Part 85
🔞 slight NC-17
Tuan Seo menutup pintu dengan agak dibanting. Bunyinya nyaring, diiringi kelinting bel kecil di atasnya. Dalam sekali putar, pintu kemudian terkunci. Malam belum turun dan langit masihlah diwarnai semburat jingga ketika Tuan Hong melambaikan tangan perpisahan, yang dibalas sang Beta dengan gestur yang sama. Ia berdiri di depan toko sampai punggung Tuan Hong menghilang di antara kerumunan orang-orang yang bertolak pulang.
“Kau marah.”
Melengos, ia tidak mengindahkan tuduhan suaminya barusan. Sang Beta (pura-pura) merapikan pembukuan dan sisa-sisa bahan racikan obat dari konter. Kemudian, ia mengambil gagang sapu dan mulai berkutat dengan debu di lantai kayu yang ia pijak. Sengaja ia bersenandung tanpa lirik, merdu memenuhi toko yang kini sepi.
Dokter Jeon melipat lengan di dada dan bersandar ke dinding, memperhatikan tingkah laku suaminya itu. Merajuk, simpul sang dokter. Sialnya, penyebabnya adalah hal yang ia katakan pada seorang Omega dalam ruang prakteknya siang tadi. Masalah orang lain, bukan masalah mereka.
Tuan Seo masih menyapu ketika Dokter Jeon memutuskan untuk mendekat dan merenggut lengan atasnya.
“Myungho.”
Risih, sang Beta mengibaskan tangan itu hingga terlepas.
“Kau marah. Kenapa kau marah?”
“Siapa yang marah?” diliriknya pandangan ke objek lain, yang penting bukan ke arah suaminya.
“Sayang... Lihat aku.”
...Curang. Suaminya tahu persis bahwa nada lembut itu sanggup meluluhkan hatinya kapan saja. Mau tak mau, Tuan Seo perlahan menoleh hingga Dokter Jeon mengunci mata mereka.
“Aku tidak ingin kita bertengkar karena problema orang lain. Apakah semua ini perlu?”
“Kau kan bisa berkata lebih lembut lagi padanya, Won...”
“Padanya?” kernyit Dokter Jeon. “Pada Tuan Hong?”
Tuan Seo tidak merespon, sebab itu tidak diperlukan. Dokter Jeon pasti paham siapa yang ia maksud.
“Untuk apa aku berkata lembut padanya? Dia punya Tuan Kim untuk itu,” bantahnya, enggan mengalah. “Aku dokternya, bukan suaminya. Aku harus memberitahu hal yang perlu dia ketahui sebelum mengambil keputusan penting seperti menikah dengan Alpha yang dia tidak kenal sosok aslinya. Aku hanya menolongnya. Yang dia perlukan adalah mengetahui fakta, bukan yang mengamini delusinya akan Tuan Kim.”
“Aku tahu!” Tuan Seo jarang membentak, namun kali ini dirinya cukup frustasi. “Aku paham! Kau tidak salah! Tuan Hong juga paham! Tapi...cara bicaramu...aku tidak menyukainya...” Kepalanya menggeleng. “Anak itu masih 17, Wonwoo... Kau tidak perlu begitu keras padanya...”
“Anak seusia dia sudah bisa berpikir dengan otaknya, Myungho! Dia akan menikah, demi Tuhan! Mungkin kau yang harus berhenti memanjakan anak itu!”
“Aku tidak memanjakannya!”
“Kau memegangi tangannya terus seharian ini!”
Hening. Dada sang dokter mengembang dan mengempis. Tuan Seo mengernyit makin dalam. Mereka saling melotot satu sama lain.
“Wonwoo,” Tuan Seo membalas dengan dingin. “Kita sudah pernah membahas ini—”
“Kau tidak suka aku berkata keras padanya?! Aku tidak suka kau terus menyentuhnya!” bentakan Dokter Jeon menggema di ruang yang kosong itu. Langkah lebarnya meniadakan jarak di antara mereka. Tangkupan tangan menemukan kedua pipi Tuan Seo. “Kau suamiku. Milikku. Bauku.”
“Won—” Tuan Seo berusaha berontak, namun suaminya lebih kuat. “Kau harus menahan posesifmu padaku! Tidakkah kau percaya padaku?”
“Aku percaya padamu, Myungho,” gertakan gigi. “Tapi kalau kau selalu lembut pada orang lain, aku tidak percaya pada diriku sendiri untuk sanggup terus mengikatmu ke pernikahan ini...”
...
Tuan Seo menghembuskan napas yang tertahan, lalu mengelus pipi suaminya. Dokter Jeon mengambil tangan itu untuk mengecupnya penuh perasaan.
“Jeon Wonwoo, jangan lancang kau,” Tuan Seo berkata datar, namun tegas, membuat bulu kuduk di tengkuk suaminya berdiri. “Aku yang memilihmu, bukan sebaliknya. Aku yang memutuskan kau harus menikahiku.”
“Sayang...”
“Kau yang milikku,” diangkatnya dagu sang dokter dengan ibu jari. “Kalau kau tidak bisa kuberitahu, baiklah. Silakan. Kalau kau mau cemburu, cemburulah. Posesiflah. Inginkan aku selalu seperti aku menginginkanmu...”
Mereka makin maju. Dada yang saling bersentuhan, juga kening yang bergesekan. Hembus napas dibagi oleh satu sama lain; cepat, terburu-buru. Ruangan telah dipenuhi feromon Beta serta sesaknya gairah.
”...Tapi ingat,” Tuan Seo berbisik. Kelopak matanya setengah terpejam saat bibir Dokter Jeon hampir menyentuh bibirnya. “Sampai kapanpun, kau milikku...”
Tarikan napas tiba-tiba. Bibir suaminya melumat bibirnya. Lengannya merangkul pinggang Tuan Seo, menariknya agar melekat pada tubuhnya sendiri. Dua bibir yang saling mengenal sejak lama sekali, bergerak dengan pemahaman yang hanya dimiliki dua orang yang telah menikah.
Bibir mereka menempel erat tanpa menyisakan jeda dan hanya terpisah ketika Dokter Jeon mundur sedikit, dengan cepat mencopot kacamatanya, lalu langsung mengklaim bibir itu kembali.
Dokter Jeon menggigiti bibir bawah Tuan Seo. Favoritnya, ketika bercumbu, adalah meninggalkan tanda di sekujur tubuh suaminya. Tuan Seo mendesah ke mulut suaminya, menyukai semua gigitan kepemilikan dari kekasihnya itu. Ia balas dengan menjilat giginya, sebelum sang dokter membuka mulut dan mengaitkan lidah mereka berdua. Mengetahui, bahwa favorit Tuan Seo adalah jilatan; di mulutnya, di puncak dadanya, di belakang sana...dimana-mana.
Saat Tuan Seo sibuk menyesap lidah suaminya, sang dokter kemudian mengangkatnya ke dalam gendongan. Refleks, kakinya melingkari pinggul suaminya, berpegangan di sana. Namun, alih-alih membawa Tuan Seo ke tempat tidur, Dokter Jeon mendudukkannya ke atas konter.
“Oh—” bunyi kecupan terlepas nyaring terdengar. Gemanya membuat hasrat sang Beta meningkat kala membayangkan terakhir kali mereka bercinta di toko yang kosong itu. Suara-suara tak senonoh memantul dengan begitu jelasnya, menambah gairah mereka berdua, apalagi jika mengingat risiko tetangga mereka mengetahui perbuatan kotor tersebut dilakukan di tempat yang tidak sepatutnya. “—di sini?”
Dokter Jeon terkekeh. Kacamata sang dokter ditaruh begitu saja di sudut konter. Rambutnya sudah acak-acakkan. Kerah kemejanya terlepas, dari celahnya Tuan Seo bisa melihat keringat mewarnai leher sempurna suaminya. Mengalah pada hasrat, Tuan Seo menyecap leher itu.
“Ngh—Ya, di sini,” desahnya. “Atau ruang praktekku. Kau yang pilih, Yang Mulia.”
“Di sini,” digigitnya kelenjar feromon Dokter Jeon hingga ia mengerang. “Di sini saja. Biar aku mengingatmu—” Tangan Tuan Seo meremas bagian depan celana suaminya. Senang, ketika bagian itu sudah mengeras. “—tiap aku melayani pasien kita.”
“Anak bandel.”
Kekehan.
“Dan kau menyukainya, Won.”