Part 81
Tiga hari setelah pesta ulang tahun Tuan Kim, Tuan Hong menghilang selama satu setengah minggu. Tuan Kim, yang sudah mengetahui penyebabnya, mengirimkan buah-buahan segar dari lahannya sendiri dan sekerat peti penuh kemejanya. Tidak lupa ia mengirimkan makanan, juga larutan penambah energi yang diracik Tuan Seo dari bahan-bahan alamiah untuk Nyonya Hong, karena menjaga Omega dalam keadaan estrus memerlukan tenaga lebih.
Tuan Kim tidak bisa berada di sana bersama Omeganya, maka ia hanya bisa berdoa. Ia sendiri tercabik oleh bisikan Alpha dalam dirinya yang terus mengeluhkan kenapa ia tidak melakukan tugas menjaga Omeganya. Omega mereka membutuhkan mereka saat ini, namun ia malah berada jauh dari Tuan Hong. Caci maki tidak kunjung berhenti sampai Tuan Kim menggeram, kesal oleh Alphanya sendiri. Meski begitu, sang Alpha merasa tertantang dan menggeram balik, sampai mereka mencapai kesepakatan untuk perang dingin.
Sisa hari itu dihabiskan Tuan Kim dengan duduk di halaman dimana ia bercakap-cakap dengan Tuan Hong sebelumnya, menenggelamkan diri dalam memori akan Omeganya yang manis.
Ingin menyentuhnya. Ia ingin menyentuhnya.
Sentuhlah.
(“Nanti saya jadi berharap...”)
(“Berharaplah...”)
Bukankah itu adalah sebuah jawaban? Yang ditenun dan dilontarkan secara tidak langsung oleh sang Omega. Berharaplah. Omeganya yang duduk di bangku ini, memejamkan setengah mata dan menangkup sisi lehernya. Feromonnya semanis madu, menetes deras mengisi udara di sekitar mereka.
Namun, Tuan Hong tidak mengatakannya. Belum mengatakannya.
Tuan Kim tidak buta, bukan pula seorang bodoh tanpa pendidikan. Ia menyadari hari itu Tuan Hong ingin ia menciumnya. Ia juga sama. Ia ingin sekali mencium bibir itu sejak pertama mereka berjumpa. Tetapi, yang Tuan Hong tidak sadari, bahwa Tuan Kim tidak bisa menciumnya begitu saja. Masyarakat di sini, meski tampak ramah dan bersahabat, memiliki reputasi buruknya sendiri. Jika di negara Tuan Hong berciuman di publik artinya menunjukkan kasih sayang antara kedua insan, di sini, hal tersebut adalah tabu. Sesuatu yang ditatap sinis dan digunjingkan oleh orang-orang. Pasangan menikah saja tidak diharapkan untuk berciuman di depan mata orang banyak, apalagi yang bahkan belum bertunangan seperti mereka.
Selain itu, Tuan Kim belum mendengar kalimat persetujuan dari Tuan Hong. Ia tidak bisa berlaku atas dasar firasat. Usia Tuan Hong begitu muda. Bila ia menciumnya tanpa Tuan Hong mendeklarasikan kesediaannya menerima pinangan Tuan Kim, maka ia sudah berbuat kesalahan besar. Ia bisa dibuang ke menara karena telah menyentuh Omega yang tak terikat padanya, bahkan jika Omega tersebut menghendakinya. Mengotori Omega muda yang masih suci adalah tindakan paling tidak terpuji bagi seorang Alpha di negara ini.
Helaan napas. Sambil menatap mentari yang dengan cepat padam di ufuk Barat, Tuan Kim memejamkan mata.
Aah...aku ingin menyentuh Omegaku...
Alpha dalam dirinya mengeluh lagi. Persis saat itu, Tuan Kim membuka mata, berdiri, dan kembali masuk ke rumahnya. Sudah kenyang, ia, mendengar keluh kesah Alphanya sendiri.
Tuan Hong muncul di beranda rumah Tuan Kim di akhir minggu ketiga bulan Juni. Tuan Kim pun segera menyambutnya. Mereka makan siang dengan santai di sudut kecil teras belakang, menikmati daging sapi panggang lengkap dengan kentang dan sayuran, ditemani deretan pohon yang rimbun. Sausnya kental, lezat dimakan bersama dagingnya yang lembut, kualitas terbaik yang bisa didapatkan bagian dapur hari ini. Semua usaha sang juru masak terbayarkan oleh wajah ceria sang Omega dan ia membungkuk berterima kasih diiringi tepuk tangan bersemangat.
Diam-diam, Tuan Kim mengingatkan dirinya untuk menaikkan gaji sang juru masak serta menambah hari liburnya.
Ketika hidangan digantikan sorbet stroberi, Tuan Hong membicarakan masa estrus yang baru dilewatinya.
“Makasih ya,” ujarnya. “Buahnya enak banget. Baru kali ini aku makan apel segitu manis dan sarinya banyak. Biasanya agak kering-kering gimana gitu. Asem pula.”
“Begitukah? Saya senang mendengarnya,” aku Tuan Kim. “Jika Anda mau, saya akan mengirimnya lagi.”
“Beneran? Boleh?”
“Benar.”
“Nggak becanda kan??”
“Kapan saya bercanda jika soal Anda.”
Percakapan tiba-tiba mati. Tuan Hong menunduk dengan pipi yang memerah. Kakinya di bawah meja bergerak gelisah. Ia memainkan sorbet dalam gelas kristalnya dengan sendok kecilnya. Tuan Kim mengendus, menemukan sisa feromon masa estrus yang harusnya sudah hilang seluruhnya dari tubuh sang Omega. Hampir saja ia menggeram, apabila bukan karena kontrolnya akan Alphanya yang menakjubkan.
“Selasa minggu depan.”
“Hmm?”
“Ke istana, aku sama Mama. Fitting baju.”
“Ah,” benar. Berarti ia harus ke istana juga. Tuan Yoon meneleponnya agar menyamakan jadwal menjahit baju dengan Tuan Hong (yang, tentu saja, disengaja). “Baik. Saya akan menemui Anda di sana.”
“Mm, nggak pa-pa ya, aku masuk istana gitu aja? Takut...”
Mendengar itu, Tuan Kim tertawa pelan. “Penjaga istana tidak akan mengusir Anda. Sebut saja nama Anda dan ingin bertemu dengan siapa. Mereka akan menyampaikannya pada yang terkait. Bila Anda memang dinantikan kehadirannya, Anda akan diundang masuk.”
Tuan Hong mengerutkan alisnya makin dalam.
”...Atau, Anda mau menunggu saya di depan gerbang istana dan kita masuk sama-sama?”
“Iya gitu aja,” sambarnya cepat. “Kalo ada kamu, aku lebih tenang.”
Giliran Tuan Kim yang bungkam. Beberapa saat berlalu hanya ditemani denting peralatan makan sang Omega sampai suapan sorbet terakhir.
“Joshua. Saya ingin menikahi Anda.”
Hampir saja Tuan Hong tersedak. Ia terbatuk-batuk kecil. Mukanya memerah bagai kuntum bunga mawar di taman Tuan Kim.
“K-kenapa mendadak-”
“Saya harap Anda tidak lupa kalau saya masih menunggu jawaban Anda.”
Ah.
Sepoi angin berhembus, membuat helai rambut keduanya menari-nari. Feromon yang dibagi di antara keduanya sudah begitu familier bagi satu sama lain. Tuan Hong bahkan sedikit berbau dirinya, akibat kemeja yang ia kirimkan padanya untuk menemani masa estrus.
Milikku.
Alphanya, dan hatinya, berkata bersamaan.
“Aku...”
Apapun jawabannya, ia hanya bisa menyimpan harap.
”...Mingyu.”
“Ya?”
“Misalkan ya. Misalkan nih. Kalo aku terima lamaran kamu, gimana?”
“Maka saya akan sangat, sangat senang sekali. Akan saya umumkan sesegera mungkin pada semua orang bahwa Anda adalah tunangan saya. Jika perlu, saya akan naik ke menara jam di pusat kota dan meneriakkannya pada semua orang di bawah.”
Tuan Hong tertawa, membuat Tuan Kim ikut tersenyum.
“Ngaco. Kamu nggak bakal segila itu ah.”
“Saya belum pernah berbuat gila seumur hidup saya,” desahnya. “Anda membuat saya ingin melakukannya.”
Keduanya saling bertatapan.
”...Aku membuatmu gila?” simpul senyum Tuan Hong antara takjub dan menggoda.
“Setiap hari.”
Jeda, lagi. Intensitas agak meninggi. Tuan Hong perlu menelan air putihnya untuk menenangkan diri. Estrusnya baru saja selesai, Tuhan, dan Alpha di hadapannya seakan menantang untuk menyalakan api itu kembali.
”...Dan...kalo aku tolak kamu?”
Tidak ada jawaban.
“Kalo...aku nolak nikah sama kamu...,” Tuan Hong dengan ragu memandang sang Alpha. “...Gimana?”
Ia melihat wajah Tuan Kim datar, sebelum kemudian tersenyum lemah. “Jika keputusan Anda seperti itu, maka saya akan menghormatinya,” ada nada penyesalan di sana. “Saya akan mundur dan menghilang dari hidup Anda.”
Jantung Tuan Hong bagai disayat mendengarnya.
“Mingyu...”
“Terus terang, saya tidak bisa berada di dekat Anda bila saya sudah ditolak. Mungkin saya juga akan pindah dari sini.”
“Mingyu,” cemas, kini, Tuan Hong memajukan tubuh ke meja makan. Peralatan makan berkelintingan akibat gerakan tiba-tiba itu. “Kamu...kamu nggak akan...” membunuh dirimu sendiri kan—
“Oh. Tidak. Saya tidak akan...,” sang Alpha menggeleng. Lalu, ia menatap sang Omega tepat di mata. Sorotnya begitu menyedihkan. “Saya hanya akan berusaha tetap hidup dengan separuh hati saya yang tersisa.”
Omega Tuan Hong mendengking di dalam dirinya. Merindukan Alphanya. Menginginkan Alphanya. Seperti halnya Tuan Hong, Omeganya tidak ingin Tuan Kim pergi tanpa kabar seperti itu. Tidak ingin melewati hari tanpa keberadaan sang Alpha. Tidak sudi membayangkan artikel pakaian Tuan Kim yang telah pudar feromonnya dan tidak bisa memperbaharui harum teh itu lagi.
“Tidak seharusnya kita membicarakan ini,” lamunan Tuan Hong buyar oleh ucapan Tuan Kim. “Tolong jangan pikirkan saya. Saya akan baik-baik saja. Anda hanya perlu memikirkan kebahagiaan Anda. Lebih dari apapun, saya tidak ingin Anda menyesal karena telah memilih saya.
Lebih baik saya memiliki hanya separuh hati daripada Anda menderita setiap hari karena menikahi saya.”
Tidak ada yang bisa Tuan Hong katakan lagi. Mereka menghabiskan sisa siang dengan mendengarkan gramofon ditemani kudapan dan teh. Lalu, sebelum petang, Tuan Hong pun pamit pulang.
“Selasa. Saya akan menemui Anda di depan gerbang.”
“Mm.”
“Joshua.”
Elusan di pipinya mengagetkan sang Omega. Kaget, Tuan Kim pun segera menarik tangannya mundur, namun Tuan Hong lebih cepat. Ia menahan tangan itu, menariknya lagi dan menaruhnya di pipinya.
“Sori, aku...tadi cuma kaget. Bukan karena aku nggak mau kamu sentuh...,” tangannya di atas tangan Tuan Kim menekan sedikit. “Kumohon jangan takut menyentuhku lagi...”
Ia tidak mau kembali ke semula, ketika Tuan Kim terlalu enggan menyentuhnya atas dasar sopan santun. Ia menyukai sentuhan-sentuhan sang Alpha.
”...Baik...”
Ibu jari Tuan Kim bergerak mengelus pipi Omeganya.
Tangannya. Kalimatnya. Senyumnya. Feromonnya. Ia menyukai semuanya dari Alpha ini.
”...Saya mohon pikirkan baik-baik dari sisi Anda sebelum memberikan saya jawaban. Jangan pikirkan saya. Sama sekali jangan,” bisiknya pelan. “Saya akan selalu menunggu sampai Anda siap menjawab saya.”
Ya Tuhan...
Tuan Hong mengangguk, menunduk lalu memejamkan mata. Wajahnya merona.
...ia menyukai Kim Mingyu.