Part 92
Hiruk pikuk terdengar nun jauh di sana. Setelah prosesi usai dan uskup agung mensahkan pernikahan tersebut, pasangan pengantin baru itu pun melangkah menuju balkon. Ketika pintu balkon dibuka oleh dua orang pengawal, seluruh rakyat menyambut mereka. Puluhan merpati dilepas ke langit secara bersamaan. Balon berwarna pink dan biru menemani gaun dan kemeja para penduduk yang serba putih. Mereka semua turut berbahagia melihat bagaimana saling mencintainya pasangan raja dan pendampingnya itu. Sang Omega tersenyum luar biasa manis di sisi Raja Alpha mereka, membuat hati para penduduk terasa hangat.
Joshua tidak berada di sana untuk menyaksikan semua itu. Entah siapa yang menarik lengan siapa, yang pasti dirinya dan Mingyu kini berada di sebuah gazebo yang cukup tersembunyi oleh semak dan dedaunan. Tanaman rambat berbunga merah kecil-kecil menghiasi kayu yang dicat putih gading tersebut. Cericip burung datang dari pohon di sekitar mereka, melengkapi bunyi semilir angin yang membawa harum kelopak bunga di bawah sengatan matahari.
Terduduk di bangku kayu yang dipernis indah di dalam gazebo tersebut adalah Omega dan Alphanya.
“Joshua, apakah Anda yakin...?”
“Mm,” anak itu mengangguk. “Maaf aku udah buat kamu nunggu. Aku yakin sekarang. Aku mau nikah sama kamu.” Ditangkupnya tangan sang Alpha. “Aku tadi bilang ke Yoon Jeonghan kalo abis nikah pun, dia tetep bisa kok main ke pantai ato ke gunung. Terus aku mikir, iya ya, abis aku nikah sama kamu pun, aku juga masih bisa pergi ke mana aja, ngelakuin apa aja.”
Joshua meringis, lalu menatap Mingyu.
“Kamu masih mau kan, jadi rumah tempatku pulang kalo aku capek bertualang?”
Mingyu meremas balik tangan itu. Dengan tangan satunya, dia menangkup pipi Joshua. “Ya,” ucapnya, belum pernah seyakin itu seumur hidupnya. Matanya berseri-seri. Sang Omega pun bangga karena telah membuat Alphanya begitu bahagia. “Selalu. Selamanya. Saya akan mencemaskan Anda setiap hari selama Anda bertualang, maafkan saya untuk itu, jadi saya mohon Anda tidak melakukan hal yang berbahaya.
Tapi, ketika Anda lelah, pulanglah ke saya. Jadikanlah saya tempat beristirahat Anda dalam perjalanan hidup yang panjang ini...”
Kening mereka bertemu. Joshua tersenyum simpul, agak tersipu. Tentu saja. Rumah sehangat dan selembut ini, siapa yang tidak ingin terus tinggal di dalamnya?
“Mingyu...”
“Ya, Sayang?”
...Oh.
Bagai api dalam perapian, rona merah menjalar langsung ke permukaan kulit Joshua. Matanya membelalak dan mulutnya membuka, tidak sanggup berkata apa-apa. Jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya.
Mingyu, melihat respon Omeganya, pun sumringah, malu sendiri akan ucapannya barusan.
“Bolehkah saya memanggil Anda seperti itu?” bisiknya perlahan. “Saya sudah lama sekali ingin memanggil Anda seperti itu.”
Bagaimana Joshua harus menjawab? Karena kata-kata terlalu sulit untuk dikeluarkan, anak itu cuma bisa memberi sebuah anggukan ragu-ragu sebagai jawaban.
”...,” pandangan sang Alpha dengan gamblang jatuh ke bibir Omeganya. “Ada satu hal lagi yang sudah lama ingin saya lakukan juga, namun saya tidak ingin lancang—”
Kalimat yang takkan pernah tersambung kembali. Joshua tiba-tiba melingkarkan lengannya ke seputar leher Mingyu dan menciumnya di bibir lagi. Seperti suhu tubuh normal para Alpha, bibir Mingyu terasa panas mengenai bibirnya. Karena tidak tahu cara berciuman yang pantas, maka si anak hanya menempelkan bibir mereka, merasakan lembut bertemu lembut yang sedikit berbeda—ada sesuatu yang lebih tegas pada bibir sang Alpha, entah apa.
Diiringi bunyi kecupan kentara, ciuman itu terlepas secepat datangnya. Mata mereka saling mencari satu sama lain, melihat harapan, sukacita, juga cinta, berkobar di sana. Mingyu menggesekkan ujung hidungnya ke hidung Joshua, mengungkapkan rasa sayangnya tanpa kata-kata. Tersipu semakin dalam, anak itu mengecup bibir Alphanya lagi.
Lagi, lagi dan lagi.
“Sayang...,” Mingyu mendesahkan panggilan itu ke bibir Omeganya. Tangan-tangan menangkup wajahnya, membuat sang Alpha tak mampu berkutik dan membiarkan Omeganya terus menciumi bibirnya.
“Mmh...”
Jeda antar kecupan pun kian memendek. Tidak lagi bibir mereka sempat menjauh, dengan satu kecupan langsung disusul kecupan lain. Joshua duduk agak terhimpit di antara sandaran bangku dan tubuh besar Alphanya, namun dia enggan beranjak dari sana. Dalam dekapan Mingyu, dia merasa aman, merasa nyaman.
Ciuman lalu terlepas lagi. Kali ini agak lama, karena mereka harus menghirup oksigen yang sempat berkurang oleh peraduan bibir mereka. Meski begitu, Joshua terus menciumi wajah Alphanya, dari pipi di bawah mata, ke kening, lalu ke ujung hidung.
Mingyu tertawa pelan. Santai dan tanpa beban. Joshua menyukai tawa itu. Tawa yang pantas untuk terus berada di wajah satu-satunya Alpha dalam hidupnya.
“Gimana aku bisa liat kamu ketawa terus kayak gini...?” dielusnya sekitar mata Mingyu. Ada sedikit kerut lelah di sana, namun elusan Omeganya membuat sang Alpha memejamkan mata, nampak lebih rileks.
“Tersenyumlah,” pintanya. Mata kembali membuka. “Bila Anda bahagia, maka saya pun juga.”
Cinta. Luruh dan meresapi setiap pori-pori kulitnya. Bagaimana seseorang bisa begitu lembut dan gagah sekaligus, dia tidak tahu. Yang dia tahu, Mingyu membuatnya merasakan hal yang dikiranya takkan pernah dia rasakan seumur hidupnya.
Rasa ingin memahami.
Rasa ingin memiliki.
Rasa ingin mencintai.
Ciuman, sekali lagi. Namun kali ini, Joshua memutuskan untuk menciumnya lebih dalam. Meski dia belum pernah berciuman sebelumnya, bibirnya bergerak secara alamiah. Sang Alpha pun, karena mengendus feromon Omeganya yang terasa lebih manis, mulai terbangun instingnya. Mingyu mengecup lembut bibir atas Joshua, lalu bibir bawahnya yang penuh itu, sebelum dia melumatnya.
Mereka berciuman lama sekali, menguras dambaan sejak pertama kali mereka berjumpa satu tahun yang lalu. Bibir sang Omega yang basah itu pun meranum indah, mekar bagai mawar merah.
(Bila Jeonghan melihatnya, dia pasti bangga.)
Meskipun begitu, Mingyu mampu menahan Alphanya untuk tidak memasukkan lidahnya ke dalam sana. Pun tidak menyentuh Omeganya di luar batas yang diperbolehkan. Walau berada dalam godaan hasrat yang dipanaskan oleh api kecil perlahan, dia tidak pernah lupa bahwa tunangannya masihlah di bawah umur.
Tunangan.
Terdengar indah, oh Tuhan...
Mereka berhenti—walau enggan—setelah Joshua mengeluh akan bibirnya yang bengkak. Mingyu mengecupnya lembut untuk terakhir kali sebelum ia menyurukkan wajah ke sisi leher Joshua, memeluk dan menghirup harum feromon kekasihnya. Sang Omega balas menduselkan hidungnya ke sisi leher Alphanya, berusaha membaurkan bau khas mereka berdua hingga bercampur sempurna.
Suatu hari, mereka akan saling meninggalkan bekas gigitan permanen di sana untuk dunia ketahui.
Suatu hari.
”...Jika tahu apa yang sudah saya perbuat pada Anda,” ibu jari sang Alpha mengelus bibir yang bengkak tersebut. “Kakak saya pasti memarahi saya habis-habisan.”
Joshua terkekeh. “Bilang aja ke kakak kamu,” dia mencium ibu jari Mingyu. “Kalo justru kamu korbannya.”
Sambil tersenyum, mereka pun berpelukan. Damai berdua, di bawah naungan gazebo tersembunyi di halaman belakang istana, Alpha dan Omega yang menemukan satu sama lain, kemudian enggan saling kehilangan lagi.