Part 95
Sosok dalam jubah panjang terlihat menyusuri koridor istana. Langit di luar berpendar sendu. Musim gugur tidak hanya membawa nostalgia dan hangatnya perapian, tetapi juga badai dan hujan. Sebentar lagi, awan yang menggantung tebal di atas kota akan menumpahkan tangisnya. Geledek terdengar, menggentarkan anak-anak kecil yang menutup erat kuping mereka. Di halaman, beberapa pelayan mulai berlarian membawa masuk jemuran.
Namun, sosok berjubah tersebut berjalan dengan tenang, seolah tidak takut akan ancaman dari kuasa langit. Para penjaga sepanjang selasar menundukkan kepala mereka sebagai tanda menghormati. Tak ada satupun yang mengangkat wajah, karena mereka tahu itu sama dengan bayaran satu nyawa.
Pintu megah yang terpahat dari mahogani indah pun membuka. Tuan Raja mengintip sedikit dari balik bulu matanya yang lebat untuk mengetahui siapa yang datang, lalu ia meneruskan korespondensinya. Saat sosok itu berjalan dan berhenti di depan meja kerja Tuan Raja, goresan ujung pena terakhir menyelesaikan kalimat penutupnya.
“Yang Mulia,” suara yang berat terdengar kemudian.
“Tetua Baek,” balas Tuan Raja. Ia menaruh pena bulu angsanya kembali ke tempatnya, membereskan seluruh lembaran perkamen dan, akhirnya, menatap balik. Lelaki tua dengan kerutan kentara di sini dan di sana. Janggut dan kumisnya abu-abu kusam, serupa rambutnya yang disisir rapi. Seperti biasa, ia mengenakan pakaian paling mewah yang bisa ditemukan manusia, menonjolkan kekayaannya tanpa tedeng aling-aling, seakan tak ingin kalah dengan Tuan Raja. “Ada angin apa Anda bertolak dari kediaman Anda yang nyaman di tengah cuaca buruk begini?”
“Saya ke sini ingin bicara dengan Yang Mulia.”
Tuan Raja mengedip satu kali. Kemudian, ia mendorong tubuhnya hingga punggung bersandar pada kursi dan melipat lengan di dada.
“Aku mendengarkan.”
“Yang Mulia—”
“Oh ya, dimana sopan santunku,” potong Tuan Raja sambil mengangkat tangan, gestur mempersilakan. “Duduklah, Tetua.”
Meski ia hendak menolak, namun mempertimbangkan faktor usia, akhirnya Tetua Baek menerima tawaran tersebut. Ia membutuhkan waktu untuk menekuk lututnya dan duduk dengan nyaman, persis di seberang Tuan Raja.
“Silakan.”
“Yang Mulia,” Tetua Baek berdeham sebelum memulai pembicaraan. “Saya ke sini menyampaikan pendapat dari Dewan Tetua.”
“Pendapat?”
“Mengenai anak itu.”
Sedikit, ujung bibir Tuan Raja bergerak. Namun, ia sudah terlalu terlatih dalam perannya sebagai pemimpin kerajaan besar hingga mampu mengendalikan ekspresinya. Meskipun begitu, Tetua Baek bukanlah lawan yang bisa disepelekan.
“Anak itu?”
Tetua Baek mengangguk.
“Kim Mingyu,” ia sengaja menantang sang raja. Yang ditantang menaikkan dagu sedikit, memperjelas kekuasannya. Kekadang, ia harus bertingkah seperti raja agar orang-orang tidak menyepelekannya. “Saya mendapat laporan bahwa anak itu terlalu sering ke istana. Bukankah dia sudah keluar dari sini dan tinggal di kediaman Anda?”
Tuan Raja menaruh dagunya di atas kepalan tangan. Sikunya bertumpu di meja.
“Dan kemarin di pernikahan Anda, dia datang sebagai pendamping. Orang-orang jadi menanyakan ke saya siapa dirinya. Saya harus menjawab apa, Yang Mulia?”
“Ya katakan saja pada mereka bahwa Mingyu adalah adikku.”
“Yang Mulia!”
“Tetua Baek,” nada seorang Alpha. Sebagai Beta, Tetua Baek sulit melawannya. Telah tertanam dalam sel-sel seorang Beta dan Omega untuk menuruti kehendak Alpha yang menggunakan nada tersebut, meski kadar kepatuhan mereka berbeda. Beta mungkin sekadar bungkam atau lenyap agresinya, namun Omega akan melakukan apapun yang Alpha tersebut inginkan. “Mingyu adalah adikku. Ibunda dan Ayahanda tidak pernah membeda-bedakan kami. Dia bahkan tidak berniat mengincar takhta maupun hartaku.
Apa sebenarnya yang Anda inginkan dariku, Tetua?”
Lelaki tua itu bungkam sejenak. Sorot mata sang Alpha terlihat marah, mengancam dalam diam. Bagai singa menatap mangsa. Namun, Tetua Baek telah hidup melewati tiga generasi. Ia takkan mundur dicakar bayi singa seperti raja periode ini.
“Jika memang Kim Mingyu telah memutuskan untuk pergi dari istana ini, maka Dewan Tetua menginginkan dia tidak kembali lagi ke sini,” tanpa getir, ia menjawab pertanyaan tersebut. “Bibit yang buruk lebih baik dijauhkan agar tidak merusak kemurnian darah anggota keluarga kerajaan. Rumor bahwa dia anak simpanan mendiang Baginda Raja sebelumnya masih beredar, Yang Mulia, dan hal itu membuat nama baik kerajaan menjadi tercoreng. Kita sudah cukup kewalahan dalam perang dingin ini, kita tidak memerlukan revolusi dari dalam juga, Yang Mulia.”
Sang Alpha mengernyit dan menggeram rendah.
“Kami hanya melakukan apa yang leluhur Anda dan pendahulu kami harapkan. Kami harap Anda tidak lupa bahwa kedamaian Anda saat ini adalah hasil dari darah yang leluhur Anda dan pendahulu kami telah tumpahkan ke dunia.”
Tetua Baek pun bangkit dan memberi hormat untuk pamit. Begitu pintu ditutup, Tuan Raja membanting tempat pena bulu ke pintu tersebut, membuatnya hancur hingga berkeping-keping.