narrative writings of thesunmetmoon

Part 2: 오늘 너를 만났다

#jihanmodernroyalty

Sebenarnya kalau Jeonghan mau diam sebentar dan berpikir dengan kepala lebih dingin, dia pasti langsung paham kelemahan rencananya dari segala sisi.

Pertama, apa nggak dicek tuh kartu identitasnya sebelum masuk ke istana sama penjaga luar gerbang? Masuk kediaman megah orang kaya aja ada pemeriksaan, apalagi sepenting istana kerajaan. Rencananya bisa langsung gagal bahkan sebelum dilancarkan.

Kedua, walau entah gimana dia somehow bisa lolos dari luar gerbang dan masuk ke istana, pas ketemu tatap muka toh mereka harusnya udah tau yang mana muka Yoon Jeonghan itu, apalagi mengingat social medianya juga nggak diset privat. Muka dia sama muka Seokmin kan jauh banget bedanya. Masa bisa ketuker?

Ketiga, Jeonghan harusnya ingat kalau Seokmin terkenal mudah kena nervous breakdown. Kalau mereka sampai dipojokin karena berbohong, anak itu most likely bakal ngespill sendiri secara suka rela.

Keempat, kalau benar begitu jalan skenarionya, Yoon Jeonghan bisa berakhir di penjara.

Nah, biasanya, dia dalam keadaan normal akan berpikir masak-masak sebelum bertindak sampai sejauh itu. Something about one step back, three steps forward or so. Dia bakal mundur sedikit—satu langkah—agar bisa melihat keseluruhan gambarnya dalam skala yang lebih luas untuk mengambil keputusan yang benar.

Tapi, saat ini, jujur, otaknya panas. Setengah berusaha calm and collected, tapi setengahnya lagi malah gatal ingin memesan tiket pesawat ke Seoul penerbangan paling pagi dan nggak balik lagi selamanya.

Jeonghan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Seungcheol di kursi pengemudi melirik padanya melalui spion tengah. “You okay, Han?” tanyanya.

Mingyu menoleh ke belakang dari kursi penumpang depan, menyalurkan kecemasan melalui sorot matanya. Meski jelas mengantuk karena Mingyu lebih ke night owl daripada early bird, dia rela dibangunkan Seungcheol jauh sebelum alarmnya berdering demi menemani Jeonghan dan Seokmin, yang lagi sama nervous-nya seperti Jeonghan di jok belakang.

Jeonghan ingin mendengus rasanya. Semua ini terlihat tolol.

Should I?” kekehnya, walau nggak ada yang lucu sama sekali. “Gue capek banget dari kemaren. Gue mutusin buat nggak mikir apa-apa.” Berkata begitu, dia menopang pipi dengan kepalan tangan, bersandar ke jendela. Di luar, suasana kota nampak baru bangun dari tidur. Orang-orang keluar dari rumah mereka, tersenyum dan bercengkerama. Enak banget hidup mereka ya, nggak perlu gundah gulana nggak jelas kayak dia di bawah naungan langit biru nan cerah ini...

“Good. Lebih lo banget kalo kek gitu,” seloroh Seungcheol. Mingyu merengut, lalu mencubit paha Seungcheol. “Aw fak! Paan sih?!

“Ada tempatnya kalo mau becanda, Bang,” Mingyu masih merengut. “Kesian Bang Han. Dia lagi stress itu.”

“Ya kan makanya gue bilang bagus dia mutusin gak mikirin itu lagi?! Ngapain dipikirin lama-lama juga?? Adanya makin stress dia!”

“Tapi kan—”

“Gyu. Udah.”

Jeonghan menyela, langsung membungkam mulut Mingyu. Sisa perjalanan itu diisi playlist Spotify Seungcheol—80% ballad dan 20% hip hop—tanpa ada satu pun dari keempat orang di dalamnya yang angkat bicara lagi, terlalu sibuk dengan pemikiran masing-masing.


Teguk ludah.

Gimana bisa sih, probabilitas 1 dan probabilitas 2 kelewat begitu aja??? Di gerbang luar istana nggak ada yang mengecek kartu identitas mereka. Pun, ketika pintunya yang megah dibuka, penjaga beserta kepala pelayan nggak ada yang menanyakan siapa mereka, hanya keperluan mereka saja.

“Mm, k-kami datang karena l-lotere semalam...?”

Yang langsung membuat keempat pemuda itu diboyong ke aula utama tempat raja dan ratu menerima tamu.

??? I mean—segampang ini tah???

Sumpah lah, Jeonghan bener-bener ngerasa kalau protokol keamanan istana butuh ditingkatin lagi. Iya tau, ini negara aman tentram damai bahagia sentosa, tapi yang namanya penjagaan jangan selembek ini juga lah?? Masa iya mau tunggu huru-hara dulu baru diketatin?? Kalau Jeonghan udah take over nanti, hal pertama yang bakal dia lakuin—

...wait. Wait, no. Ini salah. Salah banget.

Buru-buru dia menggelengkan kepala, membersihkan pikiran aneh di dalamnya.

Berbeda dari bayangan Jeonghan sebelumnya, aula utama bukanlah ruangan besar dengan gelaran karpet merah memanjang sampai podium dimana dua singgasana kerajaan menanti mereka. Aula utama istana ini adalah ruangan yang cukup kecil, namun masih pantas untuk menerima tamu rombongan. Alih-alih singgasana dingin, beberapa sofa empuk ditaruh dengan meja kopi pendek di antaranya. Raja dan ratu sedang menikmati teh pagi mereka setelah sarapan ketika mereka menyadari kedatangan keempat pemuda asing.

“Yang Mulia, pemenang undian kerajaan telah tiba.”

OH!” serta merta, sang raja pun melompat berdiri. Senyumnya lebar sekali. Sang permaisuri harus mengingatkan suaminya supaya nggak kelewat bersemangat dan melupakan usianya. “Calon menantuku! Jisoo-ya! Kemari, Nak! Suamimu sudah datang!”

Jeonghan diam-diam meneguk ludah. Bunyi sepatu bertemu lantai marmer memenuhi ruang yang, mendadak saja, sunyi karena keempat pemuda itu tanpa sadar telah menahan napas. Pintu yang menghubungkan aula dengan taman pribadi kerajaan lalu membuka dan—

“Ya, Ayah?”

first encounter

Pangeran Jisoo muncul dari balik pintu, nampak segar seperti kelopak bunga pertama di musim semi. Angin bertiup lembut, mengacak rambutnya yang sekelam malam. Matanya memandang lembut seperti biasanya tanpa ada perubahan signifikan kala menatap mereka semua. Ujung bibir merahnya pun tertarik membentuk senyuman manis.

All in all, he's a very delightful view indeed.

BRUK!!

SEOK?!

Namun, detik kemudian, Jeonghan membekap mulutnya. Matanya membuka begitu lebar. Sadar akan apa yang baru saja terjadi.

So much for the fucking plan, mate...