Part 97
“Whoa...”
Joshua membalik badan dan menatap Soonyoung bingung.
“Kenapa?”
“Ah, enggak,” kekehnya kemudian. “Nggak nyangka aja suatu hari bakal liat si Kim malu-malu macem perawan gitu. Ciuman pula di depan orang.”
“Bener juga,” timpal Jun. “Kalo dari cerita kamu, dia tipe sopan santun di atas cinta gitu kan ya?”
Soonyoung membenarkan suaminya, “Lucu banget deh. Kalo dia liat ada yang ciuman depan publik gitu pas dia di negaraku, dia bakal nunduk nggak mau liat. Pas kutanya kenapa, dia bilang di negaranya, pasangan nggak boleh kelewat mesra di depan mata orang banyak. Aneh banget.
Tapi, pas aku nyampe sini, I get it. Ternyata emang kayak gitu di sini ya. Kak Cheol aja yang progresif.”
Joshua kembali duduk. Kali ini di sofa, di samping Kwon Soonyoung.
“Eh, Soonie.”
“Hmm?”
“Menurut kamu, kalo negara kita sama negara ini stop perang, terus saling kerja sama, bakal mungkin enggak?”
Kwon Soonyoung mengedip. Perlahan, dia menoleh ke Omega di sampingnya. Melihat paras serius terpampang, dia pun menanggapi seperti seharusnya.
“Kamu warga negaraku,” jawabnya. “Kewajibanku buat denger opini kamu. Coba keluarin argumen kamu kenapa kita harus damai sama negara ini.”
“Hmmmmm yah, argumen pertama: kamu tinggal di sini dengan keluarga kamu—entah kenapa—dan masih hidup. Menurutku itu udah ada aspek balas budi dari kamu.”
“Makes sense,” mata Omega yang lebih tua itu berkilau. “Go on.”
“Kedua, kamu nggak mau hidup di negara damai yang perlakuin kita kayak di sini?”
Rahang Soonyoung serta merta menegang. Pertanyaan yang nggak adil. Gimana bisa anak di depannya itu menanyakan hal yang paling didambakannya sejak lahir? Anak itu sesama Omega sepertinya. Nasib mereka seharusnya nggak jauh berbeda di negaranya. Tapi anak itu mungkin nggak pernah ngerasain dibuang ke menara dan disekap di sana untuk menghabiskan sisa nyawa. Melewati hari demi hari, berharap untuk segera mati. Bahkan jendelanya saja dulu berjeruji.
Jun, merasakan keresahan suaminya, menyentuh sisi pinggangnya. Kemudian, dia membawa kepala Soonyoung agar bersandar pada pundaknya. Harum Betanya yang merebakkan hutan bambu menenangkan jiwa yang sempat bergejolak. Kwon Soonyoung menutup mata.
Anak itu nggak tau apa-apa. Bukan salahnya.
Ketika dia membuka mata lagi, Joshua menatapnya dengan cemas.
“Aku paham,” jawab sang pangeran Omega. “Seperti kamu, aku juga mau hidup selayaknya manusia di kerajaanku sendiri, negaraku sendiri.”
Ada getir dalam nada, begitu kental, membuat si anak diam-diam meneguk ludah.
“Akan kupikirkan itu semua, Joshua Hong. Aku berjanji atas nama Kwon Soonyoung. Harapan kamu mungkin juga harapan banyak Omega di sana...”
Joshua menundukkan kepala. Anak itu teringat masa-masa di negara kelahirannya yang penuh dengan perjuangan. Bila bukan karena ibunya dan Vernon yang setia menjaganya, mungkin dia nggak akan berada di sini sekarang.
Tangisan bayi memecah atmosfer yang mendadak memberat di sekitar mereka. Soonyoung dan Jun bergegas menuju anak-anaknya. Yang lelaki merengek kencang, sementara yang perempuan masih tidur dengan tenang seakan nggak peduli akan keadaan kakaknya.
“Yang ini anaknya Papa,” cengir Jun. Dia mengecup ujung hidung bayi perempuannya. Hidung mungil yang merengut sejenak sebelum si anak kembali terlelap.
“Jadi yang cerewet ini anaknya aku??” protesan suaminya terlontar kemudian. Ditimangnya si bayi lelaki agar diam. “Cep, cep, cep. Aduh kenapa sih, tadi diem aja kok?? Diem doongg~“
“Jangan digituin, nanti makin kenceng—”
“OWEEEEEEK!!”
“—kan??”
“Junnie, tolongin!”
Joshua menonton semua dengan takjub. Di antara Soonyoung dan Jun, jelas sang Beta yang lebih berpengalaman mengasuh anak-anak. Dia mengambil anak lelakinya dari lengan ibunya lalu dia bawa mengitari rumah, berjalan sambil terus menimang, mencoba menenangkannya. Jun mengendus bagian popok, tapi nggak ada bau apapun. Saat diperhatikannya kalau lidah mungil si anak menjulur sedikit dan membuat gerakan menghisap, dia langsung paham penyebabnya.
“Soonie, dia laper.”
“Oh, oke.”
“Eh—kalo mau kasih makan, aku kayaknya pergi dulu—”
Tepat ketika itu, pintu dibuka. Mingyu telah kembali.
“Mingyu!” lega, anak itu lalu menghampiri Alphanya. “Kok cepet? Apa yang Tuan Cheol—”
Alphanya pucat. Dia diam seribu bahasa.
“—Mingyu?”
“Kenapa si Kim?” Soonyoung juga melihat kejanggalan tersebut. Dia tengah menerima anaknya kembali dari suaminya.
“Nggak tau. Mingyu? Kamu nggak apa?” cemas, Joshua mengelus pipi Alphanya. Seakan elusan itu membawanya kembali ke bumi, Mingyu menyentakkan napas, lalu menghembuskannya kencang. Dia langsung menangkup tangan di pipinya tersebut. “Mau pulang?”
“Mm...”
“Kalian udah mau balik?” Jun mendekat.
“Umm. Maaf ya, cepet banget jadinya.”
“Nggak apa,” senyumnya ramah. “Thanks udah mampir ngeliat si kembar. Ati-ati di jalan, Kim, Hong.”