narrative writings of thesunmetmoon

Part 4: 찬성입니다

#jihanmodernroyalty

Jeonghan tadinya lagi bengong, terlalu tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Tapi, saat harum teh menguar lembut dan angin sepoi-sepoi berbau samar garam bertiup menyibak tirai halus di aula utama itu, seketika gundah gulananya pun lenyap. Kepalanya kopong. Dia hanya memandangi Pangeran Jisoo yang sedang menuangkan teh panas ke dua cangkir porselen dengan tenang. Berlatar belakang langit biru jernih dan dedaunan hijau, sang pangeran bagaikan keluar dari lukisan kerajaan.

“Vanilla Bourbon,” lamunan Jeonghan buyar ketika Pangeran Jisoo angkat bicara. “Best matched with scone yang baru matang.” Perlahan, ditaruhnya teko ke piring berlapiskan serbet linen sebelum sebuah pencapit menaruh scone yang dimaksud ke piring saji mungil berwarna biru, selaras dengan set cangkir dan teko tehnya. Motifnya dipenuhi bunga kecil di pinggirannya. “Seset porselen royal Cina. Dari keluarga Xu.” Dia menambahkan krim kental, blok mentega mini dan selai blueberry di sisi piring.

“Cobalah.”

Begitu semua tersaji di depan Jeonghan, hal pertama yang dipikirkannya adalah: dia belom sarapan tadi pagi. Meneguk lidah hingga jakunnya turun-naik, Yoon Jeonghan menangkupkan kedua tangan, berterima kasih atas makanannya dan mulai makan.

Enak.

“Enak,” disuarakannya isi hati. “Tehnya juga enak.”

“Tehnya hadiah dari sepupuku,” Pangeran Jisoo juga meneguk dari cangkirnya sendiri. “Aku suka wanginya, jadi kuminta dia mengirimiku sekotak besar dari sana.”

“Piringnya juga?”

Juga?”

“Hadiah.”

Pangeran Jisoo tersenyum. “Piringnya,” ditaruhnya cangkir ke tatakan. “Adalah permintaan maaf dari keluarga Xu karena lamaran yang diajukan ayahku ditolak.”

Jeonghan mendadak batuk-batuk, hampir kesedak teh.

“Jadi seperti itu kondisiku, Yoon,” masih tersenyum, sang pangeran melanjutkan. “Satu-satunya keluarga yang bisa dijodohkan denganku menolak dan aku nggak mau nikah dengan sepupuku sendiri. You being here is a case of mere luck?”

Dibilang mere luck nggak tuh.

“Dan seperti yang kamu lihat tadi, orangtuaku mau turun takhta secepat mungkin. Berharap aku langsung mengambil alih kerajaan. Mereka, para dewan, penduduk; semua juga mau melihatku menikah. Katanya bakal menstabilkan posisiku. Menstabilkan batinku.”

Pangeran Jisoo memundurkan punggung dan menumpangkan sebelah kakinya ke atas lutut. Cara duduknya santai, namun elegan. Cara duduk seseorang yang tau bahwa dirinya terlahir dengan kekuasaan, tapi nggak berusaha menonjok orang lain di muka dengan fakta itu.

“That's my circumstances. What's yours?”

Yoon Jeonghan juga bersandar pada sofa. Dia juga menumpangkan kakinya ke lutut. Meski begitu, caranya duduk hampir seperti anak mahasiswa tingkat terakhir yang lagi ngaso di kantin pas jam kosong.

(whom, well, he is.)

“Yang Mulia, aku dateng ke sini buat nolak hasil lotere kemarin,” tegas, lurus, apa adanya: ciri khas yang membentuk seseorang bernama Yoon Jeonghan. “Caranya kreatif sih, kuakuin, nggak terduga banget.” Jeonghan meringis, tercermin di paras Pangeran Jisoo. “Tapi aku nggak minat jadi suami Yang Mulia.”

“Hmm. Karena mendadak?”

“Itu,” dia mengangguk sambil menusuk potongan kecil scone. “Dan, menurutku, nikah itu harus ada dasar cinta. Kalo nggak karena cinta, at least harus sama-sama mau ngejalaninnya.” Dikunyahnya dalam jeda sesaat sebelum melanjutkan. “Kalo cuma satu yang mau, yah... nggak akan bisa. Marriage isn't that easy.”

“Itukah kenapa kamu mencoba menjodohkanku dengan temanmu tadi?” tersenyum, sang pangeran menopang dagunya dengan kepalan tangan. Siku bersandar pada lengan sofa.

Ah...,” sweatdrop. Beneran ketahuan kan... “Maaf, harusnya kami nggak ngelakuin itu...” Dia sadar sepenuhnya kalau mencoba menipu seseorang itu nggak pernah baik.

“Malah menarik sih. Kalo kalian berhasil dan temanmu nggak pingsan tadi, sepertinya aku bakal pura-pura kejebak dulu sama rencana kalian,” sang pangeran pun tergelak. Kilau matanya nampak jahil. “Gotta see where that would lead me to~

Yoon Jeonghan mengerjap-ngerjapkan bulu mata. Oh? Pangeran Jisoo rupanya orang yang kayak gini? Well, that's out of his initial assumption...

“Maaf,” Jeonghan menundukkan kepala. “Kami nggak bermaksud apapun selain nyoba peruntungan aja. Siapa tau Yang Mulia bersedia tukar jodoh.”

“Menukar kamu dengan temanmu?”

“Seokmin suka sama Yang Mulia,” dia mendongak, lalu tertawa ringan. “Pas tau aku yang menang lotere, dia ngamuk-ngamuk di telepon. Katanya, 'harusnya itu gue!!' gitu.”

Pangeran Jisoo ikut tertawa. “That's cute,” helanya. “Sayangnya, aku yang milih kamu dari tiga orang berinisial Yoon yang tersisa. Aku tau apa yang kupilih.”

Jeonghan menarik napas.

“Kamu kerja? Kuliah?”

“Kuliah... mau lulus bentar lagi.”

“Oh, wow,” mereka kembali menikmati jamuan di meja. “Udah tau mau kerja di mana?”

Jeonghan menggeleng. “Masih mikir antara balik ke Seoul ato lanjut di sini,” dibukanya tutup tempat gula batu. Satu butir saja cukup baginya. “I like it here. Negara Yang Mulia ini indah. Di Seoul mana bisa kabur jalan-jalan di pinggir pantai jam tiga sore kalo lagi suntuk sama tugas.”

Bisa merasakan sinar matahari yang menyehatkan. Bisa menikmati tiupan angin yang mengacak rambut hitamnya. Bisa menghirup udara segar berbau garam dalam-dalam dan menyadari betapa indahnya dunia ini...

Mendengar ketulusan dalam kata-kata Yoon Jeonghan, Pangeran Jisoo balas tersenyum. Manis sekali.

“Trims,” nggak ada yang lebih menyenangkan hatinya selain pujian akan negara yang dia cintai sepenuh hati. “Aku akan berusaha keras agar negara ini tetap indah pas aku naik takhta nanti.”

Sejenak, kedua lelaki itu saling bertatapan.

“Yoon Jeonghan,” setelah beberapa saat, sang pangeran kembali berbicara. “Apa ada cara supaya kamu mau mempertimbangkan untuk menikah denganku?”

Mata Jeonghan mengerjap lagi.

“Mungkin cinta bukan dasar pernikahan ini. Mungkin juga nggak akan tumbuh di antara kita. Aku juga...bukan benar-benar mencari suami. Yang kucari itu justru partner.”

“Partner?” sebelah alis Jeonghan berkerut.

Hmm. Partner. Sahabat. Sepertinya aku bakal naik takhta jauh lebih cepat dari perkiraanku. Pas aku udah di singgasana, aku bakal butuh teman buat bertukar pikiran. Kamu tau nggak kenapa negara ini bisa terus damai sampai sekarang?”

Perlahan, Jeonghan menggeleng. Pangeran Jisoo pun tersenyum.

“Karena yang jalanin pemerintahan bukan cuma Ayah, tapi juga Ibu,” ucapnya. “Ah, sama Pak Perdana Menteri juga sih. Jangan bilang-bilang kalo aku lupa sama dia tadi.” Telunjuk di depan bibir serta kedipan mata. Jeonghan, mau nggak mau, terkekeh dibuatnya. “Ayah sama Ibu, bagiku, adalah partner terhebat sepanjang hidupku. Aku ingin jadi seperti mereka. Ingin menemukan orang itu. Orang yang bisa bertukar pikiran denganku. Yang mendebatku dan idealismeku, tapi dengan cara yang sehat. Aku mau menjadi raja dengan partner seperti itu.”

“Terus...aku, gitu? Yang Mulia pikir orang itu aku?”

Dia hampir mendengus geli. Absurd. Kocak, pula.

“Nggak tau,” jujur, Pangeran Jisoo menggeleng. “Aku nggak kenal kamu, Yoon Jeonghan. Kamu juga nggak kenal aku. Mungkin kita bisa jadi sahabat baik seumur hidup atau malah membenci satu sama lain.”

Kemudian, Pangeran Jisoo mendekatkan bagian tubuh atasnya, membuat Jeonghan auto agak mundur.

“Satu tahun pernikahan. Trial and error. Kalo kamu tetap nggak mau, kita cerai. Kita nggak harus ngelakuin apapun. Kamu nggak harus ngelakuin apapun. Cukup hidup aja bersamaku di istana ini. Well, at least, jadi temanku? Can't come home to hostility, to be honest,” kekehnya. “In the meantime, selama kita menikah, kamu dapet semua fasilitas yang keluargaku dapet. Kebutuhan hidupmu seperti biaya kuliah, uang saku, atau rumah untuk keluargamu kalo belum ada, nanti kutanggung. Kalo kamu mau, koneksi untuk kerjaanmu juga bisa kubantu.

Cuma perhatiin beberapa hal aja: jangan pakai harta negara sesuka hatimu. Itu separuhnya di bawah yurisdiksi Pak Perdana Menteri. Jangan menyalahgunakan nama keluarga kerajaan. Aku sendiri yang akan menghentikanmu kalau kamu berbuat jahat atas nama keluargaku.”

Pangeran Jisoo menatapnya dengan serius, membuat bulu tengkuk Jeonghan agak berdiri. Namun, kebekuan itu dengan cepat berlalu karena sang pangeran kembali tersenyum.

“Gimana?”

Yoon Jeonghan menghela napas, “Apa nggak mungkin kalo aku tetep nolak pernikahan ini, Yang Mulia?”

“Kamu punya adik?”

Deal.”

Jeonghan mengernyit menatap Pangeran Jisoo. Yang ditatap hanya tersenyum lembut. Meski begitu, Jeonghan menyadari kilatan di bola mata kecoklatan sang pangeran is everything but innocence.

Heh. Rupanya dia bener-bener orang kayak gini...

Aah...,” keluhnya kemudian. “Deal. Deal. Setaun aja kan? Abis setaun, bebas bubar with no hurt feeling? Setaun dapet santunan dari istana, mayan lah.” Dengan cepat dihabiskannya scone, lalu lanjut meneguk tehnya dalam beberapa tegukan besar. “Oh. Tapi, kalo temen-temenku mau maen ke istana nanti, apa boleh, Yang Mulia?”

“Panggil aku Jisoo,” diulurkannya tangan ke arah Yoon Jeonghan. “And, sure, let them come. Istana ini terlalu luas buat kami bertiga. Let's us all be friends.”

Jeonghan meraih uluran tangan itu dan menjabatnya. Tangan yang besar yang menenggelamkan tangannya dalam jabatan tegas itu.

“Yeah,” ringisnya. “Let's.”

This little devil.

It's a deal