narrative writings of thesunmetmoon

Part 37

#gyushuaabo

Tuan Kim mengerjapkan matanya. Di hadapannya, ada seorang ibu yang sungguh jelas tidak ingin asal dalam memberikan restu. Tuan Kim paham. Dirinya Alpha asing. Jauh, jauh lebih tua dari putranya, Omega yang belum tersentuh siapapun. Tuan Kim sangat paham. Apabila ia yang memiliki anak seorang Omega dan ada seorang Alpha datang padanya untuk meminta restu, ia sendiri mungkin sudah mengusir Alpha itu begitu batang hidungnya muncul di ambang pintu.

Paham betul, tapi...

“Bolehkah...,” jawabnya. “Saya menerima undangan Anda untuk duduk dulu?”

Nyonya Hong pun segera mempersilakan tamunya lagi. Tuan Kim menanggalkan mantel dan topinya di gantungan sebelah pintu. Setelah mereka duduk dengan dua cangkir teh hangat (yang Nyonya Hong bersikeras sajikan meski ia sudah menolak dengan begitu sopan karena enggan merepotkan tuan rumahnya lebih dari ini) di meja kecil depan mereka dan tumpukan hadiah ditaruh di sisi sofa yang kosong, percakapan mereka pun kembali.

“Nyonya Hong,” mulai Tuan Kim. “Saya minta maaf apabila permintaan saya kemarin mengejutkan Anda. Saya paham saya...bukanlah jenis orang yang Anda harapkan untuk datang dan meminta restu putra Anda yang masih begitu belia. Saya sangat sadar bahwa usia saya dan...fakta bahwa saya Alpha...bisa membawa bencana apabila—”

“Tuan Kim,” Nyonya Hong memutusnya. “Siapakah Anda?”

Tuan Kim terkejut.

”...Siapakah...saya, Nyonya Hong?”

“Ya. Siapakah Anda?” ulang wanita itu. “Saya melihat kediaman Anda ketika saya berjalan-jalan tadi pagi. Rumah Anda begitu besar dan megah. Saya bertanya pada para penjaga toko di kota, bahkan pada Nyonya Kang dan Tuan Lee, tapi tak ada satupun dari mereka yang tahu profesi Anda. Tidak ada yang benar-benar tahu siapa Anda, dari mana asal Anda, siapa orangtua Anda. Mereka hanya tahu, seperti saya, bahwa Anda hidup dengan berada, tidak terlihat bekerja setiap harinya, dan bahwa Anda sangat sopan dan ramah pada semua orang.

Anda memiliki banyak kenalan, bahkan mungkin teman, tapi mereka pun tidak mengenal Anda.”

Diam-diam, Tuan Kim meneguk ludah. Kerongkongannya kering. Rahangnya menegang. Tanpa sadar, ia sudah duduk tegap, tidak lagi bersandar ke sofa. Suatu hal yang Nyonya Hong tangkap dengan segera.

“Apabila Anda menjadi saya, Tuan Kim,” wanita itu memicingkan mata. “Apakah Anda akan mempercayakan anak Anda satu-satunya pada orang yang saya jabarkan barusan?”

Kalah telak.

”...,” Tuan Kim menunduk. Kedua tangannya terkepal di atas lutut, mirip murid yang tengah dihukum. Sebenarnya terlihat lucu, andai dirinya tidak begitu cemas atas pengamatan tajam Nyonya Hong yang amat menakjubkan. “...Tidak. Saya...saya tidak akan percaya pada orang itu...”

Nyonya Hong diam seribu bahasa.

”...Saya bukannya tidak ingin menceritakan pada Anda dan putra Anda, tapi saya, tepatnya, tidak bisa...”

“Mengapa begitu, Tuan Kim?”

“Karena,” teguk ludah. “Karena agak kompleks, eh, situasi saya ini...”

Spontan, Nyonya Hong terkesiap. “Tuan Kim!” serunya. “Anda tidak melakukan perbuatan kriminal, kan?? Maksud saya, rumah Anda begitu megah dan Anda tidak terlihat bekerja, jangan bilang kalau Anda—”

“Apa—” Tuan Kim ikut terkesiap dibuatnya. “Nyonya Hong! Tentu saja tidak! Saya tidak— Saya bukan kriminal, Nyonya Hong! Saya bersumpah untuk yang satu itu!”

Tuan Kim sungguh berapi-api sehingga, mau tidak mau, Nyonya Hong pun harus mempercayainya. Lagipula, sumpah Alpha terhormat bisa dipegang kata-katanya.

“Baiklah...saya tidak akan pernah memberikan restu saya apabila Anda berbuat jahat sebagai sumber penghasilan Anda...”

“Saya bahkan tidak berani membayangkan hidup seperti itu, Nyonya Hong, saya sendiri bisa jantungan duluan...,” keluh Tuan Kim. “Saya memang tidak bekerja tapi, yah, katakanlah, saya memiliki sedikit tanah di pinggiran kota...”

“Tanah?” Nyonya Hong meneguk teh yang mulai mendingin dari cangkirnya.

“Benar. Saya memiliki beberapa dan...saya bisniskan. Ada yang saya bangun jadi kediaman dan sewakan. Ada yang saya simpan dan saya kembangkan menjadi ladang.”

“Oh begitu, jadi Anda adalah tuan tanah...”

Tuan Kim tidak mengangguk maupun menggeleng. Karena, meskipun benar bahwa ia memiliki beberapa tanah, namun itu semua bukan atas namanya, melainkan nama fiktif untuk membeli hak tanah warga yang sempat bersengketa untuk dikembalikannya pada mereka, empunya aslinya. Ia menggunakan dalih 'sewa' padahal dengan biaya sewa yang sungguh, sungguh murah setiap tahunnya, sehingga para keluarga tersebut bisa menikmati rumah mereka lagi. Sedangkan ladang yang ia maksud sengaja dikembangkan menjadi ladang untuk membantu perekonomian setempat. Hasil ladang, serta biaya sewa rumah yang ia dapatkan, ia berikan lagi pada komunitas di wilayah terkait, pada panti-panti asuhan atau program kesejahteraan di sana.

Kim Mingyu, jujur, tidak punya apa-apa. Rumah yang ia tempati pun sebenarnya milik kakaknya, Tuan Raja, yang dibeli diam-diam ketika ia masih belia. Tuan Kim hanya meminjam rumah itu dan, ketika ia akhirnya bisa kembali melesap ke masyarakat umum, ia akan pindah dari sana dan hidup dengan kemampuannya sendiri.

Ia bisa belajar pada pekerja toko, menjadi asisten mereka sampai ia cukup ahli untuk membuka tokonya sendiri. Mungkin Dokter Jeon atau Tuan Seo membutuhkan bantuannya. Ia bisa membantu Nyonya Oh di toko kelontongnya. Mungkin Tuan Lee Tua yang baik butuh pengasuh kuda.

Tuan Kim telah melanglang dunia di masa mudanya. Ia melihat banyak kejadian, mempelajari banyak hal, dan bertemu banyak sekali orang. Ia sudah kenyang dengan pengalaman dan ia, kini, hanya ingin hidup tenang. Ia pikir ia akan hidup sendirian sampai mati nanti,

sampai kemudian, Tuan Hong datang dan ia belum pernah merasa semuda ini.

“Nyonya Hong,” menetapkan hati, Tuan Kim berujar kembali. Kini lebih tenang, lebih tegas dan yakin. “Maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu Anda lebih dari ini akan siapa saya, dari mana asal saya, atau siapa orangtua saya. Sungguh maafkan saya. Andai saya bisa menceritakannya dengan mudah, tentu sudah saya ceritakan pada Anda.

Namun, perlu Anda ketahui bahwa saya bukan pelanggar hukum. Saya tidak memiliki niat buruk pada putra Anda. Saya memang memiliki sedikit harta, tapi ketahuilah, bahwa harta saya itu mungkin akan sirna, karena tidak ada materi yang abadi di dunia.

Saya mungkin bukanlah orang yang memiliki apa-apa dan, mungkin, bukan orang yang bisa selalu membahagiakan putra Anda.”

Tuan Kim tersenyum lembut. Tatapan matanya sungguh hangat.

“Tapi, Nyonya Hong, saya mencintai putra Anda.”

Nyonya Hong menahan napas.

“Saya juga tidak tahu bagaimana, atau mengapa pada putra Anda. Saya...saya belum pernah merasakan ini, Nyonya Hong. Seperti yang Anda ketahui, saya sudah tua. Banyak Omega dan Beta telah datang dan pergi di hidup saya, tapi belum pernah ada yang ingin saya genggam tangannya di sisi saya. Belum ada satupun yang ingin saya kenal lebih dekat. Belum pernah ada Omega maupun Beta yang saya dambakan untuk menghabiskan hidup bersama, selain putra Anda.”

Keretak kayu bakar dalam perapian mengisi relung kesunyian malam itu.

“Mungkin ini terdengar aneh, karena seperti yang kita tahu, ini adalah mitos, tapi, Nyonya Hong,” Tuan Kim memainkan jari-jemarinya dengan gugup. “Saya pertama bertemu putra Anda di balkon di pesta Tuan Lee. Maafkan saya karena baru menceritakannya sekarang. Waktu itu saya iseng mengarah ke balkon, sekadar mencari angin segar dan, ternyata, di situ berdiri putra Anda. Dan, begitu saya bertemu pandang dengannya...

...Nyonya Hong, apakah Anda tahu mengenai Pasangan Jiwa?”

“Oh, Tuan Kim...”

“Maafkan saya jika saya lancang dengan mengatakan ini, tapi, detik itu, seolah...saya menemukan bagian dari diri saya yang hilang selama ini.”

Rasanya aneh, mengatakan itu. Terlalu intim. Terlalu personal. Tapi, Tuan Kim merasa lega, karena memang itulah yang ia rasakan sejak malam pertama mereka berjumpa. Semakin ia memikirkannya, semakin jatuhlah dirinya ke dalam rasa mendamba.

Hati selalu menginginkan apa yang diinginkannya, karena mereka begitu jujur.

“Tapi,” kini, ekspresinya murung. “Saya mengerti. Bila saya memang dinilai tidak pantas, saya akan menerima keputusan Anda—”

“Tuan Kim, anak saya—”

...

“Ya, Nyonya Hong?”

“Anak saya...dia begitu muda. Joshua masih anak-anak.”

Makin beratlah hati Tuan Kim, “Saya mengerti, Nyonya Hong—”

“Anak itu...dia masih anak-anak, tapi hatinya sudah pernah terluka...”

Oh.

“N-Nyonya Hong, maksud Anda...?”

“Anda paham, Tuan Kim?” Nyonya Hong nampak ketakutan. “Anak itu pernah terluka. Dia tahu rasanya terluka. Dia bahkan masih dalam proses menyembuhkan hatinya...

Jadi...jadi kalau Anda menyakiti hatinya yang sudah mulai sembuh ini...saya...saya tidak akan pernah memaafkan diri saya sendiri...”

“Nyonya Hong...”

”...Jadi saya memutuskan,” lanjut wanita itu. “Saya akan memberikan restu saya, tapi sifatnya hanya sementara. Saya akan perhatikan apakah kata-kata Anda hari ini adalah kejujuran atau kebohongan belaka. Jika saya mengetahui bahwa Anda melukai hati maupun fisik anak saya sedikit saja, saya akan membuang restu saya jauh-jauh, dan saya akan datang ke rumah Anda yang megah itu dan membunuh Anda dengan tangan saya sendiri. Itulah janji saya pada Anda.”

Mata Tuan Kim melebar. Terlalu kaget hingga Alpha itu tak bisa berkata-kata, hanya mampu menatap wajah wanita Beta yang duduk tegas di seberangnya, tak sedikitpun ada getir tertoreh di parasnya.

Bukti bahwa Nyonya Hong bersungguh-sungguh akan janjinya.

”...Baik. Saya paham, Nyonya Hong,” Tuan Kim membungkuk hormat. “Saya tidak akan melukai hati dan raga putra Anda. Apabila saya melakukannya, sadar atau tidak, maka nyawa saya akan saya relakan menjadi milik Anda.”

Menyakiti Omega yang ia tunggu seluruh hidupnya? Bermimpi saja ia tidaklah berani.

”...Nyonya Hong?”

Wanita itu, kini puas, akhirnya tersenyum, “Hmm?”

“Suatu hari...entah kapan, tapi suatu hari, akan saya ceritakan semua, pada Anda dan Tuan Hong, siapa sa—”

“Nyeritain apa?”

Refleks, Tuan Kim dan Nyonya Hong memandang ke arah sumber suara. Tuan Hong pun muncul di ambang pintu, sepertinya baru turun dari kamarnya di lantai dua dan menemukan suara obrolan ibunya dengan seorang lelaki di ruang keluarga.