narrative writings of thesunmetmoon

The Beginning

#jihanmodernroyalty

Tersebutlah suatu negara nun jauh di sana. Negara yang langitnya hampir selalu biru, penduduknya sering tersenyum dan pantainya sungguhlah indah. Negara yang jauh dari negara bernama Korea Selatan, tempat lahir salah satu karakter utama cerita kita kali ini.

Yoon Jeonghan

Sebagai pendatang di negara orang dengan alasan ayah dikirim dinas, Yoon Jeonghan belajar dengan cepat untuk membangun komunitasnya sendiri. Sekejap mata, dia sudah dikelilingi oleh pelajar lain sepertinya yang juga berasal dari Korea Selatan. Nama-nama yang mengisi hari demi hari mahasiswa tingkat terakhir itu penuh dengan bahasa ibunya—Lee, Choi, Kim, Kwon, Jeon, bahkan marga langka seperti Boo. Beberapa berasal dari universitas yang sama dengannya. Yang lainnya adalah 'temen pacarnya sepupu kakaknya kenalan adik tetangga gue, Bang!' aka yaudah sih, mau awalnya kenal di mana, kongkow bareng ajalah, sesama pendatang ini. Kudu bahu-membahu~ 😉

Singkat cerita, setelah hampir 4 tahun, Yoon Jeonghan mulai merasa betah di negara tempatnya berada sekarang. Udaranya jauh lebih segar daripada kota metropolitan Seoul. Arsitektur bangunannya adalah campuran antara keunikan masa lampau dan modernitas masa kini. Setiap akhir pekan, komunitas kecil mereka kerap berjalan-jalan ngalor-ngidul, membeli es krim di pinggir pantai sebelum bermain voli, atau hanya tidur-tiduran menikmati siraman mentari petang hari.

Yoon Jeonghan bahkan berpikir untuk melanjutkan hidupnya di sini setelah lulus nanti, bukan kembali sendirian ke Seoul seperti rencananya semula, sambil lalu mencari lowongan pekerjaan yang sekiranya menarik minat dan juga berkesinambungan dengan studinya.

“Bang, lo dah denger?”

Salah satu anak Lee bernama Seokmin menyenggol sikutnya, hampir membuat Jeonghan menumpahkan jus anggur peras ke kaus putihnya.

“Wot?”

“Lotere kerajaan!”

Mulut Jeonghan membuka. “Ah...,” dia mengangguk-angguk. “Tau gue. Tadi pagi keknya ada di berita deh. Tapi gue nggak gitu dengerin juga. Itu apaan sih?”

“Undian, Han,” Choi Seungcheol menimpali. Setelah menggigit keripik kentangnya, dia pun menyuapi Mingyu yang sedari tadi sudah menganga minta jatah. “Jadi mereka bakal nyiarin undian malem ini di tivi. Katanya ada hadiah menarik ato apalah gitu.”

“Itu gimana deh. Kita beli lotere gitu ato apa?” Chan mengernyit.

“Eits, napa nih? Lo mau ikutan??” kekeh Seungkwan mengejek. “Tumben??

“Dari kerajaan, coy?? Siapa tau menang kastil??”

Gobs,” Jeonghan ikut terkekeh.

“Gak kok. Kita nggak harus ngapa-ngapain, setau gue? Mereka ngundi aja gitu? IDK. Duren runtuh aja kali. Mayan juga sih, tapi, kalo bener kata Chan.”

“Kalo dapet duit 1 Trilyun gitu, mayan ya, Bang,” Mingyu melanjutkan ucapan Seungcheol sambil terkekeh.

Nah.”

“Yekali. Kita kan bukan penduduk sini,” Yoon Jeonghan dengan logika lurusnya pun menetralkan suasana. “Yang menang ya orang lokal lah pastinya.”

“Bener juga. Yah, ga asik...”

Dengan santai, dia pun kemudian kembali menyeruput sari anggurnya.


In Jeonghan's defense, bukan dia yang menyetel televisi malam itu, tapi adik perempuannya.

“Soobin-ah—”

Ssh! Dah mau mulai!”

“Apa sih?”

“Sini, Abang,” itu ibunya yang memanggil. Ayahnya sepertinya telat pulang lagi. “Undian kerajaan bakal mulai.”

Aaah...”

Meski tampak ogah-ogahan, tapi rasa penasarannya tergelitik juga. Undian apa sih? Hadiahnya apa? Dalam rangka apa? Siapa yang kira-kira bakal menang? Bagai ngengat ke api, Jeonghan pun mengambil bantal sofa dan duduk di lantai, dekat kaki ibunya dan persis di sebelah adik perempuannya.

Layar televisi menayangkan suasana di istana kerajaan. Nampak paduka raja dan yang mulia permaisurinya tersenyum bahagia ke arah kamera. Alih-alih MC ternama, malah sang perdana menteri sendiri yang membawakan acara malam itu.

“—Baru pertama kali ini kerajaan kita mengadakan kesempatan yang sangat besar seperti ini!” seru sang perdana menteri penuh semangat. “Baiklah, tanpa menunda waktu lagi, mari kita laksanakan saja!

Silakan, Baginda!”

“Ah, baik, baik,” dengan ceria, paduka raja yang sudah agak tua itu pun mendekati sebuah mesin...

...mesin slot??

Jeonghan mulai merasa kejadian ini semua agak absurd. Ya tau sih kalau salah satu sumber devisa negara ini adalah legalisasi kasino dan hiburan malam, tapi rajanya sendiri main mesin slot 777 di depan seluruh rakyatnya?? Wtf??

Ah, well, okey—mesin slot, lalu menarik gagangnya. Diiringi bunyi bising ala mesin judi, ketiga bola di bagian tengah pun bergulir dengan begitu cepat. Namun, alih-alih angka 7 tiga kali, bola-bola itu memiliki 2 angka pada permukaan masing-masingnya.

JEGREK!

10

“OH?!”

JEGREK!

04

O-OH??!!

JEGREK!!

95

OHO HO?? OOOOOHHH!!

Paduka raja kemudian tertawa lugas. Permaisuri di sisinya pun terkikik sama leganya. Sang perdana menteri kemudian memutar tubuh dan, barulah pada saat itu, Jeonghan melihat siapa yang ada di sana selain mereka bertiga. Wajah yang rupawan, tinggi semampai, bibir merah dan mata yang memancarkan kelembutan.

Pangeran Jisoo.

Hong Jisoo

Ketika pertama Jeonghan menginjak negara ini, terus terang dia kaget melihat betapa Korea Selatan-nya calon penerus keluarga kerajaan—dari nama hingga rupa. Ayahnya lalu menjelaskan bahwa negara ini awalnya adalah hasil perpecahan Korea Selatan di masa lalu. Sebagian dari mereka mengungsi dan malah menetap di sini, membangun negara ideal dimana kebudayaan dan normalitas yang berlaku cukup berbeda dari Korea Selatan saat ini. Lebih bebas. Lebih pemaaf. Lebih menyetarakan gender dan peduli pada penduduknya. Sebuah negara impian para pengungsi di masa lalu tersebut.

Itulah kenapa sangat mudah masuk dan menetap di sini bila paspormu berasal dari Korea Selatan (walau, granted, nggak banyak, karena jarak tempuh yang terlalu jauh untuk berwisata semata).

Itulah kenapa keluarga raja memiliki darah asal Korea Selatan. Darah yang mengalir dalam nadi Pangeran Jisoo.

“Baiklah! Baiklah! Data sudah di saya daaannn—” seruan perdana menteri mengembalikan Jeonghan ke realita. “—Yang Mulia, pilih satu huruf: H, Y, M, L atau K?!”

Tiba-tiba saja, kepala mic berada di depan bibir Pangeran Jisoo.

“Hmm...Y?”

“Baik! Hanya ada satu Y di kartu saya, Yang Mulia, dan marganya adalah...YOON!”

Oh~” Pangeran Jisoo pun ikut takjub.

“Nah, untuk yang bermarga Yoon dengan tanggal-tanggal itu ada....3 orang! Pilih lagi salah satu, Yang Mulia!”

Perdana Menteri menyerahkan 3 buah kartu. Pangeran Jisoo membacanya lamat-lamat, lalu memilih satu. Diberikannya kartu itu kepada perdana menteri.

“Aku pilih dia, Pak Perdana Menteri.”

Baiklahhhh! Jadi, sekarang di tangan saya adalah nama yang beruntung memenangkan hadiah terdahsyat abad ini—” lagi, sang raja dan permaisurinya tertawa, namun kali ini, sang pangeran juga ikut tertawa. “—dan pemenangnya adalaahhhh.......”

Hening. Seisi ruang keluarga Yoon seakan menahan napas. Mungkin bukan hanya di rumahnya. Mungkin seluruh penduduk tengah menahan napasnya saat ini.

.

.

.

“Selamat, yang lahir pada tanggal 10.04.95, marga Yoon, dengan nama Jeonghan! Kamu menang!”

“What—”

Hah?? HAH, AKU NGGAK SALAH DENGER KAN??” itu teriakan Soobin yang langsung memutar badannya, memandangi kakak lelakinya.

“Abang?? Itu nama Abang??” ibunya juga nggak kalah takjubnya.

“Dan hadiahnya....kamu akan menikahi pangeran Jisoo! Selamat! Silakan besok pagi jam 10 ke istana ya!”

...............

......

...

...wait, WHAT?!