narrative writings of thesunmetmoon

Part 8

#gyushuaabo

Seorang Omega berada dalam genggam tangannya. Tuan Kim melonggarkan, sebisa mungkin, tangan yang menumpu tangan sang Omega, berharap tidak terlalu menekan. Bahkan ia hampir tidak menyentuh punggung Tuan Hong. Ia tidak menginginkan pasangan dansanya merasa terperangkap bersamanya. Melihat senyuman kecil muncul di wajah indah itu, Tuan Kim menepuk dirinya sendiri secara mental di punggung, menyelamati diri bahwa ia telah mengambil langkah yang tepat.

Gesekan biola mengalunkan Second Waltz gubahan Dmitri Shostakovich, membawa para pedansa memenuhi aula, menari-nari membentuk lingkaran luas. Gaun para wanita melambai seolah hidup, dengan cantik memberi kehidupan pada lantai dansa malam itu. Para pria mengenakan jas lengkap dalam warna-warna natural maupun maskulin, termasuk dua Omega di sana: Tuan Yoon dan Tuan Hong. Yang satu duduk menonton karena sang raja tidak berada di pesta, sehingga Tuan Yoon tidak diperkenankan (dan ia memang tidak berkenan) untuk berdansa dengan Alpha maupun Beta lain. Sedangkan Tuan Hong berada dalam gamitan Tuan Kim.

Diam-diam, para hadirin yang tidak ikut serta turun ke lantai dansa berbisik-bisik dan tersenyum senang melihat Tuan Kim akhirnya terlihat bersama seorang Omega. Sudah waktunya tetangga Alpha mereka yang amat tampan itu menggandeng Omega cantik di sisinya! Sudah terlalu lama mereka menyaksikannya sendirian!

Bisikan demi bisikan tersebut tidak luput dari pendengaran Tuan Hong, tampak dari rahang dan bahunya yang menegang. Iba, Tuan Kim menunduk untuk berbisik.

“Maafkan saya,” akunya sedih. “Mereka hanya mengkhawatirkan saya. Mereka senang melihat Anda bersama saya karena saya sudah lama hidup sendirian. Mereka tidak bermaksud buruk.”

Tuan Hong mengerjapkan bulu matanya satu kali, lalu menggeleng. Namun, tidak ada sepatah kata pun terucap.

Memaklumi, Tuan Kim pun mulai membawa Tuan Hong bergerak, memasuki musik di saat yang tepat. Kakinya bergerak maju, setelah itu harusnya ke kiri, ke kanan, lalu ia akan memutar tubuh Tuan Hong. Dengan bangga, Kim Mingyu mengakui bahwa dirinya termasuk cukup ahli dalam berdansa. Ia dilatih sejak kecil, masuk sebagai kelas wajibnya, dan, sejak ia diperkenalkan ke publik di usianya yang ke-16, entah sudah berapa banyak dansa yang ia bawakan bersama partnernya. Kebanyakan Beta, namun ia cukup beruntung berdansa dengan beberapa Omega sepanjang hidupnya, meski, selepas dansa, mereka akan membungkuk sopan lalu berpisah.

Tidak benar bahwa Alpha selalu menginginkan Omega, siapapun itu, dan begitu pun sebaliknya. Dan bahwasanya di kerajaan ini, kehendak sang Omega-lah yang merupakan titah tertinggi. Bila Omega tidak berkenan, maka Alpha terhormat harus mundur secara sopan.

Kim Mingyu belum pernah menemukan Omega yang ingin ia genggam tangannya selepas berdansa, maka ia tidak pernah perlu mundur secara sopan akibat ditolak. Meski kehendak Omega adalah titah, mereka juga tidak pernah sekali pun memaksa Alpha yang mereka anggap menarik. Para Omega yang dibesarkan dan diperlakukan dengan baik tumbuh menjadi orang-orang yang berhati emas dan penuh sopan santun.

Begitulah. Kim Mingyu adalah pedansa ulung. Namun, tidak begitu rupanya dengan Joshua Hong. Terbukti saat Tuan Kim mendorong tubuhnya mundur, lalu menariknya ke kiri, ia terhenyak oleh gerakan-gerakan yang tidak familier. Tidak tahu tangan dan kakinya harus berada di mana, bergerak ke arah mana. Tuan Hong kebingungan dan, di suatu momen, akhirnya menginjak kaki Tuan Kim.

“Oh!” bola matanya refleks membulat. “Sori!”

Mereka berhenti. Agar tidak mengganggu pedansa lainnya, Tuan Hong buru-buru membawa Tuan Kim ke pinggir. Daripada nyeri di kakinya, Tuan Kim lebih takjub akan kata yang diucapkan padanya barusan.

“Nggak apa-apa kan?? Umm, sori, ini pertama kalinya dansa—”

Ditimpa cahaya yang memantul pada ratusan kristal yang tertanam di chandelier megah di atas kepala mereka, bola mata Tuan Kim menyala dalam kilauan terang. Terpukau, kala Omega itu memerah pipinya dan menunduk, berusaha membuat dirinya lenyap dari aula dansa itu.

“Gaya bicara Anda...,” ia tidak seharusnya menekankan, namun tanpa sadar bibirnya telah bergerak.

Saat itulah Tuan Hong menyadari letak kesalahan keduanya. Serta merta, ia menangkup mulut dengan sebelah tangan. Bola matanya melebar mirip menjangan tersorot lampu.

“Oh...Oh, Tuhan...Oh, maafkan s-saya, saya enggak—eh, t-tidak bermaksud untuk kurang ajar—”

Tuan Kim langsung menggeleng, memastikan Tuan Hong menatapnya. “Tidak. Tolong, jangan minta maaf, Tuan Hong. Saya paham. Gaya bahasa Anda dan saya berbeda. Saya beberapa kali ke negara Anda, sejujurnya,” atas pernyataan barusan, Tuan Hong menghentakkan kepala ke atas. Kini benar-benar saling bertatapan dengan sang Alpha yang lebih tinggi darinya itu. Tuan Kim tersenyum lembut padanya, membuat pipi Tuan Hong kembali merona. “Jadi saya paham. Bila Anda menggunakan bahasa yang membuat Anda nyaman bersama saya, maka saya akan sangat senang.”

Tuan Hong diam untuk sejenak, kemudian ia berucap dengan ragu-ragu, “...Nggak apa-apa?”

Dalam gaya bahasa kasualnya.

Senyuman Tuan Kim kian melebar. “Tentu saja,” jawabnya dengan jujur. “Apakah ini pertama kalinya Anda berdansa?”

Tuan Hong mengangguk pelan.

“Sungguh suatu kehormatan menjadi partner dansa pertama Anda,” sesaat sang Alpha mengangguk sebagai bentuk penghormatan. “Jika begitu, bertumpulah pada tangan-tangan saya.” Genggaman tangan agak dipererat karena kini ia tahu bahwa Tuan Hong membutuhkan arahan solid. “Lemaskan tubuh Anda dan biarkan saya yang membawa gerakan Anda.”

“Tapi...aku nggak tau gerakan dansanya..”

Lagi, Tuan Kim menggeleng.

“Percayakan pada saya.”

Merenung sejenak, Tuan Hong pun mengangguk lebih mantap kali ini. Mereka pun turun lagi ke lantai dansa. Ia melemaskan tubuh, termasuk kakinya, dan mengikuti saran dari Tuan Kim.

Ajaib. Seketika, ia sudah memutar memenuhi aula tersebut. Tubuhnya dibawa ke kiri, ke kanan, diputar, dilepas lalu direngkuh lagi. Setiap rengkuhan, jarak mereka semakin dekat, namun Tuan Hong tidak merasa risih. Senyum Tuan Kim tidak lepas dari wajahnya. Nampak ia juga menikmati dansa mereka. Dansa yang kurang profesional, apalagi indah, namun Tuan Kim dan Tuan Hong tidak peduli sedikit pun.

Saat Tuan Hong kemudian tertawa karena mereka merentangkan lengan mereka, bergerak membuka, lalu Tuan Hong memutar tubuhnya untuk masuk ke dalam pelukan sang Alpha, barulah derai tawa ringan lenyap dari wajah mereka, yang kini berjarak hanya sehela napas. Pandangan Tuan Hong terkunci pada sepasang mata berwarna cokelat yang hangat tersebut. Mereka terus bertatapan seolah-olah dunia di sekeliling mereka berputar dalam gerakan lambat. Seluruh bebunyian sirna, orang-orang menghilang, dan hanya mereka saja yang ada di aula tersebut, berdua.

Dengan kedekatan mereka, Tuan Kim kembali mengendus wangi itu. Lemah, namun ada di sana, menguar dari sisi leher Tuan Hong. Wangi kue natal yang ia cium sebelum ini. Manis. Hangat. Harum yang memancarkan kebahagiaan. Tuan Kim harus bersusah payah mengekang feromonnya yang terpancing secara alamiah untuk keluar.

Saat pandangan mata mereka sama-sama perlahan turun ke hidung, lalu bibir, Tuan Kim berucap dalam bisikan,

“Saya belum pernah bertemu Omega seindah Anda...”

Tuan Hong masih terus memerhatikan bibir yang tipis itu, begitu berbeda dari bibirnya sendiri yang penuh dan merah merekah.

”...Oh ya?”

Tuan Kim memandangi bibir Tuan Hong dengan kilauan di mata.

“Anda begitu indah, Tuan Hong...”

Kebalik, batin Tuan Hong. Justru kamu yang indah...

“Joshua...”

Bahkan Tuan Hong sendiri kaget oleh perkataannya. Apa boleh buat. Sudah terlanjur.

“Aku baru 16, Tuan Kim,” kekehnya pelan. “Panggil aku Joshua...”

(“Aku baru 16...”)

Seketika itu, Tuan Kim melepas pelukannya. Ia buru-buru membungkuk berkali-kali, meminta maaf akan kelancangannya. Dunia fantasi Tuan Hong pun pecah. Realita pun merasuk mendadak bagai angin malam yang berhembus. Ia mengerjapkan mata berkali-kali, masih bingung oleh perubahan yang sedetik terjadi. Baru saja dirinya berada dalam pelukan sang Alpha, sedetik kemudian ia kembali ke lantai dansa.

Kemudian, bagai disiram air, ia menyadari apa yang barusan ia lakukan.

Joshua Hong. Menyerahkan dirinya ke dalam pelukan Alpha asing.

Seperti Omega rendahan yang ia benci di negara asalnya.

Jijik pada diri sendiri, Tuan Hong menepis kasar tangan Tuan Kim. Sang Alpha yang mengira Tuan Hong membenci dirinya, hanya bisa menarik tangannya mundur dengan sedih.

“M-maafkan saya, Tuan Hong—”

Tuan Hong melangkah mundur, terus menggeleng. Alpha. Alpha. Biarpun nampak ramah dan tidak berbahaya, lelaki di hadapannya tetaplah seorang Alpha. Alpha yang akan berbuat apa saja untuk merayu Omega ke ranjangnya, lalu meninggalkannya ketika apa yang mereka inginkan telah mereka dapatkan.

Alpha. Semua sama saja.

“Joshua—?”

Itu suara ibunya. Tuan Hong kemudian berbalik, bergegas meninggalkan lantai dansa, meninggalkan Kim Mingyu, menggamit lengan ibunya dan menyeretnya keluar, meninggalkan aula dan rumah megah itu. Tuan Hong tidak peduli apakah perbuatannya membuat kecewa tuan rumah atau tidak. Ia perlu pergi yang jauh dari Alpha itu.

Perlu pergi yang jauh dari semua Alpha.


“Oi, Kim, apa yang terjadi? Mengapa Hong pergi seperti itu??”

Tuan Yoon yang menyaksikan seluruh kejadian pun mendekati sahabatnya. Nampak jelas kalau ia cukup terusik karena paras Omega itu ketika berpapasan dengannya tidak baik-baik saja. Ia menggamit bahu Tuan Kim dan membalik tubuhnya.

“Kau tidak menyakitinya kan??”

Atas tuduhan itu, Tuan Kim menggeleng.

“Lalu kenapa—”

“Tuan Yoon, apa Anda tahu Tuan Hong masih berusia 16?”

“Apa?” Tuan Yoon terhenyak.

“Apa Anda tahu Tuan Hong masih berusia 16?”

Dengan ragu, Tuan Yoon mengangguk. Kim Mingyu menghela napas, lalu mengusap wajahnya.

“Kenapa Anda tidak bilang ke saya...?” gerutunya.

“K-kukira kau tahu! Seluruh kota tahu dia masih pelajar—”

“Pelajar!” potong Tuan Kim. Kini, ia berbicara pada Tuan Yoon sebagai sahabat, bukan sebagai tunangan raja mereka. “Saya juga tahu, tapi saya kira usianya 18! Dia masih anak-anak, Tuan Yoon!”

Tuan Yoon yang terbilang jauh lebih cerdas dari orang kebanyakan, segera mengernyitkan alis dalam pemahaman. “Kim, maksudmu—” ia menatap sahabatnya dengan takjub. “Kau, jangan-jangan—”

Kim Mingyu menghela napas lagi.

”...Lelaki setua saya ini tidak mungkin meminta ijin untuk mendekatinya, bukan?”