narrative writings of thesunmetmoon

Part 9

#gyushuaabo

(“Koran! Koran pagi! Silakan, Tuan, berita terbaru hari ini! Sekelompok pencuri nekat memasuki istana-”)

(“Permisi! Maaf, berikan jalan, tepung-tepung ini perlu segera ke tukang roti! Maaf! Whoops, hampir saja, permisi, Nona. Maaf!”)

“Mah.”

“Hmm?”

“Kenapa sih aku harus nemenin Mama belanja tiap hari?” Joshua cemberut. “Kemaren kan udah.”

“Kalo Mama nggak belanja tiap hari, itu sayur yang kamu makan nggak bakal seseger itu,” ibunya mengernyit sambil mendecak kesal. “Baru gini aja kamu udah ngeluh? Inget kita tinggal di mana sekarang.”

Mengalah, anak itu cuma menggembungkan pipinya, tetap mengintil ibunya memasuki toko kelontong. Suara bel di pintu senyaring ucapan selamat datang dari arah meja kasir. Sepatu Joshua berkelotak di lantai kayunya. Rak-rak tinggi menopang berbagai toples gelas berisikan tepung kentang dan selai buah, berkaleng-kaleng susu evaporasi dan sarden, juga kotak-kotak kraker sayuran. Di lantai, sak-sak bijih kopi dan gandum yang sudah digiling berdiri di sebelah garam dan gula. Telur ayam segar. Merica hitam. Kayu manis. Batang vanila. Wangi rempah-rempah bercampur dengan bau kayu yang kuat saat anak itu menarik napas panjang.

“Sila-OH!” wanita Beta berkacamata itu tersenyum makin lebar saat dia melihat siapa yang datang. “Nyonya Hong! Silakan masuk, silakan masuk!” Bergegas dia menghampiri, mengangkat sisi gaunnya sedikit. “Dan Tuan Muda Hong! Selamat pagi, Tuan, Anda begitu cantik setiap harinya!”

Dan, kayak biasa, Joshua hanya tersenyum manis tanpa berkata apa-apa, sudah muak dibilang 'cantik' entah berapa kali dalam sehari oleh entah berapa orang, yang dia kenal ataupun enggak. Pas baru pindah sih dia ngerasa B aja, tapi ini sudah bulan ketiga dia menjalani kehidupan barunya bersama ibunya. Mulai pengang kuping anak itu akan pujian masyarakat di sekitarnya pada Omega.

Joshua mau nggak mau jadi paham perasaan Yoon Jeonghan, seriusan deh.

“Selamat pagi, Nyonya Oh,” ibunya balas tersenyum sopan. “Anda begitu ceria hari ini.”

“Ah, Nyonya Hong, Anda memang jeli!” wanita paruh baya itu terkikik. Joshua harus berusaha keras nggak memutar bola matanya. “Persis sebelum Anda datang, Tuan Kim baru saja dari sini.”

Tuan Kim.

Detik itu juga, jantung si anak mencelos. Namun, di permukaan, dia berusaha menjaga parasnya tetap tenang dan feromonnya terkendali. Tiga bulan berlalu dan dia masih aja ingat akan kejadian di pesta dansa laknat itu. Memang sih, mereka nggak bertemu lagi. Lelaki yang lebih tua darinya itu bagai tertelan ke perut bumi. Tapi, bukan berarti bagian-bagian dari lelaki itu lenyap seluruhnya.

Joshua masih bisa menemukan sosoknya berjalan melintasi deretan pertokoan, jauh dari tempatnya berdiri menemani ibunya membeli tiga potong daging babi untuk makan malam. Sambil menunggu tukang daging membungkus pesanan mereka dalam kertas coklat, Joshua tanpa sadar mengerling sesekali. Tubuh tinggi di sudut mata. Tegap dan yakin saat berjalan. Tipikal Alpha yang mengetahui persis derajatnya di strata sosial, tapi nggak mengumbarnya dengan pongah. Lelaki yang dipanggil Tuan Kim itu merasa nyaman dalam lapisan kulitnya.

Dan Joshua, meski dia membenci Alpha sampai ke sumsum tulang belakang, nggak bisa berbohong kalau dia iri dengan fakta itu. Dia pun ingin bisa seperti itu. Merasa nyaman sebagai Omega. Menerima Omega di dalam dirinya dengan sepenuh hati.

Yang mana sangat sulit. Jika Joshua terlahir Alpha, dia yakin dia juga bisa dengan cepat merasa nyaman menjadi dirinya sendiri.

Anak itu kemudian menggelengkan kepala mengusir pemikiran tolol barusan. Dan, saat dia mendongak, biasanya sosok Tuan Kim sudah hilang.

“Begitukah?” ibunya ketawa, agak sedikit maksa. Akting yang kurang sempurna. “Sepertinya Tuan Kim benar-benar orang penting di daerah sini ya?”

Sang penjaga toko melihat mereka dengan takjub, mungkin agak menganggap mereka gila. “Apa maksud Anda, Nyonya Hong?” ujarnya. “Tentu saja Beliau orang penting! Tuan Kim seorang Alpha!”

Ibunya mengangguk-angguk, setengah hati meminta maaf. Joshua, lagi-lagi, berusaha keras buat nggak mutar bola matanya. Ya terus kalo Alpha, emangnya kenapa...? Sumpah aneh banget memang orang-orang di sini. Joshua mau cepet-cepet lulus sekolah dan cabut dari sini rasanya, terserah ke mana, yang penting ke tempat yang lebih maju pemikirannya.

“Sekarang saya tanya, Nyonya Hong. Berapa banyak Alpha yang Anda jumpai selama Anda tinggal di sini?”

“Oh...,” ibunya kaget, lalu segera mengingat-ingat. “Maaf, saya...saya juga tidak bertemu banyak orang, mm...sepertinya saya kurang pantas menjawab pertanyaan Anda...”

“Tuan Raja,” Joshua mendadak menyela. “Beliau tentu adalah Alpha. Tuan Kim...juga.”

“Benar,” penjaga toko mengangguk. “Lalu?”

Joshua mengernyitkan alis. Nggak mampu menjawab.

“Tuan Seo seorang Alpha, tapi anak gadisnya Beta. Mungkin Beliau Alpha terakhir keluarga Seo,” hembus Nyonya Oh. “Nyonya Choi juga Alpha. Anak lelaki tertuanya Omega. Namun, malang, anak itu wafat bersama ibunya ketika masih belia. Anak kedua dan ketiga Nyonya Choi dari pernikahan kedua terlahir Beta.”

Joshua mulai menangkap ke arah mana obrolan ini.

“Karena Omega amat langka, begitupun Alpha di sini. Memang masih lebih banyak Alpha, tapi dibandingkan kami yang Beta, mereka tergolong langka,” akhirnya Nyonya Oh masuk ke inti pembicaraan. “Alpha hanya bisa terlahir dari Omega. Namun, bagi kami, Omega adalah sosok yang sangat berharga, sehingga, apabila seorang Omega berkehendak menikahi Beta, bukannya Alpha, maka tidak ada yang bisa membantahnya. Dan tidak sedikit Omega yang pada akhirnya memilih Beta.”

Dia menghela napas.

“Kami jujur sangat senang ketika Tuan Raja memilih Tuan Yoon sebagai pendampingnya. Alpha dan Omega. Anak-anak mereka akan menjadi harta berharga bagi kami, bukan karena mereka penerus kerajaan saja, tapi karena dari mereka, akan lahir Alpha dan Omega lebih banyak lagi. Negara tanpa Alpha dan Omega akan sangat mengkhawatirkan, apalagi jika negara lain mendengar dan memutuskan untuk mengklaim kami.”

“Ah, Nyonya Oh, tapi itu kan masa lalu. Sekarang tentunya tidak—”

“Nyonya Hong, yang saya maksudkan adalah negara Anda sendiri.”

Ibunya langsung menutup mulut. Joshua pun begitu. Bibirnya rapat membentuk garis lurus.

”...Mohon maafkan saya. Saya sudah lancang.”

“Ah, t-tidak, saya juga sudah lancang...”

“Tapi perlu Anda ketahui, Nyonya Hong, kami di sini sama sekali tidak berpikir buruk mengenai Anda. Jika ditanya, kami justru senang, apalagi putra Anda yang Omega juga bersama Anda. Kami sangat senang jika ada Omega atau Alpha memutuskan untuk tinggal di negara kami dan kami berharap mereka menemukan kebahagiaan mereka di sini.”

Nyonya Oh sejenak kembali ke belakang konternya, kemudian keluar lagi. Dia meminta Joshua mengulurkan tangannya. Saat anak itu menurut, tiba-tiba saja sebuket bunga yang kelopak-kelopak birunya berkumpul membentuk bulatan manis berpindah ke tangannya. Hydrangea. Bersama baby's breath membentuk buket mungil yang cantik.

“Apakah Anda tahu, Tuan Hong, bahwa setiap bunga memiliki bahasanya masing-masing?”

Joshua mengedip, lalu mengangguk perlahan. Penjaga toko kelontong itu tersenyum.

“Jika begitu, Anda pasti paham. Buket itu titipan Tuan Kim pada saya.”

Joshua diam lagi, dan, kembali, dia mengangguk pelan.

Tentu saja.

Hydrangea biru.

Permintaan maaf.