Part 60
Ketika Tuan Kim sampai di istana, Tuan Kwon dan Tuan Wen telah berada di situ. Meski terhenyak, sang Alpha dengan cepat mengendalikan diri. Ia menyapa mereka berdua, yang dibalas dengan santai.
“Ini,” Tuan Kwon menyerahkan amplop lain ke Tuan Raja. Omeganya, Tuan Yoon, duduk di sofa di sebelah Tuan Kim, dalam diam memerhatikan pertemuan siang itu. “Surat dari Channie. Aku lupa masukin pas kasih surat ke Kim, jadi aku bawain aja langsung ke Kak Cheol.”
Tuan Raja menerimanya, lalu membuka dan membacanya. Isinya menerangkan bahwa rencana mereka berdua benar adanya dan bahwa Alpha itu dan calon suaminya telah setuju akan menyerahkan posisi raja pada kakak Omeganya, Kwon Soonyoung, apabila raja sekarang turun takhta atau mangkat. Surat itu disertai tanda tangan Chan dan tunangannya, juga distempel cap resmi kerajaan.
Tuan Raja, begitu selesai membaca, mendongak menatap Tuan Kwon.
“Apakah itu benar,” tanyanya. “Kabar di koran pagi ini?”
Rahang Tuan Kim agak menegang.
“Maksud Kakak, apa benar kabar bahwa si Tua Bangka itu mau mati?” seringai Tuan Kwon tidak seperti seorang anak yang tengah membicarakan ayah kandungnya sendiri. Tuan Kim agak menggigil dibuatnya. Tuan Kwon menghela napas. “Bisa dibilang begitu. Yang pasti, dia udah nggak sesehat dulu lagi.”
Menyaksikan kerutan di kening Tuan Raja yang menandakan Beliau tengah berpikir, Tuan Kwon memajukan tubuhnya.
“Kalau Kakak menyetujui proposalku, akan kuberitahu satu rahasia yang bisa Kakak pakai untuk menghancurkan kerajaanku, kalau Kakak menghendaki.”
Mendengar itu, tentu semua orang di sana terkejut, kecuali Tuan Wen. Beta yang duduk di sebelah Tuan Kwon itu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Tuan Kwon pun menggenggam balik.
“Kenapa?” Tuan Yoon menyela sebelum yang lain bisa bereaksi. “Bila Cheollie bisa memakainya untuk menghancurkan kerajaanmu, berarti itu rahasia besar. Apa untungnya bagimu memberikan rahasia itu pada negara musuh?”
Tuan Kim, diam-diam, mengamini. Tidak masuk akal, karena tujuan proposal Tuan Kwon adalah membantunya menjadi raja. Untuk apa menjadi raja di negara yang bisa dihancurkan dengan mudah dengan sebuah rahasia? Baik Tuan Raja maupun Tuan Kim berdiam diri dan menunggu.
Tuan Kwon, mendengar itu, tersenyum lebar.
“Mungkin aku kurang jelas dalam memberikan konteks permintaanku kemarin,” katanya. “Aku ingin Kakak membantuku menjadi raja, karena aku nggak mau negara itu dipimpin oleh Alpha lagi.“
Hening.
“Terus terang, walau bukan aku yang jadi raja, atau Kakak mau datang dan menghancurkan kerajaanku, aku nggak peduli. Aku mau strata sosial yang diusung di negara itu jadi hancur lebur. Musnah. Aku mau—”
Tenggorokan Tuan Kwon tercekat. Tuan Wen menggeser duduknya agar bisa merangkul pundak suaminya.
“Anak ini,” Tuan Kwon menyentuh perutnya. “Aku mau anak ini tumbuh di dunia dimana ibunya dihormati. Aku mau anak ini tumbuh dimana ayahnya nggak dicemooh karena cuma Beta. Kalau dunia itu di negaraku, maka aku akan kembali ke sana dan merubahnya demi anak ini.
Dan, kalau Kakak mau menghancurkannya dan menjadikannya milik Kakak, aku hanya minta agar aku, Jun, anak-anak kami, Chan, Jihoon, dan anak-anak mereka, diijinkan tinggal dengan damai di negara ini.”
“Dan dariku,” Tuan Wen mendadak angkat bicara. “Aku memang hanya anak keempat dari sebelas bersaudara, tapi aku bisa mempersuasi Kakak Tertuaku untuk membuka jalur kerjasama ekonomi dengan negara Anda nanti. Kakakku sering berkata kalau pemikiran mendiang Ayah terlalu kolot dan Ibu kurang berani.”
“Jujur, kami kurang tahu situasi kerajaan di negara Anda,” aku Tuan Kim. “Negara Anda begitu jauh dari sini dan negara Tuan Kwon, pun menerapkan politik isolasi. Informan kami kesulitan mendapatkan kabar apapun...”
Tuan Wen lalu menjelaskan sedikit, “Ayahku wafat tahun lalu, jadi Ibu yang sekarang memegang pemerintahan. Untuk sementara, sampai Kakak Tertuaku mengambil alih musim panas nanti. Di negara kami, apabila Kaisar wafat, maka Permaisurinya yang akan menerima takhta, dan setelah satu tahun, bisa mengalihkan takhta tersebut ke anak sah paling tua.”
Tuan Kim mengangguk-angguk. Ini pertama kalinya ia mendapatkan penjelasan mengenai kekaisaran Timur Jauh, sebuah negara yang bagai cerita antah berantah saking begitu sedikitnya saksi mata hidup yang bisa menuliskan catatan perjalanan dan membagikannya ke seluruh dunia. Bagai kerajaan dongeng.
“Negara kami nggak memedulikan gender kedua, karena status darah dianggap lebih penting dari itu, beda dengan negara Soonie. Di rumah, Ibuku Omega. Kakak Tertuaku Beta, sama sepertiku. Di negara kami, meski Anda terlahir Alpha, kalau lahir di keluarga petani, ya tetap saja anak petani. Kalau lahir sebagai Omega tapi anak Kaisar, ya tetap anak Kaisar.”
Tuan Kim pun takjub. “Apa...para Alpha di negara Anda tidak memberontak?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. “Maksud saya, Alpha secara instingtif ingin dirinya 'lebih' daripada gender kedua lainnya. Apa mereka menurut saja dan menerima dirinya sebagai petani?”
Dengan santai, Beta itu mengangkat bahu. “Aku yakin sih ada saja yang nggak puas begitu,” selorohnya. “Tapi menghormati darah di atas gender kedua sudah mendarah daging sejak negara dan kekaisaran didirikan. Pun jika mereka memberontak, para prajurit kekaisaran akan menangkap mereka untuk menyadarkan bahwa kehendak leluhur harus dihormati.”
Tuan Wen diam sejenak.
“Hukum kami nggak terkenal lembek meski pada Alpha sekalipun, jika itu maksud Anda, Tuan Kim. Pada akhirnya, seleksi alam yang akan menentukan, entah mereka berusaha keluar dari negara kami atau mati.”
Meresapi informasi menyeluruh barusan, Tuan Raja, Tuan Yoon dan Tuan Kim tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Tuan Kwon dan Tuan Wen pun diam, menanti keputusan akan proposal mereka.
“Kak Cheol.”
Tuan Raja menoleh ke arah Tuan Kwon, menatapnya tepat di mata.
“Maaf, karena aku buronan dan dari negara musuh, jadi ngerepotin Kakak,” ucapnya perlahan. “Jadi ngerepotin Kak Jeonghan sama Kim juga. Tapi, Kak—
Aku ngajuin proposal ini karena aku mau mengandung anak ini dengan aman. Aku mau anak ini lahir di lingkungan yang nggak langsung mau menguburnya hidup-hidup. Kalau aku tetap di negaraku, aku yakin dia cuma punya satu menit menghirup napas sebelum orang suruhan si Tua Bangka itu mencekiknya sampai mati.”
Tuan Kwon menelan ludah.
“Aku cuma minta perlindungan Kakak sampai anak ini lahir. Setelahnya, aku dan Jun bakal balik ke sana dan bertemu Channie buat ngejalanin rencana kami.
Aku tau ini riskan buat Kakak. Riskan karena Kakak ngebantu pelarian dari negara musuh dan menyembunyikannya. Kakak nggak tau aku bohong ato enggak. Bisa jadi aku mengkhianati Kakak pas pulang nanti. Dari segi manapun, itu semua berbau masalah.”
Tuan Raja tetap diam, tidak berkomentar apapun, membiarkan Tuan Kwon mencurahkan isi hatinya.
“Tapi, Kak, aku mau anak ini hidup lebih lama dari satu menit di dunia.”
“Soonie...”
“Kalo boleh jujur, aku kecewa pas Kakak ngebatalin pertunangan kita,” kekehnya. “Aku suka Kakak, sebagai Alpha dan sebagai manusia. Bisa dibilang aku sedikit jatuh cinta sama Kakak, selain sebagai harapan untuk tinggal di negara ini dan lepas dari menara terkutuk itu. Aku nggak cinta orang ini, awalnya, mikir, 'siapa aja boleh asal aku bisa pergi dari sini.'”
Ia menunjuk Tuan Wen dengan ibu jarinya sambil tersenyum miris.
“Orang ini sama kayak aku, Kak. Dia sama kotornya kayak aku. Tapi, cuma dia yang mencintai orang sejelek aku. Dan cuma aku yang mencintai orang sejelek dia. Makanya,” Tuan Kwon memandang suaminya. “Aku mau ngelahirin anak dia.”
Tuan Wen balas menatap, lalu, tanpa menahan diri, ia memajukan wajah dan mencium bibir suaminya. Mereka berciuman agak lama, seolah lupa bahwa mereka tidak sendirian di sana. Ciuman itu hanya lepas setelah Tuan Raja berdeham kencang. Bibir Tuan Yoon membentuk huruf 'O', sementara Tuan Kim merona seluruh wajahnya.
“Baiklah. Aku sudah mendengar seluruh alasanmu dan menerima bukti-bukti darimu dan Tuan Wen. Aku akan mempertimbangkannya baik-baik,” sahut sang raja. “Setelah kau memberitahukan apa rahasia itu.”
Tuan Raja memasang wajah seriusnya.
“Perlu kau ingat, Soonyoung, aku memiliki hak untuk menggunakan rahasia yang akan kau sampaikan ini untuk menentukan apakah aku akan membantumu, menolakmu, menggunakannya untuk mengambil alih negaramu, atau hal lainnya.”
Dengan cepat, kepala Tuan Kim tertoleh. Alpha itu kaget karena ia tidak mengira kakaknya akan berkata begitu, namun ia perlahan mengalihkan pandangan ke Tuan Kwon lagi, meyakini bahwa kakaknya sedang menjalankan perannya sebagai seorang raja sekarang.
Tuan Kwon mengangguk, lalu membuka mulut.
“Sebenarnya, aku—”