Part 99
Bulan Oktober berlalu begitu cepat, namun juga terasa lama bagi Omega kita. Alih-alih satu-dua minggu, Alphanya menghilang selama tiga minggu. Hari-hari tanpa keberadaan Mingyu membuat Joshua, terus terang, uring-uringan. Sarangnya sudah tidak berbau sang Alpha. Bibirnya rindu ciuman sang Alpha. Ia mendamba pelukan besar nan hangat yang menjadi ciri khas kekasihnya.
Ada alasan logis mengapa Alpha tersebut menghilang begitu lama. Ia tidak ingin kejadian sebelumnya terulang lagi, yaitu memicu Omeganya masuk dalam estrus sebelum waktunya. Masa estrus Mingyu sendiri telah berakhir di minggu pertama, namun ia sengaja mengurung diri di rumah dan menolak kunjungan siapapun selama dua minggu ke depan untuk memastikan bahwa feromon estrusnya telah habis tak bersisa.
Maka, ketika Kim Mingyu membunyikan bel rumah keluarga Hong pada suatu malam di akhir pekan minggu keempat, Joshua langsung melompat ke dalam gendongannya begitu membuka pintu.
“Joshua?!” seru sang Alpha. Lengan-lengannya refleks memeluk pinggang kekasihnya, menahan agar mereka berdua tidak ambruk menuruni undakan.
Terkejut, sebagaimana Nyonya Hong melihat kelakuan putra semata wayangnya itu.
“Astaga! Joshua, ayo turun!”
Bagai bayi koala, anak itu meringkuk. Wajahnya disurukkan ke sisi leher sang Alpha, tepat di area kelenjar feromonnya. Ia bergeming, menolak untuk menjauh. Mingyu mau tak mau harus masuk sambil menggendong kekasihnya. Bahkan ketika mereka akhirnya duduk di sofa, Joshua terus memeluknya.
“Aduh anak ini...maafkan dia, Tuan Kim,” keluh Nyonya Hong. “Dia hanya kangen dengan Anda.”
Mingyu tersenyum mendengar itu. Sambil mengelus lembut bagian belakang kepala sang Omega, ia menjawab, “Tidak apa, Nyonya. Saya pun merindukannya. Maafkan saya karena baru datang lagi sekarang.”
Nyonya Hong dan Mingyu bercakap-cakap sejenak, membiarkan Joshua menggelayut di sisi sang Alpha. Di suatu momen, Nyonya Hong beranjak pamit untuk membiarkan kedua pasangan itu melepas rindu. Ia menoleh untuk terakhir kalinya persis ketika Mingyu menanyakan pada Joshua apakah dirinya baik-baik saja. Tersenyum maklum, wanita itu pun pergi.
“Joshua...,” bisiknya. “Sayang...apa Anda tidak apa?”
Tak ada jawaban.
“Maafkan saya. Saya memerlukan waktu lebih lama untuk melewati masa estrus saya kali ini. Saya hanya ingin memastikan bahwa tidak ada sisa feromon estrus lagi yang tertinggal sebelum mengunjungi Anda,” jelasnya.
Sang Omega tetaplah bergeming.
Mulai cemas, Mingyu bertanya lagi. Elusan pada rambut kekasihnya pun berhenti.
”...Joshua?”
“Kangen.”
Lirih. Suara kecil yang menusuk langsung ke hati sang Alpha, membuatnya jatuh cinta sekali lagi.
“Kenapa sih...,” gerutu si anak. Dia mundur sedikit hingga Mingyu bisa melihat wajahnya yang memberengut. “Kenapa aku jadi begini lemahnya... Nggak ada kamu bentar aja, rasanya ada lobang gede di hidup aku... Padahal kayaknya kamu baik-baik aja tuh kalo jauh dari aku...”
Pipi sang Omega merona. Tatapnya menunduk. Andai Mingyu bisa mencium setiap helai bulu matanya yang indah itu, ia pasti sudah melakukannya.
“Joshua, coba dengarkan,” dengan lembut, sang Alpha membawa kepala kekasihnya ke dada hingga ia bisa mendengarkan debar jantungnya. “Terdengarkah?”
DegDegDegDeg—
Bersahutan cepat, persis seperti detak jantungnya sendiri.
“Mm...,” gumamnya.
“Saya juga senang sekali bertemu Anda lagi,” nada bicara yang menenangkan membuat batin Omeganya damai. Kembali sang Alpha mengelus rambut halus itu. “Bukan hanya Anda, saya pun tidak baik-baik saja. Meski di luar saya tampak seperti ini, tapi di dalam hati saya sangat, sangat bahagia bisa memeluk Anda lagi seperti ini.”
“Beneran?” bola mata Omeganya yang bulat begitu menggemaskan di mata Kim Mingyu. “Bukan cuma aku yang aneh begini?”
“Benar,” sang Alpha kemudian mengecup sayang bibir Joshua. “Bukan cuma Anda.”
...Hehe ❤️
Bahagia, anak itu pun bermanja-manja pada Alphanya. Diduselnya sisi leher Mingyu, sengaja dihirupnya dalam-dalam aroma teh favoritnya itu untuk memenuhi asupan yang ia butuhkan selama tiga minggu ke belakang. Sang Alpha pun balas mendusel sisi kening kekasihnya, lalu ia menciumi wajah kekasihnya, dari kening, pipi, sampai menuruni rahang, sebelum mereka menyandarkan kening, merasa puas akan pertukaran feromon mereka.
”...Bolehkah saya jujur pada Anda?”
”? Boleh?”
“Rasanya saya tidak ingin bulan Desember datang.”
“Lho? Kenapa?”
“Sebab, saat itu adalah giliran saya yang harus kehilangan Anda,” helaan napas sang Alpha terdengar berat ketika memeluk Omeganya, yang tertawa spontan di samping telinga sang Alpha.
“Kamu sih, kutawarin bantu malah enggak mau,” seloroh si anak.
”...Bukannya saya tidak ingin.”
“Mingyu?”
“Tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menggigit Anda di sini,” jemari sang Alpha merayap ke tengkuk Joshua, membuat bulu kuduknya berdiri. Mingyu menekan kelenjar feromon Joshua. Anak itu mengerang pelan. “Dan menghabiskan malam demi malam bersama Anda seorang...tapi, semua ada waktu dan tempatnya.”
Mingyu mundur sedikit, melepaskan pelukannya untuk mengambil tangan Joshua dan dikecupnya di bagian punggung.
“Ketika saya telah sah menjadi milik Anda selamanya,” ada geram rendah dalam nada itu. Jantung Joshua berderu tidak karuan. “Saya tidak akan melepaskan Anda sampai sekujur Anda berbau saya dan saya akan Anda...”
Si anak meringis salah tingkah.
“Janji ya,” gumamnya.
Sang Alpha tersenyum penuh arti, sebelum memeluk Omeganya dengan erat sekali lagi.
Aneh, bukan? Omega yang dulu membenci Alpha, kini malah tidak sabar untuk menyelimuti dirinya dengan feromon Alphanya. Tidak sabar untuk menggigit kelenjar feromon Mingyu dan membuat seluruh dunia mengetahui bahwa lelaki ini—lelaki tampan, menakjubkan, dan baik hati ini—adalah Alphanya.
Alpha satu-satunya.