narrative writings of thesunmetmoon

Part 79

#gyushuaabo

Selepas makan siang dan semua orang berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil untuk berbincang dengan santai di antara sesapan kopi, Tuan Kim menemukan Tuan Hong duduk sendirian di bagian taman yang agak tersembunyi oleh semak yang ditata apik oleh tukang kebun serta berbuncah-buncah bebungaan warna-warni. Di samping bangku yang ia duduki, mekar pohon dengan bunga kecil-kecil warna merah muda pudar yang indah.

“Selamat siang...,” sang Alpha menghembuskan kalimatnya. Melihat helai rambut hitam Omeganya yang indah tersibak oleh angin sepoi-sepoi berlatarkan kelopak bunga ceri lantas membuat napasnya tertahan.

Mungkin ia akan selalu jatuh cinta pada Omeganya seumur hidupnya...

Tuan Hong, sebaliknya, merengut ketika menemukan wajah sang Alpha dalam jarak pandang. Ia melipat lengan di dada. Kaki kanan lalu ditumpangkan ke kaki kiri. Gestur ngambek, kalau kata sahabatnya di negara asal.

“Kamu perlu jelasin baaaannnyyaaakkkk hal sama aku,” jeda yang disengaja agar Alphanya menelan ludah dan menunduk. “Kim Mingyu.”

Rasa takut, pertama, yang menyapa hati. Mendengar betapa ketusnya intonasi sang Omega, Tuan Kim sadar bahwa ia benar-benar marah. Tidak berani menatap langsung ke Omeganya, sang Alpha berdiri kaku bagai murid kena setrap gurunya.

“Mm, pertama-tama, saya minta maaf karena tidak mengatakannya pada Anda...,” ia memulai. Telapaknya basah oleh kekhawatiran. “Saya pikir itu bukan hal yang terlalu penting—”

“NGGAK PENTING???“

Tuan Kim terkejut. Bola mata Tuan Hong membulat lebar, nyata akan kemurkaan. Belum pernah Tuan Kim melihat Omeganya mengamuk begini.

“APANYA YANG NGGAK PENTING, KIM MINGYU?!” kepakan sayap burung terdengar di dekat mereka, kabur dari dahan-dahan pohon oleh bentakan mendadak yang tidak kunjung berhenti. “KAMU ULANG TAHUN HARI INI DAN KAMU NGGAK BILANG KE AKU!”

...

Perlahan, bulu mata sang Alpha mengerjap.

“Aku cuma bawa bunga! Dimakan aja nggak bisa tuh bunga! Ah, tadi Mama udah nyuruh aku bawa Panettone buatan dia, tapi aku pikir kan bakal ada banyak makanan, jadi aku nolak! Tau gitu aku bawain itu juga kan??”

Tuan Kim mendengarkan tanpa berkomentar. Tidak bisa, lebih tepatnya, karena Tuan Hong bereaksi di luar dugaan. Dilihat dari segi manapun, jelas lebih krusial informasi bahwa ia memiliki relasi dengan orang-orang paling berkuasa seantero kerajaan. Jika Tuan Hong hendak marah, maka seharusnya karena Tuan Kim menyimpan fakta tersebut.

Bukan karena hal sepele macam ulang tahun.

“KOK DIEM AJA?? NGOMONG DONG!”

“BAIK! MAAF!” kaget, sang Alpha spontan berseru. Tubuhnya menegang. Ia jadi ingat ketika masih lebih muda dan menerima pendidikan militer bersama kakaknya sebagai pelajaran wajib. “Maafkan saya. Saya...saya tidak bermaksud menutupi atau berbohong pada Anda bahwa saya, eh, ulang tahun hari ini. Saya hanya ingin Anda tidak repot-repot memberikan saya apa-apa karena ini hanya ulang tahun saja...”

”...Kamu nggak mau aku bawain kado?”

“Bukan begitu...,” syaraf di tubuhnya melunak melihat paras kecewa Tuan Hong. Bagai refleks, ia mendekat, menutup jarak yang tersisa di antara mereka. Tuan Kim membungkuk sedikit agar bisa mengelus perlahan pipi Omeganya, membuat Tuan Hong tanpa sadar mendengkur senang. “Saya hanya tidak berpikir hal itu sebegitu pentingnya...”

“Tapi ulang tahun kan acara penting...,” gerutu sang Omega.

Tuan Kim tersenyum simpul. “Bila Anda seusia saya, ulang tahun menjadi tidak sebegitu pentingnya. Hanya hari biasa saja,” jelasnya. Senyum sang Alpha semakin lebar oleh tautan di kening Omeganya, pertanda bahwa Tuan Hong tidak setuju akan penjelasannya barusan.

Hal ini membuat Tuan Kim kembali menyadari betapa jauhnya beda usia mereka.

“Aku,” Omeganya mendongak sedikit agar mereka saling menatap. “Bakal buat ulang tahun kamu tiap tahun bukan hari biasa aja.”

Deg.

Jantung sang Alpha melonjak tiba-tiba.

“Aku masih kesel sih pas ulang tahunku kemarin dipaksa ke pesta dansa itu sama Mama. Tapi...”

Deg. Deg.

”...aku jadi bisa ketemu kamu lagi...”

Jemari Tuan Kim masih di pipi sang Omega. Kedekatan ini membuat Tuan Kim mudah untuk memajukan kepala dan menyentuhkan bibir mereka, bila ia berani. Apalagi, Tuan Hong berkedip. Bulu matanya yang hitam dan halus bagai sihir yang dirapal dengan ahli, membuat sang Alpha tak sanggup mengalihkan pandangan. Mata keduanya turun ke bibir satu sama lain.

Sehela napas dan secercah keberanian. Hanya dua hal itu yang mencegah mereka.

...Tidak. Ada sebab lain juga.

Tuan Kim berdiam di sana. Tidak maju, tidak mundur. Tidak mengambil apapun yang tidak diberikan padanya. Ia hanya memandangi Omeganya terkasih, yang juga memandangi dirinya.

”...Anda marah pada saya mengenai hari ulang tahun. Anda tidak marah perihal siapa sebenarnya saya?”

“Maksudnya, marah karena kamu adeknya raja?” tanyanya.

Sang Alpha mengangguk.

“Ah, yah...aku kesel juga sih kamu nggak ngomong-ngomong. Aku kan bisa pake baju bagusan dikit, biar rada cakepan gitu...,” Omeganya berkata ringan tanpa beban. “Tapi itu kan nggak penting. Eh penting juga sih. Kalo kamu orang jahat, aku bakal tendang kamu dari rumahku.”

“Joshua...,” takjub adalah penyederhanaan dari apa yang ia rasakan kini.

“Tapi aku mau tanya deh. Kamu nggak bilang ke aku siapa kamu, apa karena kamu pikir aku bakal ngeruk harta kamu ato gimana—”

“Tidak sama sekali,” tegas sang Alpha. Ia tidak ingin Tuan Hong menanam pemikiran buruk tersebut sekalipun dalam kepalanya. “Saya hanya ingin Anda melihat saya sebagai saya seorang. Bukan keluarga raja. Bukan siapa-siapa.

Hanya Alpha tua yang mencintai Anda.”

Feromon sepasang Alpha-Omega itu telah bergulung di udara awal musim panas yang menyengat dan agak lembab. Untunglah pesta hari itu dilaksanakan di taman terbuka, hingga angin dapat mengacak dan membawa feromon, yang tanpa mereka sadari keluar meluap-luap, jauh dari para tamu lainnya.

“Aku...nggak peduli kamu siapa, Kim Mingyu,” ucap sang Omega, beberapa saat kemudian. Elusan jari sang Alpha di pipinya terhenti. “Petani atau pangeran, tua muda, nggak masalah. Kamu bukan Alpha pun, aku nggak peduli. Kamu nggak perlu mikirin soal itu. Asal kamu kayak gini. Terus kayak gini aja ke aku...”

“Terus...?”

Tuan Hong mengangguk.

”...Selamanya?”

“Uh-huh…”

Tuan Kim menunduk, tiba-tiba menaruh keningnya perlahan ke kening Tuan Hong.

“Jika Anda terus berbicara seperti itu...,” Tuan Kim berbisik. “...nanti saya jadi berharap.”

“Berharaplah...,” hembus sang Omega. Kelopak matanya turun, sadar dalam posisi apa mereka dan apa yang diharapkan akan terjadi selanjutnya. Bukankah sudah jelas? Wajah yang berdekatan. Tubuh yang hampir menyentuh. Feromon sang Alpha; hangat, kental, kaya akan rasa. Tuan Hong tidak bisa mencium feromonnya sendiri, namun ia yakin sama kentalnya dengan aroma sang Alpha.

Malam-malam yang ia lewati dengan berguling di sarangnya yang terbuat dari tumpukan syal sang Alpha, berharap bahwa sang Alpha lah yang tengah mendekapnya.

Begini.

Kedua tangan Tuan Hong menangkup sisi leher Tuan Kim.

Benar begini.

Persis seperti ini...

”...Estrus,” satu kata, kecil dan agak serak, yang menghancurkan momen mereka. Tuan Kim buru-buru mundur, membiarkan udara segar berhembus kembali ke celah yang diciptakannya. “Maaf, tapi...saya bisa menciumnya... Feromon Anda agak berbeda...”

“Oh...,” masih disorientasi, Tuan Hong menjawab. “Mm, kata Dokter Jeon, estrusku harusnya dateng bulan ini...”

“Apakah—apakah itu normal?” alih-alih hasrat, kekhawatiran datang dan menggantikan sinar di bijih hitam kembar sang Alpha. “Maksud saya, bukankah baru dua bulan lalu Anda—”

Tuan Hong menghela napas. Jelas sudah berlalu kesempatannya. Ia bersandar ke bangku taman, lebih rileks kini. “Jadi yang kemarin itu justru aku telat banget. Nah kalo aku masuk estrus bulan ini, siklusku bakal balik ke normal. Gitu,” jelasnya.

“Begitukah...”

“Kenapa? Kamu mau bantuin estrusku?”

Reaksi Tuan Kim akan selorohannya barusan membuat Tuan Hong sukses tertawa lepas. Alpha besar itu mengerut. Wajah hingga lehernya merah padam. Suaranya terbata-bata ketika dengan panik menjawab, “S-s-saya t-tidak mungkin—kita belum menikah—Anda—di bawah umur—saya tidak akan—”

“Iya, iya. Tau. Paham.”

Lelah.

Sepertinya moralitas Tuan Kim terlalu tinggi untuk standar seseorang seperti Tuan Hong yang lahir dan tumbuh di negara dimana Alpha memberlakukan Omega bagai boneka seks. Namun, ah, bukankah karena itu Tuan Kim mendapatkan perhatiannya? Karena ia bukan tipe Alpha yang Tuan Hong benci setengah mati di negaranya.

Tuan Hong tersenyum, hampir-hampir meringis, saat Tuan Kim menutup mukanya karena malu teramat sangat.

”...Tolong jangan bercanda seperti itu, astaga... Jantung saya hampir copot...,” keluh sang Alpha, yang membuat Omeganya tertawa lebih keras.

Setelah keceriaan perlahan larut, Tuan Kim duduk di samping Tuan Hong. Mereka berdiskusi mengenai acara-acara musim panas yang harus Tuan Kim datangi. Dalam beberapa acara, ia memperpanjang undangannya kepada Tuan Hong, seperti berjalan-jalan di Taman Kota, mengendarai kuda di bukit kecil belakang kediaman Tuan Kim, hingga menonton perlombaan balap kapal.

“Boleh aja sih, aku juga nggak ada kerjaan musim panas ini. Guruku nggak datang sepanjang musim panas ke rumah. Aku juga nggak kenal banyak anak seusiaku,” Omega itu mengelus dagunya sendiri sembari mengingat-ingat. “Palingan acara nikahannya Yoon Jeonghan, tapi itu juga sama kamu sih. Aku sama Mama perlu fitting baju ke istana.”

“Oh? Kapan?”

Tuan Hong mengangkat bahu.

“Bila sudah ada tanggalnya, beritahu saya. Saya akan menemui Anda di sana.”

“Hoi. Nggak boleh, kali.”

Kening Tuan Kim berkerut tak paham.

“Ngeliat baju calon pengantin sebelum hari H. Nanti pamali.”

Kedipan sebelah mata. Meski kemudian ia sadar bahwa Omeganya hanya bercanda, lagi-lagi Tuan Kim merona merah.

“Joshua! Astaga!”

Dan, lagi-lagi, Omeganya terpingkal-pingkal.

Alpha yang aneh.

Menatap Tuan Kim yang masih kelabakan, Tuan Hong berpikir betapa beruntungnya dirinya. Mungkin, di kehidupan lain, ia pernah menyelamatkan satu negara dari kepunahan.

Jikalau memang begitu,

Trims, my past self.