narrative writings of thesunmetmoon

Part 86

#gyushuaabo

🏖️ Bulan Juli

Bulan dimana udara mulai memanas itu dimasuki Tuan Hong dengan ceria. Setelah menutup Juni dengan hati yang jauh lebih ringan, sang Omega menapak di sisi Alphanya dengan kepercayaan diri yang meluap-luap.

Tuan Kim mengulurkan tangan untuk Tuan Hong ambil saat kereta kuda pribadi milik sang Alpha menurunkan mereka di berbagai acara sosial terkemuka. Senyum lembut yang mereka bagi berdua pun membuat para hadirin berbisik-bisik.

Kegemaran akan rumor, sisi negatif masyarakat sini.

Tuan Hong setahun lalu akan mendorong sang Alpha jauh-jauh, risih oleh tatap mata asing padanya. Tuan Hong hari ini menggamit tangan Tuan Kim lebih erat lagi sebelum meringis jahil.

‘Kalo mereka mau ngomongin kita, ya kita kasih aja lebih banyak bahan omongan!’ begitulah kira-kira arti ringisan itu.

Tuan Kim lalu membalasnya dengan senyuman lebih lebar dan kecupan di punggung tangan Omeganya.

‘Baik,’ balasan yang disalurkan via gestur tersebut.

Pada akhirnya, perlahan tapi pasti, bisikan berubah menjadi restu bercampur iri. Kaum terpandang di negeri itu berangsur-angsur melihat mereka seperti apa adanya: seorang Alpha yang sedang mendekati seorang Omega, yang secara gamblang menunjukkan bahwa ia menyenangi pendekatan tersebut. Tentu, dengan bantuan tak langsung dari Tuan Lee dan Nyonya Kang berupa cerita akan kebaikan hati dan kehormatan status Tuan Kim pada mereka yang kurang mengenal sang Alpha, serta bualan Tuan Yoon yang meninggikan status Tuan Hong dari rakyat biasa menjadi ‘sahabat calon pendamping raja’, apalagi Tuan Hong adalah Omega yang amat berharga, hal yang sempat bernada negatif kini berubah positif. Saat Tuan Hong berjalan bersama Tuan Kim di taman kota, bisikan yang dulu menyertai dengan cepat tergantikan oleh senyuman dan sapaan hangat, yang dibalas sama hangatnya oleh Alpha dan Omega itu.

Saat Tuan Hong pergi berbelanja, para penjaga toko pasti menyambutnya dan bertanya bagaimana kabar sang Alpha. Mereka juga bertanya apakah rumor itu benar, bahwa dia dan Tuan Kim sudah resmi berpasangan. Pipi sang Omega akan langsung memerah sebelum membantah malu-malu. Tentunya tidak ada yang percaya bantahan tersebut, namun kebanyakan dari mereka enggan memperpanjang masalah dan hanya mengangguk saja sambil, diam-diam, menanti pengumuman tanggal pernikahan.

Yang menarik, para penjaga toko kemudian membagikan cerita mereka masing-masing akan tingkah laku Alphanya saat kasmaran dulu: mengikuti jejak keberadaan Tuan Hong dari toko ke toko, pura-pura membeli barang agar bisa mencium sisa wangi feromon samar-samar sang Omega yang tertinggal, sampai mengingat pesanan rutin keluarga Hong. Nyonya Oh, pemilik toko kelontong, bahkan mengakui bahwa buket bunga kala itu adalah titipan Tuan Kim sesaat sebelum kedatangan Tuan Hong.

“Alpha Anda seperti orang yang takut kehilangan satu-satunya cinta dalam hidupnya, jadi manalah saya tega menolak permintaan itu,” tawanya, menggoda Tuan Hong hingga wajahnya merona kentara. Nyonya Oh lalu tersenyum. “Tapi, saya rasa Anda tentu tahu sejak awal buket itu dari siapa dan bermakna apa.”

Ia tahu. Sangat tahu. Makna bunga sebagai permintaan maaf telah menunjukkan ketulusannya. Meski Dokter Jeon dan Tuan Seo telah menghimbau agar ia mulai melihat Tuan Kim sebagai seorang Alpha, ia tidak bisa mengenyahkan fakta betapa lembut Alphanya itu di kehidupan sehari-hari.

Senaifnya manusia, pastilah bisa merasakan apakah seseorang benar tulus atau berlaku baik tapi ada maunya. Tuan Kim tidak pernah memikirkan itu semua, seakan kebaikan dan kelembutan telah mendarah daging dalam dirinya. Sifat? Atau tataran dari belia? Mungkin juga keduanya.

Stalker.”

Tuan Kim terbatuk. Mereka berada di taman, menggelar alas piknik di dekat danau lengkap dengan sebotol anggur dan roti tangkup buatan juru masak sang Alpha. Ia tengah meneguk anggurnya saat Tuan Hong menuduhnya.

“Ap—apa—”

“Aku denger dari pemilik toko kelontong kalo kamu suka ngikutin aku,” digigitnya sepotong roti tangkup. Kunyah, kunyah, kunyah—telan. “Juga dari tukang daging, tukang roti...oh ya, pemilik kedai teh juga bilang gitu.”

Makin merahlah wajah sang Alpha tiap toko disebut. Ia menunduk, menangkup muka karena malu teramat sangat.

“Maafkan saya...,” sesalnya. “Tapi saya tidak mau Anda marah karena melihat saya berkeliaran dekat Anda, jadi saya...”

“Stalking?”

Desah napas panjang, “Maafkan saya...”

“Nggak apa,” kunyah, kunyah. “Kalo kayak gitu—” Kunyah. Telan. “—kamu kayak Alpha.”

”? Maksud Anda?” Tuan Kim, kini bingung, menelengkan kepala sedikit.

Tuan Hong hanya menggeleng, lalu mengalihkan topik pembicaraan ke isi roti tangkup favorit mereka masing-masing. Tuan Kim memilih daging sapi asin dan buah zaitun, sedangkan Tuan Hong memilih daging babi tipis, mayones serta cacahan telur rebus. Mereka lalu membahas ke makanan lain dan hari itu berakhir dengan mereka yang dimarahi petugas setempat karena memberi makan bebek di danau dengan sisa roti mereka.

Cuaca cerah di minggu kedua menghantarkan sang Omega ke pacuan kuda. Mengenakan salah satu kemeja terbaiknya, Tuan Hong duduk di samping Tuan Kim. Bila hadirin yang lain lebih ke arah berpiknik, maka mereka berdua murni menikmati pacuan itu sendiri. Tuan Kim mengajarkan Tuan Hong untuk memilih kuda yang bagus. Sang Alpha menjelaskannya dengan bahasa sederhana hingga mudah ditangkap seorang awam sekalipun.

Karena faktor usia, Tuan Hong memasang taruhan atas nama Tuan Kim, memilih kuda yang perawakan dan gerak-geriknya seperti yang telah diajarkan sebelumnya. Begitu ronde dimulai, ia menonton dengan seru. Tangan terkepal dan mulut berteriak mendukung kuda pilihannya. Moncong kuda itu masuk duluan ke garis akhir, membuat Tuan Hong tanpa sadar melompat dari bangkunya. Tuan Kim, refleks, melingkarkan lengan ke pinggang Tuan Hong.

“Joshua! Hati-hati!”

“Menang! Mingyu, kita menang!”

Tuan Hong langsung memeluk Alphanya. Tanpa ia sadari, sirkuit otak sang Alpha agak rusak sedikit ketika tubuh hangat itu menempel pada tubuhnya. Responnya lambat, tidak tahu harus memeluk balik atau menepuk-nepuk punggungnya, atau justru harus mendorongnya menjauh. Namun, sebelum Tuan Kim sempat bereaksi, Tuan Hong sudah melepas pelukan mereka dan bertepuk tangan ketika kuda yang menang berparade melewati penonton.

Tuan Hong memberikan seluruh hasil kemenangan mereka pada Tuan Kim, yang segera ditolak. Alphanya itu meminta Tuan Hong untuk menyimpannya karena ia hanya meminjamkan nama. Tuan Hong bersikeras untuk setidaknya membagi dua, meski lagi-lagi ditolak.

Akhirnya, Tuan Hong menerimanya, namun sengaja dibawanya Tuan Kim ke restoran mahal yang bergengsi. Ia menghabiskan seluruh hasil kemenangan mereka untuk memesan hidangan begitu banyak hingga mereka pulang dengan perut agak membuncit dan sedikit kesakitan akibat kekenyangan. Besoknya, Tuan Hong dan Tuan Kim sama-sama menolak sarapan yang dihidangkan di rumah mereka masing-masing.

Karena Tuan Kim jelas penyuka kuda, Tuan Hong pun meminta diajari naik kuda. Pagi-pagi sekali di akhir minggu kedua, sang Omega sudah berada di halaman kediaman Tuan Kim. Ia dibantu Alphanya naik ke atas seekor kuda. Walau harus bersusah payah, sang Omega pun berhasil naik.

Alangkah kagetnya ia saat Tuan Kim naik ke kuda yang sama dan duduk persis di belakangnya.

“K-kok barengan gini??”

“Rute kita adalah bukit kecil di belakang rumah saya,” sang Alpha menunjuk arah yang dimaksud. “Jalannya tidak sulit, tapi tidak semulus padang rumput juga. Anda belum pernah naik kuda sebelumnya, jadi saya akan menjaga Anda seperti ini.”

“Tapi...harus banget sekuda berdua??”

Tuan Kim mengernyitkan alis, kebingungan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” ia benar-benar tidak paham inti masalahnya.

Akhirnya, Tuan Hong bungkam, tidak protes apapun lagi. Mereka berkuda dengan tenang menaiki bukit. Tuan Kim menjelaskan beberapa flora dan fauna yang mereka temui sepanjang perjalanan. Meski begitu, fokus Tuan Hong terbelah antara kekayaan alam sekitar mereka dan...tubuh Alphanya yang menempel lekat pada tubuhnya.

KEDEKETAANNN! MINGYUUU, JAUHAN DIKITT NAPA SIHHH???

“Joshua, lihat.”

Saat tersadar, mereka rupanya sudah sampai di puncak. Di depan mereka adalah pemandangan kota di bawah bukit. Sinar matahari pagi jatuh dengan lembut di atas kota yang baru saja bersiap memulai aktivitasnya. Langit yang cerah tanpa awan pun menaungi mereka. Nyanyian tonggeret, juga gesekan sayap serangga lainnya, terdengar di antara desir angin yang menerpa dedaunan hijau, menambah suasana syahdu musim panas itu.

Whoa...”

Tuan Kim tersenyum ketika Tuan Hong tanpa sadar bersandar padanya. Punggung ketemu dada. Dagu ketemu kepala. Mereka duduk di sana, sepasang Alpha dan Omega di atas kuda, dalam diam mengagumi kota tempat tinggal mereka.

“Saat malam,” bisik Alphanya. “Langit di sini dipenuhi taburan bintang. Begitu indah, berkerlap-kerlip terang.”

Tuan Hong perlahan menoleh ke belakang sebisa mungkin.

”...Seperti kilau mata Anda saat sedang bahagia,” lanjutnya.

Senang, sang Omega menunduk malu-malu. Feromon mereka dilepas bebas, berpadu dengan harmonis. Mereka pun menghirup aroma satu sama lain. Sang Alpha mengelus pipinya ke sisi kening sang Omega. Membaui, menandai, meninggalkan jejak masing-masing di jengkal kulit.

Saat Tuan Kim hendak menempelkan pipi mereka, tidak sengaja, Tuan Hong menoleh. Bibir sang Omega mengelus pipi Alphanya. Kecupan kecil, namun sanggup melejitkan jantung sang Alpha.

“Joshua...barusan...”

Meski ragu di awal, Tuan Hong menelan rasa malunya karena salah bertindak dan malah menangkup pipi Alphanya dengan satu tangan. Lembut, ia mengecup, lagi, pipi yang tidak ditangkup.

Debaran jantung. Irama tak teratur bagai genderang yang mendominasi indra pendengar Tuan Kim. Feromonnya menguat, membuat Tuan Hong menyadari Alpha yang terbangun dalam diri Tuan Kim. Kini, setelah ia memperhatikan sang Alpha lebih seksama, ia menyadari perbedaan sorot mata itu. Yang biasanya bersinar hangat, kini berkilau berbahaya.

Ah...

”...,” Tuan Kim menelan ludah. “S-saya—”

...dia bener-bener udah nahan lama banget ya...

“Ayo pulang...,” hembus Tuan Hong. Ia berbalik badan, kembali menatap depan. “Aku capek.”

Dalam diam, Tuan Kim menuruti kehendak Omeganya. Setelah semenit berusaha mengendalikan diri kembali, ia menghela tali kekang dan membawa mereka menuruni bukit. Ia pikir Tuan Hong marah padanya, entah mengapa, tapi ketika ia mengantarnya pulang, Tuan Hong mengecup pipinya untuk terakhir kali sebelum buru-buru turun dari kereta kuda, meninggalkan seorang Alpha yang terduduk kaku, memegangi pipi sambil termangu bagai korban sihir peri hutan.

Mereka mendatangi beragam acara sosial lainnya setelah itu di minggu ketiga. Balap perahu. Pertandingan polo. Jamuan makan siang. Pesta dansa. Mereka menyelinap keluar dari aula pesta untuk beristirahat di halamannya. Mengobrol, bersenda gurau, bertukar feromon. Dan, ketika Tuan Kim mengantar Tuan Hong sampai ke rumah, sang Omega akan berjinjit dan mengecup pipi Alphanya.

Semua mengalir begitu saja dengan alamiah. Bunga-bunga di taman dan di dalam hati Tuan Kim mekar dengan indahnya. Sang Alpha menunggu dan menunggu, dengan setia mendamba hari dimana cinta satu-satunya akan memberikan jawaban yang dinantinya selama ini.

Hingga tibalah hari terpenting di tahun itu.

Hari pernikahan sang raja.