narrative writings of thesunmetmoon

Part 72

#gyushuaabo

Joshua dan ibunya duduk di seberang Mingyu. Padahal sudah biasa mereka lakukan sebelumnya, malam-malam santai di depan perapian hangat keluarga Hong, tapi kali ini rasanya agak...canggung.

Ibunya menaruh cangkir keramik ke tatakan, menunggu sang Alpha selesai menyesap kopinya sebelum dia memanggilnya.

“Tuan Kim.”

Rahang sang Alpha menegang. Diletakannya cangkir kopi dengan hati-hati. Diam-diam, Joshua merasa getir.

“Ya, Nyonya Hong?” senyum Mingyu dipaksakan. Rasanya pingin dia seka dengan lengan bajunya saja. Senyuman seperti itu...nggak cocok berada di wajah tampan Alphanya.

Mengejutkan mereka semua (yes, termasuk Joshua), ibunya berdiri lalu hendak bersimpuh. Meski kaget bukan kepalang, Mingyu langsung beranjak dari duduk. Tangannya memegangi bahu ibu anak itu, menahannya agar berhenti seketika itu juga.

“Nyonya? Apa-apaan??”

“Oh, Tuan Kim, biarkan saya...,” ujar ibunya. “Saya harus berterima kasih pada Anda karena sudah melindungi Joshua...”

“Apa maksud Anda...?”

“Anda tidak menggigitnya...,” hela wanita itu. “Anda tidak menggigit putra saya...”

“Ma...”

“Bagaimana saya harus berterima kasih...”

Joshua memetakan pandangannya pada Mingyu. Sang Alpha diam saja, seperti bingung harus berkata apa. Fakta ini membuat Joshua mengerutkan alis. Nggak biasanya Alpha itu susah mengeluarkan kata-kata.

(Dia bahkan bisa mengatakan cinta pada anak semudanya..)

“Mingyu.”

Mendengar panggilan tegas barusan, sang Alpha mengerjapkan mata beberapa kali seolah Joshua membuyarkan lamunannya.

“Kenapa?” anak itu berdiri juga dari duduk dan mendekati Alphanya. “Kok kamu aneh?”

“S-saya-”

Satu tangannya terangkat, menemukan pipi sang Alpha dan menangkupnya lembut.

“Mingyu. Ada apa?”

Mata Alphanya seperti anak anjing yang memelas karena sudah berbuat salah. Joshua antara pingin menduselnya gemas atau membentaknya galak agar segera menceritakan apa yang sedari tadi ditahannya.

”......Sebenarnya, itu salah saya.”

Nggak yakin paham, anak itu menelengkan kepala. Gestur bertanya, juga menyuruh Mingyu bercerita lebih lanjut.

“Anda masuk estrus...adalah salah saya,” sang Alpha menunduk. Penyesalan nampak jelas pada parasnya. “Sebenarnya hari itu hari terakhir masa estrus saya. Seharusnya saya tidak keluar rumah, tapi ada sedikit urusan penting...”


“Kim.”

“Tuan Yoon?”

“Bisakah kau kemari? Cheol ingin berbicara denganmu.”

“Oh... Hmm, soal apakah, kalau saya boleh tahu?”

“Ini mengenai si merah dari negeri jauh.”

“Oh.”

“Cheol ingin tanya pendapatmu.”

”...Baiklah. Saya akan ke sana.”


”...dan sepulang dari urusan penting itu, saya tidak sengaja bertemu Anda. Padahal saya tahu saya masih memiliki sisa feromon estrus dan saya tahu dampaknya pada Omega, tapi saya...saya malah menyapa Anda dan—”

Ucapannya terputus di situ. Nggak cukup bagi Kim Mingyu menyesali dirinya sendiri selama dua minggu ke belakang. Nggak cukup permintaan maafnya semata, tapi...

“Maafkan saya. Saya mohon, Nyonya Hong, jangan berterima kasih pada saya. Kejadian itu karena salah saya...”

Joshua menelaah barang satu-dua detik sebelum bergumam, “Ooh...jadi kamu kemarin itu beda banget karena masih estrus ya? Pantesan aja. Kayak ngomong sama orang lain lho.”

Kini giliran Mingyu yang terkejut. Joshua, sambil ketawa santai, malah menepuk-nepuk ringan pipi Alphanya.

“Asal kamu tau aja. Aku emang udah dijadwalin masuk estrus di minggu pas kita ketemu itu. Aku tuh baru dari Dokter Jeon. Dia bilang kalo estrusku bakal dimulai minggu itu ato minggu depan.

Eh kamu nongol.”

Sang Omega pun meringis.

“Makanya, bukan salah kamu kok. Kebetulan aja aku emang mau masuk masa estrus dan kebetulan aja kamu baru kelar masa estrusnya. Terus kita ketemu deh di jalan,” jelasnya. “Jadi, udah ya? Jangan pasang tampang kayak gini lagi ah, nanti gantengnya kena diskon.”

Tepuk-tepuk. Tepuk-tepuk.

“Mingyu?”

“Anda pikir saya—”

“Hmm?” Joshua memajukan wajahnya. “Nggak kedengaran. Apa tadi?”

Sang Alpha menunduk. Wajahnya seranum tomat.

“—eh, Anda pikir saya-emm-ganteng?”

Spontan, Joshua ketawa.

“Oke, aku nggak mau jawab pertanyaan yang jelas-jelas mancing pujian macem itu,” selorohnya. “Ngomong-ngomong, kamu nggak dateng-dateng ke rumah cuma karena itu? Karena kamu pikir aku masuk estrus karena kamu?”

Ragu, sang Alpha mengangguk.

“Kenapa kamu nyimpulin apa-apa sendirian sih...,” keluhnya.

Kemudian, Joshua melipat lengan di dada.

“Oke. Kim Mingyu. Kamu masih mau jadi Alphaku?”

Sang Alpha memandanginya heran.

“Jawab.”

“Baik! Eh, masih—”

“Kalo gitu, mulai sekarang, aku mau kamu nggak lari dariku lagi,” dia menatap Alphanya dengan serius. “Kamu yang nyetop aku dari lari lagi. Aku berhenti lari karena kamu. Jadi, aku mau kamu juga nggak lari dariku.”

“Joshua...”

”...Aku pikir kamu tuh nggak mau dateng lagi ke rumah karena aku berbuat aneh pas itu. Aku...nggak ingat apapun setelah kita ketemu dan aku masuk estrus. Jadi, apa yang aku lakuin, aku nggak tau sama sekali. Aku baru ingat lagi pas hari ketiga, pas estrusku mulai reda. Kayak...ingatanku hilang di hari-hari itu. Mama yang cerita kalo kamu gendong aku lari ke rumah dan...lengan kamu...”

Fokus mereka berdua jatuh ke luka bekas gigitan di lengan yang dimaksud. Meski sudah mulai pulih, ada parut sedikit karena Kim Mingyu nggak hanya menggigit, tapi juga hampir merobeknya.

“Ah,” buru-buru, Mingyu menjelaskan. “Tidak apa. Ini bukan karena Anda. Ini sepenuhnya akibat ulah saya sendiri...”

“Mmm...,” tangan-tangan Joshua yang besar mengelus lengan itu. “Tapi aku tetap mau minta maaf... Estrusku datang, terus kamu juga harus menahan sampai luka begini...”

“Saya tidak mau Anda minta maaf. Harusnya saya yang—”

“Aku juga nggak mau kamu minta maaf,” sanggah sang Omega dengan cepat. “Yaudah. Kalo gitu, daripada kita saling minta maaf, kita saling berterima kasih aja.”

Mereka terdiam. Kemudian, Joshua mendengus geli, membuat Mingyu ikut tersenyum lega.

“Terima kasih. Kamu udah nolong aku dari masuk estrus di tengah jalan,” tangan Joshua menemukan tangan Mingyu untuk digenggamnya. “Terima kasih karena kamu udah nganterin aku pulang pas itu.”

Sang Alpha, meski ragu di awal, namun jari-jemarinya dengan tegas menyelot di sela-sela jemari Joshua, membuat debaran jantung si anak mencepat.

“Dan saya berterima kasih karena Anda menjadi yang berani di antara kita. Datang ke sini, lalu memberikan saya kesempatan untuk menjelaskan,” bisik sang Alpha. Dia mengangkat tangan Joshua dan mengecup punggung tangannya. Saat melihat pipi Omeganya memerah, Kim Mingyu tersenyum makin lembut nan malu-malu. “Bila Anda berkenan, saya ingin mengundang Anda dan Nyonya Hong ke rumah saya di awal musim panas nanti.”

“Oh?” kerjapan bulu mata. “Apa ada suatu acara?”

“Hmm. Tidak ada tujuan tertentu. Hanya makan siang yang sederhana di taman. Saya mengundang beberapa orang juga. Apabila Anda berdua bisa datang, maka saya akan senang sekali.”

“Awal musim panas apakah di minggu kedua?” ibunya akhirnya angkat bicara.

“Bukan, tapi di minggu pertama,” geleng sang Alpha. “Apakah Anda sudah ada acara, Nyonya?”

“Saya mungkin sudah menerima beberapa undangan... Saya akan pastikan dahulu karena saya agak lupa. Tapi Joshua sih masih kosong jadwalnya. Ya kan Nak?”

Senyuman ibunya rasanya punya makna ganda, tapi anak itu juga nggak bisa membuktikannya.

“Ya boleh aja sih, tapi ada syaratnya.”

Sang Alpha menunggu kalimat selanjutnya.

“Mingyu harus balik lagi main ke rumah kita.”

Ah.

”...Dan dia harus bawain aku syal-syalnya lagi soalnya yang kemarin udah ilang semua wanginya...”

Menunduk malu, Omeganya menggemaskan sekali. Kim Mingyu pun tertawa perlahan.

“Hmm. Baik. Anggaplah syarat Anda sudah saya penuhi. Lagipula, saya punya hutang syal dua minggu pada Anda.”

Meski masih malu, bibir Joshua mengerucut membentuk senyuman. Omeganya memang lebih cocok bila tersenyum.