narrative writings of thesunmetmoon

Part 21

#gyushuaabo

Gelas wine ketiga dan tubuh Joshua mulai menghangat.

Setelah melepas ibunya untuk bertemu empat mata dengan Ibu Suri (katanya sih cuma boleh dihadirin perempuan aja, Joshua juga nggak minat-minat amat sih, terlalu banyak perhatian dia dapat setelah pindah ke negara ini), anak itu melipir ke meja yang dijaga oleh seorang pelayan yang menuangkan minuman ke gelas para tamu. Kesepakatannya dengan ibunya sebagai syarat karena Joshua sudah merelakan hari ulang tahunnya adalah Joshua boleh ngelakuin apapun sepanjang malam itu. Ibunya cuma menghela napas, meminta anaknya untuk berhati-hati pas ibunya nggak ada di sisinya.

(Yang dibales Joshua dengan dengusan diam-diam, bcos yeah emangnya apaan sih yang bakal kejadian within this prim and proper society with their overly tamed Alphas?)

Malam ini, Joshua nggak mau menjadi Omega dalam kandang. Jika dia harus dateng ke pesta dansa yang nyusahin dengan segala tetek bengek sopan santunnya, maka dia harus boleh minum alkohol sebanyak yang dia suka. Apalagi, hari ini usianya genap tujuh belas. Sisa satu tahun lagi jelang dia dicap telah dewasa.

Bukan cuma itu, Joshua juga mengenakan pakaian yang, well, sebenernya sih B aja, anjir, bahkan Vernon muji dia pas dia kirim foto ke sobatnya itu, tapi kayaknya bikin kaget orang-orang di sini. Sebab, pas Joshua turun dari kereta kuda yang dikirim Yoon Jeonghan pada keluarga Hong, semua mata langsung membelalak terbuka. Engsel rahang mereka seolah kendor karena mereka semua menganga. Beberapa pria dan wanita berbisik-bisik, sisanya terus memandanginya takjub.

Sumpah, padahal B aja. Coba kamu lihat deh.

Image

Bener kan B aja???

Emang lebay orang-orang di sini, kayak belum pernah lihat Omega pakai choker pita merah di sekeliling lehernya aja. Joshua juga pakai kemeja dan jas. Ini tuh pakaian kasual formal, plisdeh, cuma dikasih aksen dikit aja kok.

Auk ah bodo amat. Joshua malam ini pingin jadi Joshua yang sebenarnya. Biarin. Biar semua orang di negara ini berhenti memuja-muja dirinya. Jadi Omega bukan berarti harus anggun, cantik, manis. Yeakkh.

Sebelum Omega, Joshua itu manusia biasa.

Manusia bebas.

Karena itulah, anak itu dengan murah hati melepas feromonnya kemana-mana. Masyarakat kelas atas yang berkumpul di aula istana sudah sangat kenal dengan harum calon pendamping raja mereka, Yoon Jeonghan, hingga mereka dibuat terkejut dengan harum lain berputar di ruangan luas nan megah tersebut. Berbeda dari Jeonghan yang membawa suasana taman dengan bebungaan mekar sempurna, Joshua mengingatkan mereka akan kenangan indah duduk di depan perapian dan berkumpul dengan para keluarga, sementara rinai salju turun syahdu di luar jendela rumah mereka.

Wangi yang membangkitkan haru biru, juga rasa lapar.

Wangi yang lebih berbahaya daripada wangi tunangan raja mereka, karena ada sesuatu yang lebih, katakanlah, eksotis di sana. Wangi yang membuat bahkan Beta yang menghirupnya tanpa sadar meneguk ludah.

Joshua, nggak awas akan semua itu, tersenyum dan tertawa. Bagai kupu-kupu, anak itu bertemu dan berbicara dengan banyak orang, sama sekali nggak peduli siapa yang dia ajak bicara. Mungkin pemilik bank terkemuka di kota. Mungkin seseorang dari parlemen. Atau sekadar pelayan yang bekerja keras mengantarkan makanan. Siapapun itu, Joshua merasa aman. Dia bisa mengendurkan kerah kemejanya, membuat feromonnya semakin buyar dipanasi oleh tiga, jelang empat, gelas alkohol yang masuk ke sistem peredaran darahnya.

“Selamat malam.”

Joshua menoleh. Seorang Beta menyapanya dengan senyuman ramah. Garis wajahnya lembut, terkesan dia nggak akan berani nyakitin seekor lalat sekalipun. Hidungnya mancung dengan indah. Tubuhnya nggak terlalu tinggi, tapi proporsinya bagus. Dan dia tampan sekali.

“Apakah Anda Tuan Hong?”

“Joshua.”

Dipotong, begitu saja, lalu si anak menenggak gelas keempatnya.

“Ah, tapi—”

Joshua. Aku punya nama,” gerutunya. Semenjak alkohol menetesi lidahnya, dia sudah kembali ke gaya bicaranya yang asli. “Kalo kamu nggak mau panggil aku dengan namaku, get lost.

Beta tersebut terkesiap. Ada jeda menyelip di antara mereka. Joshua, masa bego, terus aja minum sampai habis, sampai dia minta diisikan gelas kelima, sebelum sang Beta kembali tersenyum.

Joshua,” ucapnya, dalam suara rendah seakan dengkur seorang Alpha, membuat si anak sedikit menggigil. “Belum ada pasangan dansa?”

“Belum,” selorohnya. “Nggak kepingin juga. Nggak bisa dansa. Nggak suka dansa.”

“Oh?” a chuckle. “Kebetulan. Saya juga. Nah, selain dansa dan minum, apa yang bisa kita lakukan sekarang untuk bersenang-senang?”

“Nggak tau,” gelasnya hampir habis lagi. Riuh rendah tamu undangan menjadi latar yang membosankan. Semua orang seakan tengah berbahagia, selain dirinya.

Padahal hari ini hari ulang tahunnya.

Beta itu mendekat, memasuki zona nyamannya. Joshua merasa sedikit gerah tapi terlalu malas untuk mendorongnya pergi. Biarlah. Dia nggak peduli. Dia cuma mau bersenang-senang semalaman, melepas stress yang terakumulasi selama ini.

Sebuah bisikan pun datang ke telinga Joshua.

“Saya tahu ruang pribadi di istana ini dimana kita bisa bersenang-senang.”

Telinganya dibelai oleh kata-kata yang ditetesi air gula. Saat Joshua menghirup napas, dia menyadari satu hal ganjil akan kenalan barunya.

Bau Beta itu terlalu kuat dan menyengat.

“Bagaimana? Anda tertarik ke sana? Joshua?”

Ah, mungkin cuma perasaannya aja.

Anak itu pun mengangguk.