narrative writings of thesunmetmoon

Part 75

#gyushuaabo

“Ini.”

Tuan Kwon menoleh dan, di depan batang hidungnya, sepucuk surat bertengger di tangan suaminya. Tanpa nama, tanpa alamat, bahkan tanpa perangko. Amplop yang putih bersih menandakan bahwa surat tersebut dikirim langsung oleh utusan.

Minggu lalu, balasan dari adiknya akhirnya datang. Pendek, hanya berisikan beberapa patah kata, namun memberikan kelegaan teramat sangat bagi sang pangeran Omega.


Dearest,

We both will walk with you to the end of time, no matter what.

Yours.


Sebuah jawaban yang Tuan Kwon butuhkan. Dan kini, sepucuk surat lain yang juga ia tunggu-tunggu telah sampai.

Selang sebulan, kehamilannya pun mulai nampak. Perutnya membuncit suatu pagi ketika ia terbangun, membawa ketakjuban bagi kedua insan. Kehamilan pertama—antara keajaiban atau kengerian, tidak ada opsi selain itu. Ia ingat ia menggamit tangan Tuan Wen, sedikit ketakutan saat meraba perutnya yang tiba-tiba menggunung dalam semalam saja. Sang Beta tersenyum, lalu mendusel sisi leher suaminya, mencoba menenangkan dengan feromonnya yang sejuk, seperti terperangkap di hutan bambu.

Tuan Wen bersikap baik sekali terhadapnya. Terlahir di keluarga besar, ia agak terbiasa menghadapi proses kelahiran seperti ini. Dipetiknya dedaunan dan rempah untuk digiling dan direbus menjadi jamu tradisional menurut resep leluhurnya. Tuan Kwon secara spesifik membenci suatu ramuan berwujud cairan kental kehitaman yang pahit luar biasa, namun dengan susah payah (dan separuh ingin muntah) diteguknya juga, karena suaminya bersikukuh bahwa jamu tersebut baik untuk memperkuat janin.

Ia membutuhkan itu. Janin yang kuat. Tidak ada yang tahu apakah Tuan Raja memberikan restunya atau tidak. Bila seburuk-buruknya nasib menyatakan mereka harus angkat kaki dari negara itu, setidaknya janin dalam perutnya cukup kuat untuk dibawa mengarungi kejamnya dunia.

Dengan dada bergemuruh, Tuan Kwon membuka surat tersebut. Tanpa sadar dibacanya seraya menahan napas. Bibir bawah dikulum, sementara bola matanya mengikuti baris demi baris tulisan tangan sang raja yang rapi nan indah.

“Gimana?”

Tuan Wen mencoba mengintip dari balik bahu. Namun, seketika itu jua, suaminya berputar dan memeluknya. Erat. Begitu erat. Wajahnya ditekan ke bahu sang Beta.

Kemudian, terdengar isak tangis perlahan.

Tanpa kata, Tuan Wen memahaminya.


Dengan hormat,

Bersama surat ini, aku ingin menyatakan keputusanku. Setelah mempertimbangkan segala aspek, aku menerima proposalmu. Semua yang kau janjikan akan kutagih suatu waktu di suatu masa, tapi untuk sekarang, kau dan suamimu akan berada dalam naunganku.

Persiapkanlah koper kalian. Ketika jam besar berdentang malam ini, kereta kuda akan menunggu kalian tepat di depan pintu.

Kepala pelayanku akan menyambut kalian ketika tiba nanti.

Sampai jumpa di meja makan esok pagi.

Salam,

Seorang teman.


Tuan Wen balas merangkul suaminya, berhati-hati untuk tidak menambah tekanan pada perut. “Syukurlah...,” helanya. Tuan Kwon terisak lagi di dalam pelukannya. “Syukur—”

Suaranya hilang. Ia pun tak tahan untuk tidak ikut menangis. Anak mereka akan lahir dengan aman, dilindungi oleh sang Alpha penguasa negeri ini. Anak mereka akan hidup.

Ya. Syukurlah...