Tuan Lee Seokmin. Selain karena sang Alpha adalah keturunan langsung Mendiang Tetua Lee, ia dinilai sebagai sosok yang mampu mencari celah-celah yang mungkin luput dilihat Tuan Raja dan tidak ragu untuk mengutarakannya. Kehadiran Dewan Tetua sebagai penasehat resmi kerajaan diharapkan aman di tangan Tuan Lee. Tetua Baek pun tetap mengabdi dalam Dewan Tetua dan akan membantu sebisa mungkin sebagai penebus kesalah pahamannya selama ini.

Lalu, atas dekrit yang baru saja disampaikan, Kim Mingyu beserta keluarganya diharapkan pindah ke istana mulai minggu depan. Joshua terperanjat, begitu juga halnya dengan Mingyu. Mereka sudah menduga bahwa Mingyu harus tinggal di istana selama menggantikan kakaknya, sehingga Joshua berencana menelepon ibunya untuk tinggal sementara bersamanya di kediaman keluarga Kim. Alangkah kagetnya mereka saat Joshua juga diminta turut serta. Apalagi, Yang Mulia Ibu Suri secara spesifik memohon Joshua untuk membujuk ibunya agar mau tinggal di istana juga. Meski masih terpaku, sang Omega mengangguk, jelas tidak memiliki kuasa untuk menolak permintaan Ibu Suri.

Sungguh aneh. Pemikiran membangun sarangnya lagi dari nol mengusik ketenangan Omega dalam diri Joshua, tetapi mengingat rencana kudeta ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, ia paham bahwa Alphanya, cepat atau lambat, akan memerlukannya di istana. Ibu Suri mendadak menggenggam kedua tangannya, membuat Joshua kembali tersadar. Tatapannya menyatakan bahwa, sebagai sesama Omega, ia paham betul kegundahan menantunya itu.

“Aku akan membantumu, Nak,” bisiknya lembut. “Memang berat, tapi aku akan selalu ada di sisimu.” Kemudian, sebuah kedipan. “Dan kupastikan Mingyu akan siap membantumu juga kapanpun kau membutuhkannya.”

Saat itu, Joshua berpikir kalau ibunya pasti bisa bersahabat baik dengan ibu Mingyu. Anak itu tersenyum dan mengangguk lagi.

Selepas kedua pengumuman krusial tersebut, para hadirin diminta untuk bubar, menyisakan Jenderal Min, Tuan Lee, Tuan Wen dan Tuan Kwon. Mereka mulai berdiskusi mengenai rencana yang akan mereka ambil. Menyelundupkan seorang raja dan dua orang warga negara musuhnya bersama kedua bayi mereka bukanlah perkara mudah. Salah langkah sedikit bisa runyam semua rencana. Jangan sampai gegara nila setitik, rusak susu sebelanga.

Sementara mereka berdiskusi, Joshua mulai melamun. Anak itu tidak terlalu tertarik dengan situasi politik dan, bijaknya, memilih tidak ingin tahu terlalu banyak. Mereka di sana mungkin para pejabat pemerintah, namun Joshua hanyalah rakyat biasa. Ia lebih ingin menarik Alphanya pergi dan berjalan-jalan berdua saja, namun ia paham sepenuhnya kalau Mingyu perlu berada di sana untuk mengetahui detail rencana kakaknya.

Saat itulah, seseorang menyenggol sikutnya.

“Bosen ya,” Jun meringis. Entah sejak kapan, sang Beta sudah berpindah ke sisi Joshua, sementara Soonyoung masih di samping Seungcheol, mendengarkan dengan seksama ucapan sang raja sebelum balas menyampaikan pendapatnya secara serius. Melihat Soonyoung seperti itu, rasanya imaji pangerannya menguat beberapa lapis, melesapkan imaji Omega ceria nan bersemangat (baca: emak-emak rempong) yang terpateri lekat dalam benak Joshua.

“Lo nggak ikutan?” tunjuk sang Omega ke kerumunan.

“Males ah,” selorohnya. “Gitu-gituan urusannya Soonie. Gue mah ikut aja.”

Jun terkekeh, mengajak Joshua ikut terkekeh bersamanya. Jika dirinya sudah bersama pasangan suami itu, ia kembali menggunakan bahasa ibunya. Keberadaan Soonyoung dan Jun di dekatnya membuatnya otomatis rileks, karena Omeganya sudah terbiasa dengan percampuran harum feromon keduanya.

“Lo bakal pindah ke sini dong?”

Serta merta, Joshua bungkam. Mereka tidak saling bertatapan, melainkan bersandar ke dinding sambil melihat ke arah mereka yang masih hangat berdiskusi. Karena yang ditanya tidak kunjung menjawab, Jun melirik sedikit untuk mengintip sebelum mendengus geli.

“Yeah...I get it,” sambungnya. “Pas gue sama Soonie kawin lari, dia juga uring-uringan kayak lo gini.”

Joshua menoleh.

“Baunya beda. Bukan bau dia. Bukan bau yang biasa dia cium. Bukan bau sarangnya. Dia gelisah seharian. Jujur, karena gue Beta, gue nggak begitu paham. Gue nggak masalah sama hilangnya bau familier gitu, soalnya Beta itu nggak posesif sama bau, kecuali ada bau orang lain nempel di mate-nya.”

“Terus?”

“Ya...dia marahin gue lah. Bilang gue nggak peka lah. Nyalahin gegara gue Beta lah. Coba kalo gue Alpha, pasti gue paham lah.”

Mata Joshua membulat. Terus terang, anak itu kaget Soonyoung tega bicara seperti itu terhadap suaminya sendiri. Cengiran Jun mengembang lagi.

“Daripada Soonie, kayaknya lo bakal lebih gampang deh,” ucapnya. “Laki lo kan Alpha. Dia bakal bisa nyium bau lo better than a Beta ever did.”

“Junnie.”

Namun, sang Beta mengibaskan tangan sambil lalu. “Udah lewat kok. He is better now,” Jun kembali menatap suaminya. Joshua pun tak ayal mengikuti arah pandangnya. “...Far better. He was in a very bad place. Gue malah kagum sama dia, bisa survive sampe sekarang, bahkan mau balik ke negaranya kayak gini. Kalo gue sih udah males duluan.”

Akan ucapan terakhir itu, si anak bertanya, “Lo nggak pengen balik ke negara lo kah?”

Sejenak, alis Jun mengernyit. Ia mengusap dagunya sembari membayangkan negara di Timur Jauh yang sudah lama ia tinggalkan. Berbeda dari suaminya, Jun secara sukarela angkat kaki dari sana. Bukan karena diusir, bukan karena terpaksa demi menjaga nyawa tetap di badannya seperti Soonyoung. Ia hanya datang ke kakak tertuanya suatu hari dan menyatakan bahwa ia akan pergi.

(“Kemanakah gerangan, Adikku?”)

(“Entahlah, Baginda. Angin akan membawa langkah Hamba bersama bulir pasir.”)

(“Pasir memiliki banyak wajah, Adikku. Mempercayai Ia yang senantiasa berubah bukanlah hal yang bijaksana.”)

(“Hamba akan mengingatnya dalam tiap detak jantung dalam dada, Baginda.”)

…

Good thing I packed up and leave, then. Nggak kebayang gimana gue dulu bisa berpantun tiap ngobrol biasa. Bahasa negara Soonie is the best.

Menyadari bahwa Joshua masih menunggu responnya, sang Beta menyengir santai dan menjawab, “Well, gue punya keluarga sendiri sekarang.”

Sebuah jawaban sederhana yang langsung dipahami sang Omega.

“Udah 10 menit. Harusnya susu mereka udah anget. Lo mau ikut gue?”

“Ngapain?”

“Waktu makan si kembar dong.”


Panik adalah sebuah perendahan dari apa yang menyambar Kim Mingyu saat ia, akhirnya, sadar bahwa Joshua telah menghilang dari ruangan. Feromonnya meliar untuk sejenak karena serigalanya langsung gelisah akan ketiadaan kekasihnya, hanya untuk Soonyoung tenangkan dengan penjelasan bahwa Joshua sedang membantu Jun menyusui bayi-bayinya.

Seketika, kelegaan. Lalu, sebuah rasa penasaran.

Sebelum menikah, Joshua dengan jelas menyampaikan keengganannya memiliki anak. Ia ingin hidup bersama Mingyu berdua saja sampai ia merasa sanggup menjadi orangtua. Lagipula, ia masih terlalu muda, masih ingin menapaki dunia dan pulang ke pelukan suaminya seperti janji Mingyu padanya. Mereka membahasnya lagi di malam pernikahan mereka, bahwa ia belum ingin memiliki anak. Mingyu, atas keduanya, langsung mengiyakan. Bukan ia yang akan membawa bayi itu di dalam perutnya, tapi Omeganya. Bila Joshua belum siap, maka ia belum siap. Sesederhana itu.

Bila Joshua tidak pernah menghendaki pun tidak apa. Ia akan sedikit sedih karena tidak akan pernah menggendong versi mini darinya dan Joshua, namun ia akan menghormati apapun keputusan pasangannya.

Ketika kau menikah, artinya kau menerimanya, seluruhnya, seutuhnya, tanpa terkecuali, termasuk segala keputusannya.

Dan Mingyu menerima Joshua seperti itu.

(Ah, Alpha kita, begitu lemah terhadap Omeganya... Mereka akan perlu belajar bagaimana toleransi sesama pasangan akan diperlukan dalam kehidupan pernikahan di atas penerimaan, namun itu masih nanti. Mereka toh punya waktu bertahun-tahun lamanya untuk belajar menjadi sepasang suami dan—mungkin, suatu hari—orangtua.)

Soonyoung mengetuk pintu kamar perlahan dan Jun membukanya. Segera saja sang Beta menaruh telunjuk di depan mulut, memperingatkan kedua orang yang baru datang itu untuk tidak berisik.

“Makan lahap dan ngerecokin Josh, terus pada ketiduran,” kekehnya pada Mingyu. Tangannya sibuk mengelusi punggung Soonyoung yang segera memeluk suaminya begitu pintu dibuka, terlalu letih oleh bahasan politik dan terlalu merindukan bau khas hutan bambu suaminya yang menenangkan. “Kupikir mereka bakalan rewel karena Soonie nggak ada, cuma ada aku, tapi rupanya mereka seneng ada Josh juga sampe nggak mau ditinggal. Sori ya, Gyu. Dia jadi nggak bisa balik soalnya si kembar nangis pas dia mau pergi.”

Mingyu menapak masuk kamar pasangan suami itu yang kental berbau susu. Ia separuh mendengarkan Jun, separuh tidak. Pasalnya, Omeganya ada di sana, tertidur pulas di kasur empuk dan memeluk kedua bayi gempal tersebut, seakan mereka enggan terpisah satu sama lain.

Hati kecil Kim Mingyu bergetar melihat Omeganya bersama bayi.

Ia lalu berlutut di samping ranjang dan mengelus lembut pipi kekasihnya, mengabaikan Soonyoung dan Jun yang tersenyum menyaksikan mereka.

“One day,” Soonyoung bergumam. “Dia bakal jadi ibu yang baik.”

Oh, wouldn't Kim Mingyu hope that with all his heart?

Sang Alpha hanya bisa memandangi wajah damai Omeganya sambil berdoa kalau, suatu hari, ia akan bisa memeluk Joshua dan anak mereka dalam satu pelukan besar. Sebuah impian nun jauh di sana.