narrative writings of thesunmetmoon

Part 3

#woncheolshort

“Jeonghan-ah!”

“Apaaaa?”

“Sini, buru! Inside nih!”

“Sendiri aja laaah, gue lagi sibuk.”

“Sinii, ih, temeninn!”


“Wonu-hyung.”

Dia menoleh. Mingyu menatapnya, setengah bertanya, setengah terpana. Wonwoo tahu maksud tatapan itu apa. “Hmm?” namun, ia mengindahkannya.

“Ngeliatin aja,” ujung bibirnya tertarik, seperti sumringah setengah jadi. Wonwoo biasanya menaruh tangannya ke muka Mingyu dan mendorong kepala lelaki itu menjauh, secara harfiah menghapus ekspresi menyebalkan khas Kim Mingyu dari sana. Tapi tidak kali ini. Ia terlalu malas. “Tuh bolpen lo bocor.”

Seketika itu juga, Wonwoo menunduk. “Oh,” rembesan tinta melebar di kertas, membenamkan kata-kata yang sudah ditulisnya dengan susah payah, lirik lagunya bersama Mingyu. “Shit.” Buru-buru, Wonwoo mengecek bolpen tersebut, memutuskan untuk membuangnya dan meraih bolpen baru. Ia menulis ulang kata-kata yang hilang sebelum terlupakan dari ingatan. Mingyu, memperhatikan itu semua, hanya meringis sambil menumpangkan dagu di sebelah tangan, sadar sepenuhnya bahwa ia membuat jengah lelaki yang lebih tua tersebut.

Suara ujung bolpen menggores kertas memenuhi jeda di antara mereka untuk beberapa saat.

”...Mingyu.”

“Ya, hyung?”

“Ada yang mau lo omongin ke gue?”

Senyumnya melebar, kemudian dia menggeleng. Di mata Wonwoo, jelas sekali kalau lelaki itu sengaja. Sengaja tidak menjawab. Sengaja mengulur waktu. Sengaja mengundang Wonwoo untuk menceritakannya dari mulutnya sendiri. Terkadang, Wonwoo benci bagaimana Mingyu mengenal dirinya sebaik ini. Dia benci bagaimana hampir semua member mengenal kepribadian satu sama lain dan, lebih sering daripada tidak, menggunakannya untuk bahan bercandaan atau kepentingan mereka. Bukan dalam konteks yang merugikan atau menekan, tentu, tapi yang namanya saudara terus terang selalu merupakan sumber sakit kepala.

Kali ini, Wonwoo pun, akhirnya, menyerah juga akan tatapan Mingyu.

“Dia ngambek.”

Ringisan tercetak di wajah lelaki yang lebih muda. “Dah gue duga,” ujarnya. “Kenapa lagi sekarang?”

“Jarang gaming bareng lagi,” Wonwoo menyelesaikan goresan tintanya.

“Lo sibuk kan?”

Wonwoo bergumam membenarkan, “Dia tau kok. Sadar juga. Plus, gue juga mulai bosen maen game sejenis.”

Mingyu kemudian merebahkan kepala ke meja. Ujung rambutnya mengenai lengan Wonwoo, menggelitik kulitnya. Wonwoo membiarkannya.

“Pantes dia nempel Jeonghan-hyung mulu.”

Wonwoo menoleh sedikit.

“Bukannya mereka emang dari dulu gitu?”

“Dia sama ama gue, hyung. Butuh skinship. Butuh pelokan,” Mingyu mengangkat kepalanya. “Gue sih nggak kurang asupan. Ada lo, ada Hao, ada Seok, ada Kwan.”

“Dia juga nggak kurang asupan,” rujuknya, ke lengan yang mengalungi bahu Jeonghan di depan kamera Inside Seventeen.

“Tapi bukan dari lo.”

Jeon Wonwoo mengernyit menatap Mingyu.

“Maksud lo?” tanyanya tenang.

“Lo punya kepala yang bagus di atas leher kan,” Mingyu hanya meringis sebelum beranjak dari duduknya, mengumpulkan kertas-kertas berisikan lirik yang ia selesaikan. “Go figure.”