narrative writings of thesunmetmoon

Part 76

#gyushuaabo

🌞 Bulan Juni

Bulan dimana jadwal Tuan Kim begitu padatnya pun tiba. Undangan terus berdatangan, sebab musim panas adalah puncak acara sosial seluruh kota. Selama tiga bulan, setiap keluarga bangsawan dan kalangan atas akan sibuk menghadiri segala jenis acara yang sanggup dipikirkan manusia: pertemuan makan pagi, berjalan-jalan di taman, menghadiri pacuan kuda, balap kapal atau pertandingan kriket almamater, menonton opera, jamuan makan siang, bertamu ke rumah-rumah orang yang ingin mereka jalin hubungan sosial, jamuan makan malam, sampai datang ke acara resmi kerajaan seperti pesta dansa atau—yang sedang menjadi buah bibir saat ini—pesta pernikahan kerajaan.

Tujuan para kalangan atas ini jelas: selama tiga bulan, mereka menjodohkan putra-putri mereka yang telah diperkenalkan ke publik.

Dan, sebagai Alpha terhormat yang, meski telah menetapkan hatinya pada seorang Omega, masihlah lajang, maka Tuan Kim kebanjiran korespondensi.

Sebenarnya hal itu bukanlah masalah. Tuan Kim menghadapinya setiap musim panas sejak ia secara resmi memunculkan diri ke publik di berbagai pesta di usianya ke-18. Saat itu orang-orang berbisik-bisik karena tidak ada keluarga yang diusung oleh Tuan Kim. Sejak awal ia menolak diperkenalkan oleh keluarga kerajaan, tidak ingin disangkut pautkan dengan mereka, dan memilih mengaku bahwa ia yatim piatu sejak muda. Memang sulit di awal, namun, perlahan tapi pasti, orang-orang pun menerima Tuan Kim sebagai Alpha yang tampan, gagah, serta telah berjuang di atas kakinya sendiri untuk meraup kekayaannya sekarang ini.

Tentu, rumor bahwa ia cucu seorang mendiang bangsawan tersebar kemudian, setelah mereka mengetahui bahwa Tuan Kim tidak memiliki bisnis yang, kasarnya, menguntungkan. Meski begitu, mereka menghormati Tuan Kim atas kesantunan dan kebaikan hatinya.

Hati yang, saat ini, sedang berdebar kencang menyambut kedatangan Omeganya yang, hari ini pun, tampak cantik. Dalam balutan kemeja putih dan celana panjang yang sama-sama putih, Tuan Hong bagai malaikat turun dari langit. Bersama dengan senyuman manis, sebuket bunga beraneka jenis namun semuanya berwarna putih, diulurkan pada Tuan Kim.

“Terima kasih undangannya, Mingyu,” oh, apakah itu suara atau dentang lonceng? Merdu bagai sebuah dendang. “Maaf aku cuma bawa bunga, tapi semoga kamu suka ya.”

Mungkin ini efek musim panas. Karena, melihat Tuan Hong berada di tamannya, berlatarkan pepohonan berdaun hijau segar dan mawar merah muda, Tuan Kim jatuh hati, lagi dan lagi. Apalagi, kedekatan mereka akhir-akhir ini membuat harapan yang tertanam dalam hati sang Alpha pun tumbuh, mekar dengan cantiknya.

Ia tidak berpikir panjang kala meraih tangan Tuan Hong tanpa sebab, selain untuk mengecupnya karena ia ingin. Tuan Hong sedikit terkejut, tapi ia tertawa perlahan setelahnya, menyukai spontanitas sang Alpha yang menyegarkan.

“Maafkan saya, hanya saja...Anda cantik sekali hari ini...,” bisiknya.

Tatap mata begitu intens, membuat pipi Tuan Hong memerah. Ia benci disebut cantik, tetapi entah mengapa tidak bisa marah saat Tuan Kim yang mengatakannya. Alih-alih, Tuan Hong ganti mengelus pipi Alphanya, senang ketika sang Alpha mendusel tangan itu, mengecup telapaknya dan menahan agar tangan itu tetap di pipinya.

“Dan kamu ganteng banget hari ini...,” aku sang Omega, malu-malu.

Bagaimana tidak? Tuan Kim mengenakan pakaian kasual, sesuatu yang bertolak belakang dari biasanya. Tidak ada jas dan topi tinggi, melainkan kemeja putih dan celana jins. Benar, Tuan Kim mengenakan jins. Jelas bukan sesuatu yang lazim di negeri ini. Tuan Kim terlihat bagai Alpha di negara Tuan Hong.

“Anehkah?” ia meringis salah tingkah.

“Daripada dibilang aneh...,” Tuan Hong terus menatapnya. “...kamu beli di negaraku?”

Ia mengangguk.

“Bilang dong kalo boleh pake jins. Tau gitu aku pake juga.”

Kernyitan alis membuat Tuan Kim tertawa sambil meminta maaf. Tanpa sadar ia memajukan wajah untuk menggesek hidungnya dengan hidung Tuan Hong. “Maaf, maaf,” ucapnya santai. “Saya sepertinya lupa untuk—”

Ketika ia sadar apa yang sudah ia lakukan, Tuan Kim terkejut lalu segera mundur. Tuan Hong secara refleks menahan gerak sang Alpha dengan cara merenggut kerahnya, mendekatkan wajah mereka lagi.

“Joshua...?” gelagapan, wajah sang Alpha memerah dalam kepanikan.

“Mingyu, aku mau ngomong—”

“Oh? Tuan Hong!”

Gelegar panggilan merusak momentum. Tuan Kim dan Tuan Hong segera menjauh dari satu sama lain. Tuan Lee pun datang dengan matanya yang ramah dan senyumnya yang berseri-seri.

“Anda datang pula rupanya,” sang Alpha mengecup punggung tangan Tuan Hong. “Suatu kehormatan.”

“Oh, halo, Tuan Seokmin. Gimana kabarmu?” Tuan Hong balas menyapa.

“Baik-baik saja,” kekeh sang Alpha, sama sekali tidak keberatan dipanggil dengan semi akrab begitu.

“Mana Tuan Seungkwan?”

“Pulang.”

Tuan Hong menelengkan kepala.

“Aku menyuruhnya pulang. Ada sesuatu yang lebih penting baginya daripada menemaniku.”

Wajah Tuan Lee tidak luntur dari senyuman. Tuan Hong hanya mengangguk, tidak memikirkannya lebih jauh dan menerima penjelasan Alpha itu. Tuan Kim kemudian memandu mereka menuju tempat acara.

Sesuai janji sang Alpha, pesta di taman itu cukup sederhana. Dekorasi didominasi bunga dan tanaman hijau, serta segala yang berwarna putih. Beberapa pelayan berkeliaran membawa baki saji, menyajikan minuman dingin dalam gelas kristal. Kudapan disediakan di meja kecil yang bebas dinikmati tamu undangan. Sebuah meja panjang di tengah jelas menjadi inti acara siang itu. Meja yang akan menjadi tempat mereka menikmati hidangan terbaik juru masak Tuan Kim.

Tuan Hong melipir untuk mengambil kue tart kecil berisikan telur dan ham. Di antara para tamu undangan, selain Tuan Lee, ia menemukan Tuan Yoon sedang bercakap-cakap seru. Seorang Alpha di sisinya melingkarkan lengan ke pinggang Tuan Yoon.

...Apakah itu Alphanya, sang raja...?

Rasanya tidak mungkin. Untuk apa seorang raja menyempatkan diri memenuhi undangan Tuan Kim, si rakyat biasa? Karena menemani Omeganya? Apakah alasan itu diterima pihak istana?

Tuan Kim sendiri sedang berbicara dengan seorang wanita Omega. Jujur, tamu undangan Tuan Kim terbilang sedikit untuk pesta makan siang. Tuan Hong mengharapkan para tetangga, seperti Tuan Lee dan Nyonya Kang, juga diundang, tapi sepertinya tidak. Sejauh matanya memandang, ia hanya melihat Tuan Lee sepupu Tuan Kim, Tuan Yoon bersama seorang Alpha, wanita Omega itu, lalu dua orang lagi yang sedang berbicara dengan Tuan Yoon.

“Maaf, kami terlambat.”

Tuan Hong menoleh. “Oh! Dokter Jeon! Myungho!” seru sang Omega.

Pasangan itu menoleh. Yang satu tersenyum tipis, yang satu tertawa ramah. Tuan Seo mendekati Tuan Hong untuk menyapa, sedangkan suaminya menjabat tangan Tuan Kim.

“Kalian juga datang!”

“Tentu, Tuan Hong,” jawab Tuan Seo.

Seiring berjalannya waktu, Tuan Hong dan Tuan Seo menjadi akrab. Dikarenakan usia mereka yang terpaut tidak begitu jauh, ia pun menganggap sang Beta lebih ke arah teman daripada sekadar apoteker. Ia juga merasa lebih dekat setelah sering berkonsultasi dengan Dokter Jeon, namun Tuan Hong masih sungkan karena sang Beta lebih tua dan tetap memanggilnya dengan sopan.

“Tapi Tuan Kim lebih tua dari saya,” canda sang dokter pada suatu hari.

“Ya beda dong,” dengan polosnya, Tuan Hong menjawab. “Mingyu ya Mingyu. Masa aku harus panggil dia 'Tuan'? Kan nggak lucu.”

“Saya setuju. Rasanya aneh memanggil calon suami sendiri dengan 'Tuan'.”

“Tul, tul.”

...

“Eh, bentar deh, barusan kayaknya—”

Namun Dokter Jeon telah tertawa kencang, sementara wajah Tuan Hong merah padam, mengejutkan pasien yang menunggu di luar karena ia tidak tahu kalau Dokter Jeon bisa tertawa juga. Tuan Seo tersenyum maklum pada pasien itu dan berniat untuk menanyakan apa yang membuat suaminya sampai tertawa seperti itu setelah mereka menutup toko nanti.

Senang karena menemukan wajah familier lagi di pesta, Tuan Hong mulai bercerita dengan ceria. Ia menyukai Seo Myungho. Beta itu begitu lembut dan tenang. Keberadaannya membuat tentram hati Tuan Hong. Ia juga pendengar yang baik. Pun, wawasannya luas. Tuan Seo banyak bertanya mengenai negara asal Tuan Hong dan Tuan Hong pun mendapat banyak informasi mengenai negara ini.

Tuan Kim dan Dokter Jeon memandangi kedua Omega dan Beta itu mengobrol dengan senyuman di paras masing-masing, memandangi kekasih hati dengan kehangatan merebak di dada.

“Baiklah. Karena semua tamu sudah datang,” Tuan Kim kemudian menatap Tuan Park, kepala pelayannya. “Kita mulai saja.”

“Baik, Tuan,” Beta itu membungkuk hormat. Ia pun mengumumkan ke seluruh tamu. “Selamat siang dan selamat datang, Tuan dan Nyonya. Kami akan memulai acara makan siang ini. Silakan duduk di tempat dengan plakat nama Anda.”

Tuan Hong belum pernah mengikuti jamuan makan siang begini. Ia cukup bersemangat. Ketika ia menemukan kursinya—persis di sebelah Tuan Kim—acara kemudian dimulai.