Part 93
Akhir bulan Juli dipenuhi senyuman bagi semua pasangan yang telah kita kenal.
Tuan Hong dan Tuan Kim akhirnya resmi bertunangan di awal Agustus. Mereka mengadakan pertemuan di istana, mengundang Nyonya Hong yang kebingungan, tidak tahu-menahu akan status keluarga sang Alpha, dan mengumumkan pada kedua keluarga. Tuan Raja merangkul pundak adiknya, sedangkan Tuan Yoon langsung menubruk Tuan Hong dan menariknya ke dalam pelukan erat.
“Betul kan firasatku! Kau pasti cocok dengan Kim!”
Tuan Hong memutar bola mata, sebelum tertawa akan protesan Tuan Yoon.
Nyonya Hong berusaha dengan cepat menyesuaikan diri, pun beramah-tamah dengan Yang Mulia Ibu Suri. Di suatu kesempatan, Nyonya Hong bertanya mengapa penduduk sekitar rumahnya tidak ada yang tahu kalau Tuan Kim adalah anak Ibu Suri juga, notabene pangeran kedua negara ini.
Sesaat, suasana di ruang duduk tersebut terasa canggung.
“Tuan Kim, ingatkah Anda?”
“Ya, Nyonya Hong?” sang Alpha duduk agak menegang, bagai calon menantu menunggu diwawancarai ibu kekasihnya.
“Anda bilang pada saya kalau Anda tidak bisa menjelaskan lebih dari fakta bahwa Anda memiliki tanah dan ladang sebagai sumber penghasilan. Apakah alasan Anda tidak bisa kala itu adalah karena Anda anggota keluarga kerajaan?”
“Betul.”
“Jika begitu, kenapa Anda harus menyembunyikan fakta bahwa Anda adalah anggota keluarga kerajaan sejak awal?”
“Ooh...,” Tuan Hong takjub. Pertanyaan ibunya sungguh masuk akal. Turut penasaran, sang Omega menatap Alphanya, menunggu jawaban apa yang akan diberikan.
Tuan Kim, menatap Nyonya Hong, tersenyum maklum.
“Karena saya, seperti Anda, tidak memiliki darah biru dalam aliran nadi saya, Nyonya.”
Jawaban itu mengejutkan Tuan Hong. Tuan Kim kemudian menjelaskan bahwa raja terdahulu mengangkatnya sebagai anak. Ia berterima kasih sekali pada Yang Mulia Ibu Suri dan Tuan Raja karena telah menganggapnya sebagai keluarga mereka sendiri, walau dirinya berasal dari jalanan di area kumuh, jauh dari pusat kota.
“Maafkan saya jika saya terkesan membohongi Anda sekalian. Joshua pun baru tahu mengenai status keluarga saya di pesta kemarin...,” rautnya nampak bersalah. “Tapi saya tidak bermaksud buruk akan hal itu. Saya hanya berpikir bahwa status saya di keluarga kerajaan tidak ada hubungannya dengan cinta saya pada putra Anda. Sebagai anggota keluarga kerajaan atau tidak, saya akan membahagiakan putra Anda sepanjang hidup saya.” Dielusnya pipi Tuan Hong. “Bagaimanapun caranya...”
“Mingyu...”
Nyonya Hong berdeham. Yang Mulia Ibu Suri tertawa kecil di balik tangannya.
“Kesimpulannya, Joshua tidak akan muncul di silsilah keluarga kerajaan sebagai menantu...kan?”
Tuan Kim bertukar pandang dengan Ibu Suri sebelum wanita itu menggeleng.
“Lho, emangnya kenapa deh, Mah, kalo aku masuk istana?”
“Nggak cocok,” 😐 ibunya bahkan tidak berkedip. “Sadar diri kamu, Joshua Hong. Mama suruh ngepel rumah aja masih suka kabur.”
“Y-yha kan ngepel itu capek, Ma...” 😩
“Gitu aja terus alesan kamu.” 😐
Yang lain tertawa menyaksikan senda-gurau ibu-anak itu. Tuan Yoon mengalungkan lengannya ke lengan Alphanya, menghadiahi dirinya dengan kecupan manis di kening. Dua hari setelah pernikahan, ia memasuki masa estrusnya dan, kini, hanya tinggal berharap bahwa dalam perutnya telah tidur jabang bayi mereka, menunggu untuk dihujani cinta oleh kedua orangtua serta seluruh penduduk kerajaan.
Memasuki minggu kedua Agustus, perut Tuan Kwon semakin membesar, membuat rasa cemas suaminya menjadi-jadi. Dokter Jeon kini lebih sering dipanggil ke kediaman sementara pasangan tersebut. Ia berusaha sebaik mungkin memastikan kalau bayi Tuan Kwon terlahir sehat dan tidak prematur.
Karena kesibukan suaminya, Tuan Seo jadi sering ditinggal sendirian. Tuan Hong akan datang bertandang dan mengajaknya mengobrol, terkadang menyeretnya untuk makan siang bersama atau menghadiri sisa-sisa acara musim panas bersama Tuan Kim. Beberapa ia terima, namun sebagian besar ditolaknya.
“Nanti saya jadi obat nyamuk,” canda Tuan Seo.
“Iiih apaan sih! Udah, ayo cepetan! Kita mau main perahu nih!”
Hari itu, Tuan Seo pulang dalam keadaan basah kuyup. Rumah yang dikiranya kosong seperti biasa, ternyata telah terang-benderang. Ayam panggang yang masih panas tersaji di meja makan. Keterkejutan suaminya spontan muncul ketika melihat Tuan Seo berdiri di tengah ruang keluarga mereka dengan air danau menetes-netes dari ujung bajunya.
Setelah mandi air hangat dan mengenakan baju bersantainya, mereka lalu makan dengan tenang. Dokter Jeon bercerita mengenai pekerjaan dan koleganya, tetapi Tuan Seo terlalu mengantuk untuk tetap merespon. Menghela napas, Dokter Jeon kemudian menggendong suaminya ke tempat tidur.
Dua jam kemudian, ia ikut naik ke tempat tidur. Piring-piring telah bersih dicuci. Lampu telah dimatikan. Kacamata dilepas dan ditaruh di nakas samping tempat tidur. Dokter Jeon lalu memeluk suaminya dari belakang.
“Maafkan aku karena terlalu sibuk akhir-akhir ini...”
“Mmh...,” bisikan suaminya tepat di telinga membangunkan sang Beta. “Won...?”
“Kau kesepian, Myungho?”
“Tidak apa,” senyuman lemah. “Aku paham kalau kau sibuk kerja...”
“Besok hari Jumat,” dikecupnya bibir yang tersenyum itu. “Aku telah membeli dua tiket kereta dan membuat reservasi di penginapan yang dulu pernah kau ceritakan.”
Sontak, mata Tuan Seo membuka. Kantuknya langsung sirna. Dokter Jeon menyengir lebar.
“Kau lebih suka gunung daripada pantai kan, Myungho?”
Dan, tentu saja, suaminya mengenalnya dengan baik.
Akhir Agustus merayap datang. Dedaunan hijau, perlahan tapi pasti, menguning. Bulan September sudah di depan mata, membawa janji akan angin dingin di sela-sela ranting kering dan kukusan ubi ungu yang manis dan hangat. Kemeja Tuan Kim yang ia berikan pada Omeganya selama musim panas pun kembali berubah menjadi syal.
“Saya akan memasuki masa estrus saya di bulan Oktober.”
“Oh,” Tuan Hong berkedip satu kali. “Mau kutemenin?”
Alphanya lalu mulai mencerocos, menceramahi bahwa mereka belumlah menikah, bahwa Tuan Hong belum 18, dan bahwa ia tidak akan menyentuh Omeganya sampai mereka sah di mata Tuhan dan hukum. Joshua memutar bola mata. Bagai lagu lama yang diulang terus-menerus, ia sudah bosan mendengarnya sehingga telinga sang Omega menjadi kebal akannya.
Tuan Lee masuk ke ruang perpustakaan istana bersama Tuan Boo. Melihat sepasang Alpha-Omega itu di sana, ia pun menyapa. “Tumben Anda berdua di sini,” ucap sang Alpha.
“Joshua perlu mengerjakan tugas sejarahnya.”
“Guruku ngasih tugas nulis esai soal negeri ini selama musim panas. Tadinya aku minta ijin ke perpustakaan di rumah Mingyu,” jelas Tuan Hong secara lebih spesifik. “Tapi di sana rupanya nggak ada buku yang kucari. Jadi aku dibawa ke sini.”
“Sejarah mengenai apa, Tuan?” Tuan Boo mendekati Tuan Hong. “Mungkin saya bisa bantu mencarikan. Saya sudah membaca hampir seluruh koleksi kerajaan.”
“Beneran?? Kalo gitu, bantu aku, Tuan Kwan, aku perlu—”
Sementara Tuan Hong dan Tuan Boo mencari, Tuan Lee berdiri di sebelah Tuan Kim. Kedua Alpha bersandar di ambang jendela, membelakangi cahaya yang menyorot masuk ruangan tersebut.
“Selamat ya,” Tuan Lee meringis. “Atas pertunanganmu.”
“Terima kasih,” jawab Tuan Kim. “Saya lihat Tuan Boo telah kembali bekerja pada Anda.”
“Ckckck, Sepupu, aku kecewa padamu,” telunjuknya bergerak di depan wajah Tuan Kim. “Tidakkah kau mencium sesuatu yang berbeda dariku sekarang?”
Dengan sebelah alis mengernyit, Tuan Kim mengendus udara di sekitar mereka. Tuan Lee benar. Ada wangi yang tidak biasanya menguar dari kelenjar feromon sang Alpha. Sisa-sisa feromon selepas estrus yang pekat oleh Patchouli dan Cedar.
Angin berbau garam. Laut yang berdesir.
Dan harum jeruk.
“Anda dan Tuan Boo...”
“Bingo,” tawa pun terlantun dari Tuan Lee. “Tidak hanya kau yang sedang melambung di musim semi, Sepupu.”
“Jadi Tuan Boo akhirnya menerima pinangan Anda?”
“Aah...,” garukan di kening. “Itu, aku sendiri tidak yakin. Dia belum bilang mau atau tidak.”
“Tapi Anda menghabiskan masa estrus bersamanya!”
“Tentu saja! Aku tidak menginginkan orang lain selain Kwannie ketika aku dalam fase terendahku!” dengan bangga, sang Alpha membenarkan. “Dan dia membantuku dengan baik sekali. Aku akan menikahinya, Sepupu, tenang saja. Dia bisa menghindar sebaik yang dia bisa, tapi aku akan menangkapnya. Percayalah padaku!”
“Anda ini...”
Di balik rak buku, Tuan Boo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Terlalu malu untuk melihat kedua mata Omega di sisinya berbinar. Suatu hari, dirinya dan Tuan Kim juga akan melewati masa estrus bersama. Biarlah sekarang bukan saatnya, toh tidak lama lagi ia akan berulang tahun.
Usia 18 yang dinantinya, meski begitu dekat tapi juga terasa jauh.
Langkah menuju kedewasaan sang Omega penuh dengan uluran tangan dan dukungan dari begitu banyak orang. Ia melompat-lompat, beberapa kali goyah oleh batu sandungan. Dari tempatnya di dalam lubang sempit, Tuan Hong merangkak naik, membangun hidupnya kembali yang jauh lebih terang dipenuhi cahaya mentari yang hangat.
Ketika Tuan Hong mengulurkan tangan, Alphanya akan mengambil tangan itu.
Menggenggamnya.
Dan sang Omega pun tahu bahwa ia memilih jalan yang benar kali ini.