narrative writings of thesunmetmoon

Part 61

#gyushuaabo

“Surat.”

Chan melirik dari bukunya ke selembar amplop di tangan tunangannya.

“Dari Soon.”

Selepas mendengar itu, bola matanya melebar. Segera disambarnya dan dibuka. Matanya berjalan dari satu kata ke kata berikutnya, menelan semua tulisan tangan kakaknya yang terkenal tidak rapi.

Jihoon duduk di sebelahnya dalam diam, tidak mengintip maupun mengganggu, membiarkan Chan membaca kabar terbaru dari sang pangeran Omega. Alpha itu mengangkat cangkir teh dari tatakan yang sedang dinikmatinya sebelum kepakan sayap merpati terdengar dari ambang jendela ruang bersantai mereka. Metode kuno, mengingat teknologi di negara mereka lebih maju dari negara lainnya. Mungkin hanya itu yang bisa digunakan Soonyoung dengan segala keterbatasannya di negara musuh.

Krrskk.

Surat kemudian menjadi gumpalan, lalu menjadi abu di dalam mangkuk. Geretan otomatis menjalankan tugasnya setiap ada korespondensi antara kedua kakak-beradik tersebut, karena dinding istana selalu bertelinga. Setelah abu itu menjadi satu dengan sampah lainnya, Jihoon akhirnya angkat bicara.

“Gimana?”

Decakan, lalu Chan menatap tunangannya itu. “Kalo Kak Cheol datang dan mengambil alih negara ini, maukah kamu tetap menikah denganku?” tanyanya tanpa basa-basi.

Tentu Jihoon kaget mendengarnya. Bibirnya merapat menjadi garis horizontal. Tidak ada tanda nyata bahwa Alpha itu terkejut, kecuali mata yang melebar sedikit. Tapi, Chan terlalu mengenal tunangannya untuk tidak menyadari gestur tersebut. Bagaimanapun, mereka telah ditunangkan sejak bayi oleh kedua ayah mereka dan Chan menerima pertunangan itu sepenuh hati sejak ia bertemu Jihoon di usia kelima.

“Choi Seungcheol?” tanyanya, lebih ke arah ragu. “Maksudmu, Choi Seungcheol yang itu? Dia terlalu lembek buat matiin seekor lalat. Dia nggak akan berani.”

“Apa itu dari observasi kamu?”

Jihoon mengangguk, membuat Chan terkekeh.

“Kamu nggak kenal Kak Cheol kayak aku dan Soonie.”

Alis sang Alpha yang lebih tua 3 tahun darinya itu pun mengernyit. Jelas tidak suka pernyataan barusan.

“Maksud kamu?” ketusnya.

“Maksudku,” Chan merebahkan punggung ke sandaran kursi. Kedua lengannya terlipat. Ia pun mendongak memandang langit-langit. “Kak Cheol mampu dan akan melakukannya, kalau dia benar-benar ingin.”

“Yakin banget,” dengus sang Alpha.

“Yakin,” Chan membenarkan. “Aku sama Soonie yakin seyakin-yakinnya. Kak Cheol orang yang kayak gitu.”

Kernyitan di wajah Jihoon makin dalam. Tidak mengenakkan, mendengar kemungkinan negara tempatmu tinggal diserahkan ke negara lain. Terus terang, dirinya tidak masalah kalau Soon yang naik menjadi raja. Ia menyukai Soon sebagai kakak calon suaminya dan paham betul mengapa keputusan tersebut diambil oleh Chan. Tapi menyerahkan negara ke tangan Choi Seungcheol adalah hal yang berbeda.

“Kamu nggak rela?”

Jihoon berkedip. Seperti biasa, Chan bisa memahaminya dengan cepat.

“Kalo aku, aku bakal serahin ke Kak Cheol secepatnya, kalo dia mau,” kini, mereka saling bertatapan. “Aku bakal nyerahin semua keputusan ke Soonie. Dia mau perbaikin negara ini atau mau ngehancurinnya, aku nggak peduli. Udah cukup aku ngelihat keluargaku sendiri menderita. Semua ini harus berakhir, gimanapun caranya.”

Di sini duduk dua orang Alpha yang membicarakan keterpurukan hierarki sosial di negara mereka.

“Kamu nggak perlu milih jalan yang sama kayak aku. Kamu nggak perlu bersama denganku. Kamu nggak perlu terlibat dalam semua ini,” suaranya memelan. “Pertunangan ini masih bisa kamu putusin. Kita sama-sama Alpha, bukan Alpha dan Omega. Secara gender, kita nggak saling terikat. Dan, secara legalitas, sebentar lagi juga bakal lepas.

Aku mau menikahimu karena aku mau menikahi kamu. Tapi, di atas perasaanku, aku lebih peduli untuk menghormatimu. Kalo kamu ngerasa pernikahan kita nanti bukan lagi sesuatu yang kamu mau—”

Jihoon menutup mulut Chan dengan menaruh keningnya di kening Chan, seketika memutuskan celotehannya. Kedua Alpha saling memandang ke mata masing-masing. Dengan cara ini, Jihoon sanggup melihat bagaimana takutnya Alpha itu akan kata-katanya sendiri. Bibir bawahnya gemetar. Hembus napasnya agak tidak teratur.

Ia tidak mengenal Chan setahun-dua tahun lamanya. Seperti halnya Chan yang menerima pertunangan mereka di usia muda, ia pun begitu. Kakek mereka bersaudara, sehingga ayah mereka adalah sepupu pertama. Mereka, dua orang Alpha yang ditunangkan ayah mereka demi menjaga kemurnian darah dan lini Alpha kerajaan, jatuh dalam kisah malang keegoisan anggota keluarga kerajaan yang menggunakan anak-anak mereka sebagai pion. Setiap pernikahan adalah strategi politik. Mereka tumbuh dengan ajaran serupa, bahwa calon pengantin yang ditetapkan bagi mereka adalah yang terbaik bagi kekuasaan orangtua mereka. Jihoon dan Chan tahu, paham, pun mengamini pentingnya pernikahan politik.

Namun, cinta tidak ambil pusing akan itu semua. Ia akan menyelinap dan tumbuh di dalam dada mereka yang menghendakinya.

“Kamu selalu begitu, naroh kalimat di lidahku.”

Chan hanya diam.

“Tutup matamu.”

Ia menurut.

“Aku mencintaimu. Kamu mencintaiku,” itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan. “Gender. Kesepakatan. Status sosial. Persetan semua itu.”

Mendengar itu, Chan mendengus geli dan Jihoon tersenyum.

“Kalo kamu jadi raja, aku bakal duduk di sampingmu, mendampingimu. Kalo Soon jadi raja, aku bakal duduk di sampingmu, mendampingimu,” dielusnya pipi Chan. “Kalo Choi Seungcheol jadi raja, aku bakal duduk di sampingmu, mendampingimu.”

Kelopak mata Chan perlahan membuka.

“Gimana menurut kamu, nama Lee Chan kedengaran lebih keren kan?”

Senyuman pun merekah untuk dibagi antara kedua insan.

“Kamu tetep mau aku pake nama keluarga kamu ya,” tawanya.

“Iya lah. Lee Chan keren kan? Lee Jihoon. Lee Chan. Biarin Kwon tetep Kwon di tangan Soon.”

Memberikan tampuk kekuasaan. Menikahi Jihoon. Mengganti namanya menjadi nama keluarga Jihoon untuk mengubur masa lalunya. Lalu, hidup damai di pinggir kota dengan anak-anak mereka...

Sebuah masa depan dambaannya dengan Alphanya.

Alpha satu-satunya.