narrative writings of thesunmetmoon

Part 71

#gyushuaabo

🌼 Bulan Mei

Dua minggu lagi berlalu. Musim semi telah sampai di penghujung akhir, mempersiapkan jalan bagi musim panas untuk bersiap memancarkan semangatnya. Sebentar lagi, suhu udara akan meningkat, panas dan lembab. Nyanyian tonggeret akan terdengar nyaring di batang-batang pohon, sementara bunga matahari di taman para warga akan tumbuh tinggi dengan penuh kebanggaan. Anak-anak muda lajang akan melompat dari satu acara ke acara lain, menghadiri segala pertemuan sosial dalam usaha mereka mencari jodoh.

Musim panas yang penuh dengan gairah hidup.

Musim bercinta secara harfiah.

Undangan datang dan pergi. Beberapa Tuan Kim simpan untuk dibalasnya nanti. Banyak yang ia tolak dengan sopan: sebuah surat balasan menyatakan keberatan hatinya karena tidak dapat menghadiri acara yang diadakan sang tuan rumah. Tentu saja, undangan dari istana akan selalu ia kedepankan.

Yang membuatnya teringat, kakaknya belum jua mengirimi undangan pertemuan di musim panas. Apakah mungkin ia sedang sibuk mempersiapkan pesta pernikahannya?

“Tuan.”

Sang Alpha tengah mencelupkan ujung pena goresnya ke botol tinta ketika kepala pelayannya datang.

“Anda kedatangan tamu.”

Kedua alis Tuan Kim terangkat. Sebuah lirikan ke jam kayu di dinding memberitahunya bahwa hari sudah terlalu petang untuk berkunjung tanpa diundang. Jujur saja, ia tidak dalam kondisi mental terbaik akhir-akhir ini. Semenjak peristiwa yang melibatkan dirinya dan Tuan Hong, Tuan Kim memilih mengunci diri dalam rumah dan keluar seadanya, sambil berhati-hati tidak bertemu sang Omega di jalan. Sang Alpha masih merasa bersalah oleh kejadian tersebut dan, sampai detik ini, belum berani bertamu ke rumah keluarga Hong. Bagaimanapun, ia sudah mempertontonkan jelek-jeleknya di hari naas itu hingga ia tidak yakin apakah keluarga Hong masih sudi menerima kedatangannya.

Dengan ia bersembunyi, ia mengulur sesuatu yang, mungkin, berakhir tidak mengenakkan. Ya, ia memang pengecut seperti itu. Usaha terakhirnya agar tidak kehilangan Omeganya, meski hanya sehari saja.

Tuan Kim kembali berkutat dengan surat yang sedang ditulisnya.

“Apakah saya mengenal tamu itu, Tuan Park?”

—saya akan senang sekali bila diperkenankan menemani Anda dan keluarga untuk menonton pacuan kuda di musim panas minggu ketiga—

“Saya rasa begitu, Tuan.”

Tuan Kim bergumam tanpa banyak berpikir.

—sesuai undangan Anda, saya akan datang ke arena pacuan sebelum matahari mulai naik ke—

“Tuan dan Nyonya Hong yang datang mencari Anda, Tuan, dan telah saya antarkan ke ruang tamu.”

—ubun-ubun—

Noda tinta melebar dengan cepat di kertas karena ia menekan penanya terlalu kuat secara mendadak. Surat balasan itu hancur sudah, namun tidak begitu ceritanya dengan hati Sang Alpha. Melambung di dalam dada, sesaat, sebelum dipatahkan oleh keraguan dan rasa takut.

Bagaimana jika keluarga Hong datang untuk memintanya tidak mendekati sang Omega lagi? Bagaimana kalau ternyata mereka tahu bahwa estrus Tuan Hong adalah kesalahannya?

Peluh. Dingin mengalir pada tengkuknya.

“Tuan?” kepala pelayannya nampak kebingungan, karena biasanya sang Alpha akan semangat menyambut kedatangan tamunya, terlebih Omeganya sendiri. Atau...Tuan Kim sedang tidak enak badan? “Apakah...saya seharusnya menolak—”

“Tidak,” dengan cepat ia menyanggah. Tentu tidak benar bahwa Tuan Park sebaiknya menolak kedatangan mereka. Tidak. Menolak Omeganya yang begitu indah... Tuan Kim tidak sanggup membayangkan wajah sedih kekasih hatinya.

Benar. Meski ia takut, ia tidak boleh membuat Omega terkasihnya sedih. Ia tidak ingin menjadi alasan Tuan Hong merasa sedih.

(Lagipula, jika ditolak kedatangannya, Tuan Hong lebih mungkin mengamuk dan memaksa masuk, lalu dalam waktu singkat sudah menggedor pintunya sambil menyerukan nama sang Alpha, menyuruhnya keluar—kekasih hatinya tidak selemah itu, tapi cinta memang membuat manusia buta.)

”...Baik. Saya mengerti. Terima kasih Tuan Park,” ucap Tuan Kim kemudian. “Saya akan menemui mereka. Tolong meja kerja saya ini dibiarkan saja. Saya akan melanjutkan membalas undangan setelah ini.”

“Baik, Tuan. Apakah Anda ingin teh atau kue tertentu?”

“Apakah Nyonya dan Tuan Hong sudah disuguhkan sesuatu?”

“Teh bunga mawar untuk Nyonya Hong. Juru masak hari ini memanggang kue lemon dengan taburan gula halus di atasnya, jadi saya menyuguhkannya. Tuan Hong meminta kopi.”

“Kopi?” Tuan Kim mempertimbangkan sejenak. “Baiklah. Saya juga minta kopi. Tolong disiapkan beberapa kue kecil sebagai teman minum kopi.”

“Baik, Tuan. Apa Anda ada preferensi kue?”

Tuan Kim tersenyum.

“Apa saja boleh. Ah, tapi, tolong,” ucapnya. “Berikan kami kue jahe juga.”