narrative writings of thesunmetmoon

Part 82

#gyushuaabo

“Kenapa kalian mutusin mau nikah?”

Yoon Jeonghan dan Kwon Soonyoung mengangkat mukanya dari fokus awal masing-masing untuk menoleh ke Omega termuda di sana. Mereka bertiga duduk di ruang luas di bagian istana khusus keluarga raja. Ibu Suri tengah dilayani oleh penjahit terbaik di kota, sementara ketiga Omega lainnya menunggu ditemani teh dan aneka kudapan mini. Meski Soonyoung nggak akan ikut menghadiri pesta karena keberadaannya adalah rahasia (yang Joshua ketahui dari Mingyu setelahnya), dia berada di sana untuk menghabiskan waktu. Jun, suaminya, sedang berbincang dengan Tuan Raja dan Mingyu di ruangan lain.

“Kenapa nggak?” Soonyoung menelengkan kepala. “Dia harus tanggung jawab lah.” Ditunjuknya perut yang sekarang sudah menonjol, jelas-jelas memberitahu semua orang kalau dia tengah membawa bayi di dalam sana.

Joshua berkedip. “Kamu hamil duluan baru nikah??” ucapnya.

Soonyoung cuma nyengir. “Ya gitulah,” dia mengedipkan sebelah mata. “Kupikir nggak bakal jadi soalnya Jun Beta. Taunya beneran cuss—mateng. Tadinya sih mau kugugurin. Kamu tau sendirilah gimana negara kita. Tapi...”

“Tapi...?”

“Nggak bisa. Nggak mau,” Soonyoung tersenyum lebar. “Aku jatuh cinta sama anak ini.” Tangannya lalu mengelus perut yang membuncit itu. “Dan sialnya aku juga jatuh cinta sama papanya. Aku bakal lakuin apapun buat mereka berdua...”

Joshua takjub. Dia jadi ingat ibunya sendiri. Sendirian membawa anaknya ke negara musuh. Kekuatan seorang ibu itu...mengagumkan ya? Dia menunduk, melihat ke perutnya yang rata. Apakah dia bakal sekuat mereka pas hamil anak Mingyu nanti...?

Si anak menggeleng. Itu masih jauh. Dia nggak mau cepat-cepat punya anak karena dia sendiri masih anak-anak. Dia bahkan masih nggak tau udah siap nikah atau enggak sama Mingyu.

“Kalo kamu?” dia ngalihin perhatian ke Jeonghan.

Omega itu mengangkat bahu dengan santai.

“Aku bertemu Cheol 30 tahun lalu. Dia masih 10 dan aku 8. Kim yang menyeretku bermain bersama mereka di halaman istana,” dia menghela napas. “Sekali kami saling memandang, kami langsung tahu bahwa kami diciptakan untuk satu sama lain. Makanya, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Hong, karena aku tidak bisa tidak menikah dengan Cheol.”

“Wow...”

“Bentar deh,” Soonyoung memajukan badan di sofa tempatnya duduk. “Jadi Kak Cheol sama Kak Jeonghan itu soulmate??”

Omega yang ditanya hanya meringis.

“For real?? Kukira itu cuma mitos...”

“Soulmate tuh yang Alpha-Omega ditakdirkan bareng itu ya? Bukannya cuma boong doang ya?” Joshua menimpali.

“I thought so too. Tapi rupanya beneran ada nih,” dikedikkannya kepala ke arah Jeonghan.

“Eh tapi, kalo kalian soulmate, kenapa 30 tahun nggak nikah-nikah? 30 tahun kan lama buanget??”

“Aku yang minta ke Cheol,” Jeonghan menaikkan kakinya ke atas sofa, mencari posisi pewe. Untuk ukuran warga asli negara itu, dia terbilang cukup eksentrik. Sosok yang enggan mengikuti tata krama setempat dan memanfaatkan gender keduanya untuk hidup sebebas yang dia kehendaki. “Omega atau bukan, aku anak tertua keluarga Yoon. Tugasku melanjutkan usaha keluarga dan memastikan kedua adik perempuanku hidup mandiri, baru aku mau menikah dengannya.”

“Usaha keluarga?”

“Bank,” jawabnya. “Ada di tengah kota.”

Joshua terbelalak kaget, “Yang gede banget itu??”

Jeonghan mengangguk.

“Jadi kamu tuh bankir??”

“Bukan. Novelis,” kekehnya. “Adikku yang pertama sudah menikah. Dia dan suaminya yang mengambil alih setelah aku meminta mereka. Karena aku juga bakal repot setelah menikah dengan Cheol nanti, jadi keluargaku setuju. Sekarang aku penulis amatir di masa senggang saja.”

“Kalo di sini, pendamping raja ngapain aja, Kak?” Soonyoung mengambil bantal duduk persegi dan memeluknya. “Kalo di negaraku, cuma Alpha yang pantes jadi pendamping resmi, jadi mereka juga terjun ke medan perang dan sejenisnya.”

“Di sini, titik beratnya di acara-acara sosial. Selain kunjungan negara, aku juga akan membuat banyak penggalangan dana untuk memperbaiki masalah ekonomi dan sosial kami. Sebenarnya bebas saja sih. Kalau aku mau terjun ke medan perang pun, dipersilakan. Tidak ada hukum yang benar-benar membatasi peran pendamping raja, selain kuasa kami tetap di bawah raja.” Jeonghan meneguk teh lalu menaruhnya ke tatakan lagi. “Kudengar adikmu yang akan melanjutkan takhta?”

Soonyoung mengangguk membenarkan Jeonghan. “Channie Alpha, jadi dia yang diangkat jadi Crown Prince. Aku sih begitu umur 15 dites dan fix Omega, langsung dibuang ke menara,” kekehnya terdengar sarkastis. “Tunangan Channie, Jihoon, juga Alpha. Dia sepupu kami, sekaligus jenderal di kemiliteran kerajaan.”

“Aku tahu. Lee Jihoon,” Jeonghan bergumam. “Aku pernah satu kali menemani Cheol berkunjung ke negaramu. Alpha yang pendiam. Aku tidak bisa menebak pemikirannya sama sekali...”

“Hoon anaknya baek kok,” cengiran Kwon Soonyoung kemudian muncul. “Luarnya aja kayak galak, dalemnya mah receh juga. Malah gampang banget buat dia ketawa.”

“Begitukah?” kernyitan di kening Jeonghan mendalam. “Sulit dibayangkan...”

“Biarpun ditunangin oleh keluarga, mereka saling cinta. Aku seneng karena Channie aman di tangan Hoon,” hela Omega itu. “Adikku itu masih suka kebawa emosi. Makanya Hoon cocok buat dia.”

“Adikmu pengambil keputusan tertinggi setelah ayahmu, bukan?”

Kwon Soonyoung mengangguk. “Makanya. Untung ada Hoon. Kalo nggak, mungkin dia udah ngehancurin seluruh kota demi nyari kakaknya ini,” selorohnya.

Joshua nggak yakin dia seharusnya berada di sini, mendengarkan pembicaraan politik para petinggi kedua negara. Salah-salah, dia bisa ikut terseret sebagai aksesoris dalam mata hukum.

“Mmmm...,” namun, rasa penasaran anak itu jauh lebih besar daripada ketakutannya. “Kamu nggak pa-pa ngomong masalah internal gitu di sini? Negara kita bukannya lagi perang dingin sama negara ini...?”

Jeonghan dan Soonyoung lihat-lihatan, lalu tertawa bersama, membiarkan Joshua kebingungan.

“Benar, kita lagi perang dingin. Tapi aku ada kerja sama dengan Kak Cheol, jadi tenang aja,” kedip lagi sebelah mata. “Nanti kalo kamu udah terikat sama si Kim, aku ceritain semuanya. Sekarang kamu masih rakyat biasa, jadi aku nggak bisa cerita.”

Joshua cemberut.

“Ntar udah nikah pun aku masih rakyat biasa kok...nggak mau jadi anggota keluarga raja...”

“Lho kenapa?”

“Kayaknya repot.”

Jeonghan tertawa lagi. “Setuju,” sambarnya. “Ngomong-ngomong, ‘sudah menikah pun'? Apa ini, Hong~? Kau sudah menerima pinangan Kim, akhirnya~?”

“Justru itu makanya aku nanya kalian...,” keluh si anak. “Bingung banget. Minggu lalu Mingyu nanyain jawabanku tapi aku belom bisa jawab...”

“Kamu nggak suka si Kim?” Soonyoung bertanya.

”...Suka,” jawabnya lirih. “Suka banget...”

“Lalu masalahnya di mana?” kali ini, Jeonghan yang bertanya. Dia nggak paham alasan Joshua gundah gulana segala bila memang mereka berdua saling suka.

Joshua menggeram. “Maksudku...,” keluhnya. “Aku suka dia. Kalo diajak pacaran kayaknya oke-oke aja. Tapi kalo nikah...”

“Aah...,” Soonyoung langsung menangkap maksudnya. “Bener juga. Di sini nggak ada masa pacaran. Langsung tunangan.”

“Ya kan??” sontak, si anak menangkup kedua tangan Soonyoung. Senang, karena akhirnya ada yang sepemahaman. “Di sini tuh kalo emang naksir, arahnya pasti nikah. Nggak bisa apa ya, kalo naksir tuh jadian aja dulu?? Kalo emang jodoh kan bakal nikah juga!” 😔

“Yaudah bilang aja sama si Kim kayak gitu,” usul Omega yang lebih tua darinya itu. “Masa sih dia nggak mau ngabulin.”

“Tapi kamu tau sendiri Mingyu gimana orangnya...,” ujarnya sedih. “Kalo pacaran tanpa premis nikah, aku nggak yakin dia bakal setuju...”

“Dia tidak akan setuju,” timpal Jeonghan, membuat kepala mereka tertoleh padanya. “Kim lebih kolot dari siapapun, bahkan dibandingkan Cheol. Rasanya mentalnya tertinggal di masa 80 tahun silam. Kalau kau bilang padanya kau ingin bersamanya di luar pernikahan, taruhan denganku, dia akan menarik mundur dirinya sendiri. Atau, jika dia mengiyakan, maka dia akan memperlakukanmu sama seperti sekarang ini.”

Sama. Seperti masa courting. Tanpa sentuhan yang lebih dari elusan naif di pipi.

“Nggak mauuu~” rengek si anak. Stress, kebanyakan berpikir hal yang seharusnya baru dia pikirin lima, sepuluh tahun ke depan. “Aku mau cium dia. Aku mau pelok dia. Nggak mau kayak gini-gini aja~“

“Kenapa kau tidak sepertiku? Terimalah pinangannya, lalu tangguhkan pernikahan kalian. Aku yakin Kim akan menantimu meski puluhan tahun sekalipun,” merasa kasihan, Jeonghan mendekat untuk menepuk-nepuk kepala Omega termuda itu. “Dia pasti paham kalau kau belum siap.”

“Tapi...Mingyu udah tua...,”

(37 dibilang tua...Author pukul kamu ya bocil 😐)

(eh sori bocor isi hati ehe)

“Kamu ketemu Alpha kamu pas masih kecil. Enak, kalian bisa nunggu bareng. Kalo Mingyu aku suruh tunggu, bisa-bisa dia keburu kakek-kakek...”

“Lha emang kudu nunggu berapa lama sih?” Soonyoung jadi ngakak dibuatnya. “Emang kamu umurnya berapa?”

“Aku 17...”

“Terus si Kim?”

“Kemarin 37...harusnya,” Joshua menekuk alis.

“Nih ya. Kamu misalnya perlu 8 tahun buat fix 'oke aku siap nikah'. Kamu 25, Kim 45. Nggak ketuaan amat ah. Masih bisa kalo mau punya anak selusin juga.”

“Tapi artinya 8 tahun nggak ciuman dong...,” dimainkannya jari-jemari. “Nggak ditemenin estrus juga...”

Jeonghan lagi-lagi ketawa. Soonyoung, saking gemasnya, rasanya pingin cubit pipi anak itu.

“Serah lu dah aaahh! Kalo emang mau gituan juga, ya lu terima aja lamaran si Kim, nikah, puas-puasin ngewe. Punya anaknya aja yang pending ampe lu bedua siap! Dah kelar! Pusing gue!”

Tawa Jeonghan terlontar lebih keras. Joshua antara cengo dan merona mukanya. Jarang-jarang dengar seorang pangeran ngomong bahasa jalanan begitu. Tapi, masuk akal juga sih. Kalau opsi pacaran biasa aja nggak ada, dia bisa melihat dirinya menikah dengan Mingyu. Kalau dibilang siap...mungkin 50:50.

Tapi kalo punya anak...still a big no-no.

Joshua belum siap. Nggak mau jadi mahmud. Maunya bulan madu terus aja sama suami sampe mereka udah siap jadi orangtua...

Uuhh, muka Joshua jadi lebih memerah lagi. Omega di dalamnya juga agak bersemangat karena khayalan akan potensi bayi. Adalah kewajaran bagi seorang Omega merintih, memohon untuk dibuahi selama terangsang, apalagi di masa estrus. Namun, Joshua yakin Mingyu nggak akan mengabulkan permohonan palsu itu di luar consent Joshua dalam keadaan sadar.

Mungkin memang itulah jawaban yang dicarinya, terselip di antara rentet bahasa jalanan pangeran negaranya sendiri yang menyasar di istana negara musuh.