narrative writings of thesunmetmoon

Part 15

#gyushuaabo

Suara ketukan terdengar tiga kali dalam ketenangan malam.

“Masuklah.”

Daun pintu kemudian terbuka.

“Ibunda.”

“Ah,” senyuman pun merekah di wajah cantik namun letih tersebut. Beliau masih mengenakan gaun kebesarannya, belumlah berganti ke gaun tidur, karena memang tengah menanti pertemuan tersebut. “Putraku. Kemarilah, Nak, aku ingin melihat wajahmu.”

Patuh, Tuan Kim menutup perlahan pintu kamar tidur tersebut, lalu sang Alpha turun ke kedua lututnya, bersimpuh di hadapan sang Omega. Wanita itu menangkup dan mengelus wajah tampan si anak, mengagumi kemiripan yang kian nyata seiring dengan berjalannya waktu. Ada rindu berkelebat di sana, dalam tatapan hangat nan lembut.

“Kau tumbuh menjadi Alpha yang baik...”

”...”

”...Tapi aku tidak mengerti kenapa kau jarang sekali memunculkan batang hidungmu di hadapanku, Sayang. Aku setiap hari merindukanmu.”

“Maafkan saya, Ibunda.”

“Apakah kau sungkan padaku, Mingyu?”

Rahang sang Alpha menegang sedikit. Sungguh percuma, usaha untuk menyembunyikan reaksi barusan, sebab, bola mata adalah jendela menuju jiwa.

“Kenapa, Nak?”

“Saya...,” Tuan Kim—ah, Mingyu. Di sini, aman di dalam naungan dinding-dinding istana, di hadapan keluarganya, ia hanyalah Mingyu, anak dengan rambut yang memudar hasil sengatan mentari, kulit sawo matang dan ringisan bergingsul, bukan Tuan Kim, Alpha yang disegani sebagian besar tetangganya. Mingyu menelan ludah. Jakunnya bergerak cepat. “...sengaja tidak sering-sering ke istana, Ibunda, saya tidak pantas—”

“Tidak pantas!” ibunya melengking mendadak, mengagetkan Mingyu. “Apa maksudmu dengan itu, Kim Mingyu?! Aku tidak ingat pernah membesarkanmu dengan paham bahwa kau tidak pantas berada di istana ini, rumahmu!”

Mingyu pun bungkam. Omega yang murka jauh lebih mengerikan daripada Alpha terganas dalam masa estrusnya sekalipun. Ibunya terus saja mendumal. Mingyu hanya bisa berharap para pelayan dan prajurit penjaga istana tidak tergopoh-gopoh dari bilik peristirahatan mereka, berkerumun di depan kamar ini dengan was-was.

“Seharusnya aku tidak mendengar perkataan kakakmu! 'Oh, biarkan saja Mingyu, Ibunda, burung yang telah dewasa akan mengepakkan sayapnya menantang langit yang lebih tinggi.' Ha! Lihatlah kau, Putraku! Kau terbang begitu tinggi sampai lupa bahwa tanah tempat kau injak dulu selalu menyayangimu!”

“Ibunda, bukan itu maksud saya—”

“Mingyu,” kembali, kedua tangan sang permaisuri menangkap wajah si anak. “Kau adalah putraku. Seungcheol dan kau. Kalian berdua adalah anak-anakku. Aku adalah ibumu dan mendiang Baginda adalah ayahmu. Istana ini adalah rumahmu.

Berapa kali aku harus mengatakan ini padamu, Putraku?”

Mingyu memandangnya dengan teduh. Sungguh, hal terakhir yang ingin ia lakukan adalah membuat sedih ibunya. Malang, ia bahkan tidak bisa berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membuat ibunya sedih.

Ah. Apalah arti menjadi seorang Alpha. Membahagiakan ibunya saja ia tidak bisa, apalagi membahagiakan seorang Omega yang terkasih. Betapa payah.

“Apa kami kurang menyayangimu seperti anak kami sendiri? Apakah...apakah kesalahan dari aku dan mendiang Baginda—”

Cepat, Kim Mingyu menggeleng. “Tidak. Ibunda dan mendiang Ayahanda selalu memperlakukan saya sama seperti Kakak. Bukan kalian. Saya...saya yang...”

--tidak pantas.

“Mingyu.”

(“Anak itu. Tidak pantas, bukan?”)

“Ada apa, Nak?”

(“Anak pungut itu.”)

”......Saya hanya berpikir bahwa sudah saatnya saya kembali ke tempat asal saya, dimana saya seharusnya berada. Ibunda sekalian sudah begitu baik pada saya yang bukan siapa-siapa ini.”

Mingyu mengambil tangan ibunya, meremasnya perlahan.

“Saya tidak ingin menjadi sebab omongan buruk warga terhadap keluarga kerajaan.”

Kim Mingyu adalah Alpha yang lemah. Ia hanya bisa membalas kebaikan orang-orang yang telah memberikannya kehidupan kedua yang sempurna ini dengan cara yang menyedihkan, dengan mundur bagai anjing yang sudah kalah dalam pertarungan.