Part 45
Bagai badai, kejadian itu mereda seketika. Setelah Tuan Kim menyelesaikan urusannya dengan Dokter Jeon, Alpha itu pun pergi bersama Tuan Kwon dan Tuan Wen. Sungguh pemandangan yang tidak biasa bagi kedua pasangan Beta tersebut, memandangi punggung orang-orang yang berkedudukan tinggi melebur di antara rakyat yang tidak tahu-menahu siapa sebenarnya mereka.
Menjelang tutup toko, Dokter Jeon mengantar pasien terakhirnya ke pintu depan, lalu kembali masuk sambil menghela napas. Keletihan mengonsumsinya setelah seharian bekerja. Saat sadar, suaminya tengah memandanginya, membuat Dokter Jeon menelengkan kepala.
“Myungho?”
Beta itu menundukkan kepala. Dokter Jeon pun mendekat untuk mengelus lembut pipi suaminya.
”...Kau tahu sejak kapan?”
Oh.
“Apa ini soal Tuan Kim?”
Tuan Seo mengangguk.
“Sejak awal?” Dokter Jeon tersenyum tipis. “Kakekku juga dokter dan, kebetulan, merupakan kawan lama Tuan Raja sebelumnya. Terkadang Beliau dipanggil ke istana untuk memeriksa anggota keluarga kerajaan apabila mereka butuh opini kedua, atau sekedar minum teh di kebun dalam pesta kecil-kecilan.
Aku hanya pernah bertemu keluarga kerajaan beberapa kali dan, setelah kakekku wafat, kami benar-benar putus kontak, hingga Tuan Kim yang menemukan toko kita.”
Tuan Seo menyimak dengan tenang. Ia ingat ketika pertama kali Tuan Kim muncul di ambang pintu dan, dengan terbata, bertanya apakah benar ini adalah toko milik Jeon Wonwoo.
“Tuan Kim mengenalmu dari lama?”
“Hmm,” Dokter Jeon mengerutkan alis, mencoba mengingat. “Aku juga tidak begitu ingat lagi, itu sudah lama sekali. Tapi Tuan Kim pernah mengajakku bermain di halaman istana di suatu pesta kecil, bersama Tuan Yoon dan Tuan Raja. Waktu itu kami masih kecil, jadi aku belum begitu paham beda kedudukan kami yang begitu drastis.”
Dokter Jeon terkekeh.
“Kalau diingat-ingat begini, aku hebat juga ya? Pernah bermain petak umpet dengan orang tertinggi di negara?”
Tuan Seo ikut tersenyum. Kemudian, ia menyandarkan kepalanya ke bahu Dokter Jeon, merubah sentuhan di pipi menjadi pelukan yang hangat. Meski Dokter Jeon bukanlah seorang Alpha, Tuan Seo selalu merasa pelukan suaminya itulah yang paling hangat, paling menentramkan baginya. Seseorang yang telah bersumpah untuk menyayanginya selamanya.
Menanggapi suaminya yang mendadak bermanja-manja, Dokter Jeon tersenyum makin lebar. Hanya di hadapan suaminya lah, sifat lembutnya setia mencuat. Dokter itu tidak terkenal sebagai orang yang murah senyum, bahkan pada pasiennya sendiri. Bahkan pada Tuan Kim, ia lebih sering bermuka galak, apalagi bila Alpha itu tidak jua menuruti sarannya.
“Tuan Kim,” Dokter Jeon bergumam ke kepala suaminya. “Telah menemukan Omeganya.”
Seketika, Tuan Seo menyentakkan napas, lalu perlahan mendongak untuk menatap mata suaminya.
“Tuan Hong,” lanjut Dokter Jeon.
“Oh,” tentu saja Tuan Seo mengenalnya. Siapa yang tidak? Bila seluruh kota membicarakan Omega itu ketika keluarga Hong baru pindah ke sini. “Rumor itu.”
Dokter Jeon mengangguk.
“Sepertinya Tuan Kim sudah meminta ijin untuk mendekatinya,” jelasnya. “Terakhir Tuan Kim datang ke rumah kita, dia bilang padaku bahwa dia tidak berani, karena Tuan Hong masih terlalu muda.”
“Ooh...”
“Dia juga bertanya padaku kenapa aku menikahimu.”
Tuan Seo nampak terkejut.
“Dia bilang, apa aku tidak merasa berdosa karena sudah memutus sayapmu yang masih belia dengan ikatan pernikahan.”
“Tapi...,” Tuan Seo mengerjapkan mata. “...kan aku yang memintamu menikahiku? Kenapa jadi kau yang merasa berdosa?”
Dokter Jeon tertawa, “Itu juga yang kubilang padanya.”
Mereka diam untuk beberapa saat, saling jatuh dalam sorot mata yang hanya bisa dibagi antara dua orang yang menikah murni atas cinta.
“Myungho,” bisik Dokter Jeon. “Kau...tidak menyesal menikah denganku kan?”
“Wonwoo,” bisiknya balik. “Aku tidak akan mengambil jalan hidup bersama denganmu bila aku akan menyesal pada akhirnya.”
Kemudian, Tuan Seo memajukan kepala dan mengecup bibir suaminya. Manis dan lembut, seperti hubungan mereka berdua. Dokter Jeon tipe yang mengalah untuk orang yang ia sayang dan Tuan Seo adalah tipe penengah. Ketika mereka membangun rumah tangga, setiap konflik mereka coba selesaikan dengan pembicaraan dari hati ke hati. Kencan mereka seminggu sekali adalah menghabiskan waktu dengan membaca di perpustakaan kota hingga larut malam dan itu sudah cukup bagi mereka. Sebuah rumah yang tidak banyak gelombang yang menjadi dambaan mereka berdua.
“Oh ya, tadi Tuan Wen menanyakan hal yang aneh padaku.”
Alis Dokter Jeon berkerut, “Menanyakan apa?”
“Dia tanya apa aku atau keluargaku ada darah dari negara di Timur Jauh,” Tuan Seo mencoba mengingat-ingat apa tepatnya ucapan Tuan Wen di konter tadi saat menebus obat. “Katanya, aku seperti orang-orang di negaranya.”
“Oh? Tapi kau kan lahir di sini?”
“Umm,” Tuan Seo mengangguk membenarkan suaminya. “Kubilang begitu juga padanya. Aku lahir dan besar di sini. Aku kurang tahu soal leluhurku. Terus dia tertawa dan bilang, kalau di Timur Jauh, namaku dibacanya Xu Minghao.”
“Minghao...”
“Wen Junhui memang terdengar seperti nama asing...,” Tuan Seo merenung. “Sama seperti nama Tuan Hong. Kudengar namanya Joshua? Mungkin memang Tuan Wen berasal dari Timur Jauh sana—”
Kata-kata Tuan Seo terpotong oleh ciuman suaminya kali ini.
”...Wonwoo?”
“Hmm,” Dokter Jeon mencium bibir itu lagi. “Bagaimana kalau kita tutup lebih cepat hari ini, Sayang?”
Dengan pipi merah merona, Tuan Seo menggembungkan pipi.
“Oh, kau ini...,” keluhnya.
Tapi tentu saja, ia takkan menolak menghabiskan waktu berharga bersama suami tercintanya ❤️